,

ANDAL Reklamasi Pantai Talise Palu, Berdampak Negatif. Tapi Kok Jalan?

Reklamasi Pantai Talise, Teluk Palu, Sulawesi Tengah yang dilakukan oleh pemerintah kota Palu ditentang oleh berbagai pihak. Dalam dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) disebutkan bahwa proyek reklamasi mulai tahap pra konstruksi, tahap konstruksi hingga pasca konstruksi didominasi dampak negatif.

Melihat hal tersebut, Muhammad Nasrum, akademisi Universitas Tadulako, menyarankan pemerintah kota menghentikan reklamasi tersebut. “Sebenarnya di ANDAL jelas ada dampak buruk dari reklamasi. Sayangnya, hal ini tidak begitu tersosialisasi dengan baik ke masyarakat luas. Sehingga, kita bisa lihat bagaimana penolakan warga belakangan ini,” kata Nasrum yang juga menjabat sebagai Dewan Pakar Celebes Institut, pada akhir minggu kemarin.

Dokumen ANDAL menyebutkan berdasarkan hasil evaluasi dampak kegiatan yang dilakukan pada tahap pra-konstruksi, dampak penting yang timbul berupa dampak negatif. Dampak persepsi negatif masyarakat yang bersumber dari kegiatan sosialisasi dan survey dan penetapan lokasi memberikan kontribusi relatif besar, dengan skala dampak -0,25. Sedangkan dampak negatif pada keresahan masyarakat akibat sosialisasi dan survey dan penetapan lokasi, memberikan kontribusi yang relatif kecil dengan skala dampak -0,1.

Sementara itu, pada tahap konstruksi, dampak pada komponen fisik, kimia dan biologi semuanya tergolong dampak negatif kecuali pada dampak perubahan bentang lahan, sedangkan dampak pada komponen sosial ekonomi-budaya sebagian tergolong dampak negatif dan sebagian lainnya merupakan dampak positif.

Dokumen ANDAL menyebutkan hasil evaluasi dampak menunjukkan bahwa dampak negatif yang timbul pada tahap konstruksi lebih dominan dibanding dengan dampak positif. Dampak positif hanya terjadi pada komponen perubahan bentang lahan dan sosial-ekonomi.

Masih berdasarkan dokumen tersebut, pada tahap pasca konstruksi dan operasional, terdapat 2 kegiatan yang akan menimbulkan dampak negatif dan positif pada komponen lingkungan fisik, sosial ekonomi, budaya dan kesehatan masyarakat. “Penurunan kualitas udara menerima dampak negatif dengan intensitas yang tinggi, dengan skala dampak -0,2. Kemudian, terjadinya abrasi dan akresi dengan skala dampak -0,13. Kedua dampak ini bersumber dari kegiatan pengoperasian lahan hasil reklamasi.”

Meski demikian, tim penyusun ANDAL tetap yakin bahwa dampak-dampak tersebut dapat diarahkan untuk dikelola dengan baik, sehingga dampak negatif dapat diminimumkan dan dampak positif dapat dimaksimumkan. Berdasarkan argumen tersebut, maka kegiatan reklamasi pantai Talise, teluk Palu, dinilai layak dari sudut pandang lingkungan hidup.

Nasrun meragukan kesimpulan dalam dokumen ANDAL. Ia menduga, kesimpulan itu tidak obyektif karena dibuat berdasarkan kebutuhan investor ataupun calon investor. “Dampak reklamasi cenderung banyak negatif. Tapi di ANDAL selalu bicara alternatif. Karena ANDAL dibiayai investor atau calon investor, sehingga sulit mengukur kemandiriannya,” katanya.

“Coba proses itu dilakukan dan dibiayai secara independen, gak bakal begitu bahasanya. Karena yang diungkapkan ya mestinya hasil analisis onyektif dan bebas dari intervensi kepentingan. Itu baru professional,” tambahnya.

Reklamasi di Gandaria Kota Palu

Nasrum menilai reklamasi juga bertentangan dengan Perda No.16/2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palu, yang menetapkan kawasan pesisir sebagai kawasan wisata. Reklamasi mengubah peruntukan lahan.

