,

Telur Maleo Sebagai Ritual Adat, Begini Tanggapan Aliansi Konservasi Tompotika

Di Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, setiap tahun masyarakat adat setempat menggelar upacara ritual Molabot Tumpe atau pengantaran telur maleo.  Dalam riwayatnya, telur maleo merupakan amanah Kerajaan Banggai yang harus dilaksanakan setiap telur pertama menetas. Ketika itu, burung maleo dilepas di Bakiriang, yang kini berstatus sebagai suaka margasatwa. Telur tersebut berjumlah ratusan butir, yang harus dibawa dari Batui ke Pulau Peling, lokasinya Kerajaan Banggai.

Usai ritual Tumpe, digelar lagi ritual Monsawe atau syukuran dari malam sampai pagi, yang menandakan pengantaran telur maleo tersebut telah dilaksanakan. Dalam ritual ini, masyarakat memakan telur burung maleo. Sedang telur maleo yang dibawa ke Kerajaan Banggai dijadikan sebagai obat.

Upacara yang menggunakan telur maleo dalam masyarakat adat Batui ini, mendapat tanggapan dari Alto (Aliansi Konservasi Tompotika) sebuah lembaga nonpemerintah yang konsen pada konservasi burung maleo.

“Penggunaan telur maleo dalam tradisi adat Tumpe masyarakat Batui ini bisa ditinjau kembali. Mengingat, status maleo sekarang juga terancam punah. Apalagi jika terus digunakan dalam upacara-upacara adat dengan jumlah telur yang cukup banyak,” ungkap Noval Suling, manejer hubungan pemerintahan pada Aliansi Konservasi Tompotika, pertengahan Februari 2016.

Menurut Noval, ketika masyarakat ingin mempertahankan budaya atau adat yang masih berlaku, ternyata di sisi lain burung maleo justru berjuang untuk kehidupannya di masa yang akan datang, kenapa tidak bila telur maleo diganti saja dengan ornamen lain berbentuk telur. “Dengan begitu, budaya atau adat tetap ada dan terjaga.”

Noval menjelaskan lagi, kalau akhirnya adat ingin mempertahankan telur maleo sebagai bagian utama ritual, ada baiknya masyarakat adat di Batui turut ambil bagian dalam pelestariannya. Baik habitat peneluran, koridor, dan wilayah asli maleo itu sendiri. Sehingga akan ada ketersediaan telur. “Sebaiknya, peran pemerintah di Kabupaten Banggai harus ada juga, mencari solusi bagaimana ritual tetap terjaga dan di saat bersamaan burung maleo terus lestari.”

Pengantaran telur maleo. Foto: Konawe Institut Banggai

Perilaku maleo

Alto sudah 10 tahun di Kabupaten Banggai dan fokus pada pelestarian maleo yang ada di Kecamatan Bualemo. Di daerah tersebut, katanya, tidak ada aktivitas pengambilan telur. Daerah tersebut ditetapkan sebagai kawasan konservasi in-situ, sehingga maleo bebas berkembang tanpa ada gangguan dari masyarakat.

“Kami sedang meningkatkan pengamanan, dan terus melakukan kampanye kesadaran di sekitar kawasan, sampai luar Kecamatan Bualemo. Sekarang jumlah maleo yang datang ke nesting ground nampak ada peningkatan.”

Noval menjelaskan, jika melihat kehidupan maleo, burung ini memerlukan tiga hutan penting yakni hutan nesting ground atau tempat bertelur, hutan koridor, dan hutan asli. “Nah, berkaitan dengan maleo di Kecamatan Batui, di sana Suaka Margasatwa Bakiriang, yang memang hutan koridornya. Namun, hutan penghubungnya sudah rata dengan sawit.”

Menurut Noval, keberadaan perusahaan minyak dan gas LNG Donggi Senoro merupakan “anak baru” yang bergabung di hutan asli tersebut yang pelan-pelan membabatnya untuk memasukkan jalur pipa. Sedangkan perkebunan sawit, lebih awal ambil bagian perusakan hutan koridornya. “Akibatnya, daya dukung dua hutan penting ini perlahan hilang. Sehingga, maleo yang ada di Bakiriang hanya bertahan di nesting ground saja.”

Pastinya, bila habitatnya terganggu, burung-burung tersebut akan pindah ke daerah yang aman untuk berkembang biak. Kemungkinan, mereka berpindah dari Bakiriang, menuju ke hutan Morowali, pengunungan, atau pinggiran sungai.

“Saya pikir yang masih tersisa harus dipertahankan. Belum ada kata terlambat. Tinggal merubah cara pandang, perilaku, dan memberikan ruang bagi maleo untuk tetap hidup di habitat aslinya,” tandas Noval.

Papan selamat datang di Suaka Margasatwa Bakiriang. Kawasan ini adalah wilayah adat Batui, namun di dalamnya ada konsesi sawit dan migas. Foto: Christopel Paino

Namun, tanggapan dari lembaga konservasi itu dibantah oleh tokoh masyarakat adat Batui, Alwi Samadi. Menurutnya, penyebab semakin susahnya maleo hidup bukan karena ritual adat. Melainkan, kehadiran perusahaan besar dan industri ekstraktif. “Kalau punah, sejak dulu burung maleo di Bakiriang habis. Ritual ini sudah ada sejak 400 tahun lalu. Setelah adanya perusahaan, maleo semakin sulit dilihat.”

Menurut Alwi, dalam aturan adat, setiap kepala keluarga yang ada di Kecamatan Batui menyumbang satu telur maleo saat ritual. Bisa dibayangkan berapa jumlah kepala keluarga dalam satu kecamatan. Namun, karena telur maleo semakin sulit, maka yang digunakan untuk ritual berkisar 160-an butir.

“Saya juga tidak setuju kalau telur maleo diganti dengan ornamen atau replika telur yang akan mendatangkan malapetaka nantinya,” ujar Alwi.

Ketua Lembaga Adat Batui, Baharudin Saleh, menambahkan justru yang menghancurkan habitat maleo adalah perusahaan, seperti perkebunan sawit dan perusahaan minyak dan gas. Sebab, Bakiriang yang sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi oleh negara malah ditanami sawit dan pipa untuk pengoboran minyak.

Menurutnya dalam masyarakat adat Batui, burung maleo tidak ditangkap, hanya diambil telurnya sesuai amanah leluhur. Itu pun sesuai aturan adat. Masyarakat tahu mana yang harus diambil dan yang tidak, agar menetes.

Menurut Baharudin lagi, pengrusakan wilayah adat Bakiriang yang merupakan habitat utama maleo terjadi pada 1970-an, ketika kewenangan pengelolaannya diambil alih negara. Sementara, ketika Bakiriang dikelola adat Batui kondisinya justru terjaga baik.

“Sejak ada perkebunan skala besar, ada delapan perkampungan yang wilayah adatnya habis dirambah sawit. Termasuk, makam-makam keramat. Sebaiknya, habitat Maleo di Bakiriang dikelola oleh adat agar terjaga selalu,” papar Baharudin.

Sawit yang berada di Suaka Margasatwa Bakiriang. Foto: Christopel Paino
Sawit yang berada di Suaka Margasatwa Bakiriang. Foto: Christopel Paino
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,