, ,

Tenunan Pewarna Alam dari Desa Sumberarum

Sehari-hari, Jimah, menenun. Begitujuga 370 penenun lain dari Dusun Sejatidesa, Desa Sumberarum, Sleman, Yogyakarta. Mereka menenun sudah turun menurun. Sayangnya, kehidupan ekonomi mereka terbilang sulit karena harga tenunan rendah. “Harga murah, tetapi saya tetap harus menenun. Penghidupan saya hanya dari tenun,” katanya peetengahan Februari lalu.

Perhari, Jimah bisa membuat 20 meter stagen hitam biasa, yang dijual ke pengepul Rp20.000 per 10 meter.

Mayoritas warga desa berpenghasilan dari tenun. Ada juga bertani dan menambang batu dan pasir di Sungai Progo, namun tetap menenun.

Pada 2013, ada Dreamdelion, ke desa mereka menambah pengetahuan dan penghasilan penenun. Dreamdelion ini komunitas anak muda Yogyakarta yang fokus pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan bisnis lokal dilatarbelakangi persoalan sosial ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lingkungan.

Awalnya, Jimah pesimis kehadiran anak-anak muda ini bisa meningkatkan penghasilan warga dari tenun. Berbekal sosialisasi Dreamdelion di forum-forum arisan warga, Jimah menaruh optimistis.

Penenun mulai dikenalkan pewarna alam, dari tanaman khas di desa. Dari jati, nangka, mengkudu dan mahoni. Dia belajar mengolah, mewarnai benang dan belajar motif warna alami untuk tenun. Awalnya sulit, perlu waktu lebih lama menghasilkan warna alam. Makin tua warna, makin lama proses. Perlu dicelup dan dikeringkan berulang kali.

“Perlu empat kali pencelupan menghasilkan warna baik dengan pewarna alam,” kata Jimah.

Sekarang, Jimah lancar membuat tenun warna. Harga jual lebih mahal. Permeter tenun warna Rp20.000. Tenun warna atau rainbow stagen, dikreasikan dalam bentuk tas, bross, dompet dan sepatu dengan sasaran anak muda.

“Harga lebih baik, pembelian masih tergantung pesanan.” Dia berharap, makin banyak memakai dan ikut melestarikan tenun.

Penenun rainbow stagen lain, Sumirahjuga meneruskan warisan turun-temurun keluarga. Kini, dia membuat tas, dompet dan bross tenun. Walau serat benang belum bisa produksi sendiri tetapi mewarnai benang dengan pewarna alam.

Dia berharap, pemerintah memberikan perhatian lebih terhadap aset Yogyakarta ini. “Semoga tradisi menenun tak hilang. Kesejahteraan penenun harus makin baik,” harap Sumirah.

***

Fitriani Kembar, bercerita awal mula bersama Dreamdelion mengenalkan tenun pelangi dan pewarna alam. Pada 2013, mereka masuk ke Desa Sumberarum melalui arisan warga.

Wargapun menyambut baik. Mereka melihat warga bekerja di Sungai Progo menambang, sebagain bertani.

“Kami ingin masyarakat mengurangi aktivitas penambangan pasir melalui tenun stagen. Mengalihkan pencarian penghasilan warga dengan menanam tanaman pewarna tenun,” katanya.

Salah satu cara membentuk koperasi. Mereka bersama masyarakat mengembangkan desa wisata tenun stagen. Pada Maret 2016, akan ada Pasar Tenun Rakyat, guna mengkampanyekan budaya tenun di Indonesia dan menyambut desa wisata tenun pewarna alam di Sejatidesa.

Tenun stagen sederhana menjadi penuh warna dari Desa Sumberarum, menjadi momentum gerakan Tenun untuk Kehidupan (Weaving for Life). Harapannya, gerakan ini bisa melindungi hasil karya dan melestarikan tenun Indonesia.

Desa wisata tenun pewarna alam, katanya, diharapkan menjadi alternatif solusi kerusakan lingkungan dan perbaikan ekonomi warga.

***

Berbagai produk kain tenun disusun rapi di ruang pameran Bentara Budaya, Yogyakarta, kala itu. Foto-foto penenun dibingkai di dinding. Ada dari Desa Sumberarum, Suku Molo, Amantun dan Amanuban, Timur Tengah Selatan (TTS) Nusa Tenggara Timur. Semua itu ada di pameran “Stagen, start Again” Menysuri Cerita Stagen Dibalik Tenun untuk Kehidupan.

Evaulia Nindya Kirana, koordinator pasar tenun rakyat mengatakan, pameran ini mendukung keberlangsungan kehidupan masyarakat melalui kerja kolaborasi berbagai pihak guna melestarikan tenun tradisional pewarna alam. Kegiatan ini, katanya, kolaborasi Dreamdelion, Global Environmental Facility Small Grant Programme (GEF-SGP) Indonesia, House of Lawe, Terasmitra dan Jelakah Indi Komunikasi (JIKom).

Menurut Evaulia, mengangkat stagen sebagai tenun asli Yogyakarta mengingatkan sejarah stagen identik dikenakan ibu-ibu zaman dulu.

Adinindyah, Ketua Perhimpunan Lawe mengatakan, hampir semua daerah di Indonesia memiliki tenun sebagai tetapi tak semua dikenal baik. Ada beberapa wilayah memiliki tradisi kuat menenun, seperti Toraja, Sintang, Jepara, Bali, Lombok, Sumbaya, Sumba, Flores, Timor, Tanggenan, Karangsam dan Bali (kain gringsing).

Salah satu gerakan Weaving for Life  di NTT, Timur Tengah Utara, anak-anak sekolah diajarkan menenun. Hasilnya, dikembalikan pada anak-anak yang menenun. “Hasil penjualan menjadi biaya sekolah dan membantu kehidupan keluarga.”

AA Laksmi Dewi, perwakilan Dinas Kebudayaan dan Pariwisara Sleman berharap, tenun tak punah. “Semoga program ini dapat berkelanjutan, tak hanya manfaat ekonomi juga budaya dan menarik bagi wisatawan.”

Tenun tak hanya menjadi kain, juga produk lain seperti sepatu. Foto: Tommy Apriando
Tenun tak hanya menjadi kain, juga produk lain seperti sepatu, tas dan lain-lain. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,