“Di Perda RTRW sudah jelas peruntukan masing-masing wilayah di Kota Palu. Sektor jasa ditempatkan di tengah kota atau yang disebut tatangana. Kenapa sekarang ada di bagian depan,” tanyanya.

Jejeran perahu yang tertambat disebelah areal reklamasi di pantai di Teluk Palu, Sulawesi Tengah. Foto : Themmy Doaly
Jejeran perahu yang tertambat disebelah areal reklamasi di pantai di Teluk Palu, Sulawesi Tengah. Foto : Themmy Doaly

Dalam Perda itu disebutkan, hirarki pusat pelayanan kota mengikuti bentuk dasar kota Palu sebagai kota teluk dengan konsep arsitektur souraja. Kemudian, dalam ketentuan umum di perda tersebut, souraja dijelaskan sebagai perwujudan bangunan (rumah tinggal) pada masyarakat Kaili yang mendiami lembah Palu yang membagi pola atas tiga struktur ruang, terdiri dari gandaria, tatangana dan poavua.

Gandaria adalah wajah depan dari bangunan souraja yang berfungsi sebagai tempat menerima tamu yang dapat diartikan sebagai ruang publik. Tatangana adalah ruang tengah dari bangunan souraja yang berfungsi sebagai tempat aktifitas hunian. Lalu, poavua adalah dapur sebagai ruang belakang yang menjadi penyangga aktifitas gandaria dan tatangana.

Selanjutnya, pada pasal 5 dalam perda tersebut ditegaskan bahwa hirarki pusat pelayanan kota terbagi atas, pertama, penataan kawasan pesisir pantai sebagai beranda depan kota dengan konsep gandaria. Kedua, penataan kawasan perdagangan, pemerintahan, pendidikan, budaya dan pemukiman sebagai kawasan tengah kota dengan konsep tatangana. Ketiga, penataan kawasan pertanian, industri dan pertambangan sebagai bagian belakang kota dengan konsep poavua.

“Aturan ini dibuat oleh Pemkot, dan dilanggar juga oleh Pemkot Palu,” tegas Nasrum.

Seharusnya, ia menilai, konsep pariwisata yang baik untuk dikembangkan di kota Palu adalah pariwisata yang memberi kesempatan pada masyarakat kota Palu untuk menikmati ruang publik atau ruang terbuka tanpa dibebani biaya dan syarat yang rumit.

“Kalau konsep yang sekarang, sudah ada kelompok yang menguasai ruang. Kawasan reklamasi akan jadi kawasan dengan syarat-syarat ketat untuk bisa diakses,” kata Nasrum. “Mestinya program Pemda bukan hanya zero property, tapi juga zero poverty.”

Walhi Sulteng Siapkan Gugatan

Terkait reklamasi, Walhi Sulawesi Tengah sedang menyiapkan gugatan terkait perizinan reklamasi di Teluk Palu. Ahmad Pelor, Direktur Walhi Sulteng, ketika ditemui Mongabay, awal Februari 2016, mengatakan, dalam waktu dekat draft gugatan akan dirampungkan untuk diteruskan melalui proses hukum.

“Gugatannya perdata. Perbuatan melanggar hukum oleh penguasa. Pilihan yang juga sedang kita pertimbangkan adalah pidana. Karena, kalau lihat UU Tata Ruang, tindak pidana adalah ketika pejabat berwenang mengeluarkan izin tidak sesuai tata ruang. Kedua, ketika pihak swasta atau siapapun melakukan upaya pengembangan wilayah tidak sesuai tata ruang,” katanya.

Saat ini, Walhi Sulteng sedang berupaya mendorong pihak kepolisian untuk menaikan status dari penyelidikan ke penyidikan. Hal itu berdasarkan penilaian bahwa, sudah cukupnya bukti-bukti untuk memproses kasus tersebut. “Reklamasi masuk kategori kasus yang tidak mesti diadukan. Jadi, mesti ada inisiatif pihak penyidik, dalam hal ini pihak kepolisian,” lanjut Ahmad.

