, ,

Tanaman Ini Bisa Hasilkan Bioenergi sampai Bahan Pengawet

Budi Leksono, kala menjadi peneliti di Litbang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tertarik mengetahui tanaman nyamplung (Calophyllum inophyllum). Tanaman hutan ini memiliki banyak manfaat, dari bahan baku biofuel, pakan ternak bahan pengawet hingga obat kanker.

“Nyamplung endemik Indonesia, tersebar di berbagai pulau,” katanya di Yogyakarta, baru-baru ini.

Nyamplung, katanya, berpotensi ekonomi menjanjikan. Budidaya dan pengolahan biji nyamplung bisa menciptakan lapangan kerja masyarakat sekitar hutan. Kini, pengembangan utama nyamplung sebagai sumber bahan baku bioenergi (biofuel). “Melalui teknik tepat, nyamplung menjadi biofuel tanpa limbah.”

Salah satu energi terbarukan yang dikembangkan adalah biofuel atau bahan bakar nabati (BBN). Nyamplung, katanya, salah satu biofuel yang mampu mengurangi emisi hidrokarbon tak terbakar, karbon monoksida, sulfat, hidrokarbon polisiklik aromatik, nitrat hidrokarbon polisiklik aromatik dan partikel padatan. “Biodiesel nyamplung ramah lingkungan.”

Selain bukan tanaman pangan, nyamplung mulai dibudidayakan di Indonesia sebagai wind breaker pada daerah marginal di tepi pantai atau lahan-lahan kritis. Variasi ukuran buah, biji dan nyamplung menunjukkan peluang peningkatan produktivitas tanaman. Sebaran nyamplung di dunia, di Afrika, India, Asia Tenggara, Australia Utara, dan lain-lain.

Di Indonesia, nyamplung dijumpai hampir di seluruh wilayah, terutama pesisir pantai, seperti Taman Nasional Alas Purwo, dan Kepulauan Seribu. Juga Baluran, Ujung Kulon, Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Kawasan Wisata Batu Karas, Pantai Carita Banten, wilayah Papua (Yapen, Jayapura, Biak, Nabire, Manokwari, Sorong, Fakfak), Maluku Utara (Halmahera dan Ternate), TN Berbak (Pantai Barat Sumatera).

Di Jawa, tegakan nyamplung tumbuh di pantai berpasir meskipun juga ditemukan pada tanah mineral ketinggian 150 mdpl.

Biodiesel penelitian Budi Leksono diambil dari nyamplung di berbagai penjuru Indonesia. Foto: Tommy Apriando
Biodiesel penelitian Budi Leksono diambil dari nyamplung di berbagai penjuru Indonesia. Foto: Tommy Apriando

Produktivitas hampir tiga kali sawit

Untuk produktivitas biji nyamplung, katanya, bervariasi antara 40-150 kg perpohon pertahun atau sekitar 20 ton perhektar pertahun. Lebih tinggi dibandingkan tanaman lain seperti jarak pagar (5 ton), dan sawit (6 ton).

Biaya produksi biodiesel nyamplung masih tinggi, antara Rp20.000–Rp25.000 per liter karena mengggunakan bahan kimia fosil antara lain: H3PO4, methanol, H2SO4, dan NaOH.

Budi sudah unjicoba biodiesel nyamplung pada 2015. Hasilnya, pembakaran mudah ketika mesin starter, tak menyebabkan korositas biodiesel terhadap mesin. Smisi dan polusi lebih minim dibandingkan solar.

“Satu liter solar untuk 10 kilometer, nyamplung sampai 12 kilometer.”

Budi mengatakan, limbah proses pembuatan biodiesel nyamplung adalah bungkil hasil pengepresan biji. Sampai saat ini belum termanfaatkan. “Ini akan menjadi masalah baru bagi lingkungan, apabila tak segera ada manfaatnya.”

Nyamplung, selain biji, cangkang bisa buat briket arang dengan firolisis menggunakan teknologi sederhana dan murah.

“Dari limbah cangkang buah juga dapat menghasilkan asap cair yang dapat digunakan sebagai pengawet kayu dan pupuk cair,” katanya.

Manfaat lain nyamplung, bisa buat bungkil pakan ternak, resin/getah untuk obat-obatan dan pewarna tekstil, sabun, dan lain-lain.

Pakan ternak sampai obat kanker

Hasil analisis Laboratorium Biokimia Nutrisi Bagian Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan UGM menunjukkan, bungkil nyamplung mengandung protein kasar jauh lebih tinggi dibandingkan kadar protein kasar pada bekatul. Selama ini bekatul sebagai pakan ternak. Jadi, katanya, bungkil nyamplung potensial sebagai pakan ternak, terutama campuran atau pengganti konsentrat.

Tak hanya itu. Biji nyamplung mempunyai kadar kumarin yang berpotensi sebagai bahan baku obat-obatan. “Kumarin bahan baku obat-obatan, akan meningkatkan nilai tambah nyamplung,” katanya.

Budi terus mengembangkan penelitian ini. Menurut dia, tantangan nyamplung sebagai energi, pakan dan obat-obatan masih cukup besar karena memerlukan penelitian integratif hulu-hilir antarbidang ilmu terkait.

Budi Leksono. Foto: Tommy Apriando
Budi Leksono. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,