Dia mengungkapkan, dasar gugatan tersebut di antaranya, pertama, 35% lahan di kota Palu masih surplus. Sehingga, tidak boleh ada argumentasi yang membenarkan penambahan daratan. “Yang saya maksud, kita masih punya daratan, kok, nambah daratan lagi. Kesan kami ada proses yang dipaksa untuk kepentingan sekelompok orang.”

Kedua, dari sisi ekologi. Reklamasi 33,3 hektar dinilai akan memberi dampak bukan hanya di luasan itu, namun berdampak signifikan bagi wilayah yang lebih luas. Bahkan, bisa mempengaruhi semua ekosistem di Teluk Palu. Ketiga, ada Cesar Palu-Koro yang rentan gempa. Artinya, kondisi geologi sebenarnya tidak cukup mendukung reklamasi di situ. Aktivitas reklamasi beresiko bagi keselamatan masyarakat di sekitar Teluk Palu.

Pemandangan Teluk Palu, Sulawesi Tengah dilihat dari ketinggian. Foto : Themmy Doaly
Pemandangan Teluk Palu, Sulawesi Tengah dilihat dari ketinggian. Foto : Themmy Doaly

Gugatan juga didasarkan prasyarat administrasi yang melanggar rencana tata ruang kota, dimana perda tata ruang tidak mengatur soal reklamasi.  “Teluk Palu adalah kawasan pariwisata yang tidak boleh dikembangkan dengan mereklamasi pantai, karena logikanya tidak akan ketemu.”

“Ketentuan lain, misalnya, reklamasi di atas 25 hektar harus mendapat rekomendasi dari kementerian kelautan dan perikanan. Kalau cek reklamasi Palu, rekomendasi itu tidak ada,” terang Ahmad.

Atas dasar penilaian tersebut, Walhi Sulteng mendesak pemerintah kota untuk menghentikan aktivitas reklamasi. “Pemerintah kota harus menghentikan reklamasi di Teluk Palu. Tidak ada tawaran lain,” tuntut Ahmad Pelor.

 Pemkot Palu: Reklamasi Sudah Mengikuti Aturan

Sementara itu, Pemerintah Kota Palu melalui Kepala Bagian Humas, Akram menegaskan reklamasi di teluk Palu sudah mengikuti aturan yang berlaku dan izin telah yang lengkap.

“Kalau saya lihat reklamasi di Palu mungkin tidak ada masalah. Karena namanya reklamasi, ketika suatu surat sudah diizinkan, berarti dalam proses sudah bisa dijalankan,” katanya kepada Mongabay pada awal Februari 2016.

Menurut dia, selama tidak menyalahi aturan dan tujuannya untuk kemaslahatan umat, maka reklamasi di teluk Palu dapat terus dilakukan. Jikapun ada permasalahan izin, berbagai pihak dihimbau untuk menanyakannya pada pelaksana proyek.  “Seharusnya tidak tanya ke pemerintah, tanya saja ke yang melaksanakan itu (reklamasi). Kalau tidak lengkap pasti aparat sudah lama tangkap.”

Ketika diklarifikasi mengenai izin reklamasi yang dikeluarkan Pemerintah Kota Palu, Akram membenarkan itu. Perizinan ditangani oleh dinas terkait seperti dinas perhubungan, pertanian dan lingkungan hidup.

“Dan itu harus ada rekomendasi dari gubernur. Pimpinan daerah, walikota atau bupati, melakukan hal-hal yang berhubungan dengan kementerian harus ada rekomendasi dari gubernur,” tambah Akram.

Tetapi ia mengaku tidak mengetahui ada tidaknya rekomendasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait reklamasi di teluk Palu.

Ia justru menilai sejumlah pihak kurang jeli ketika menyatakan reklamasi tidak sesuai tata ruang kota Palu. Akram beranggapan, reklamasi dilakukan untuk kepentingan sektor wisata.

“Setiap yang ada di pantai itu untuk wisata. Kalau dia bangun hotel, kan, wisata. Kalau dia bangun rumah makan untuk kuliner, kan wisata. Jadi jangan mengartikan wisata secara sempit. Kita harus melihat secara global.”

“Yang pasti kalau reklamasi itu tanpa izin, bukan untuk kepentingan umum, kalau hanya untuk kepentingan pribadi, itu dilarang.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,