,

Belajar dan Melestarikan Penyu di TCEC Serangan

Hingga sekitar akhir 1995, Pulau Serangan di bagian selatan Kota Denpasar, Bali, masih menjadi salah satu pusat habitat penyu. Ketika itu, Serangan masih menjadi pulau seluas sekitar 110 hektar dan terpisah dari Bali daratan. Desa yang masuk wilayah Kecamatan Denpasar Selatan itu pun dikenal dengan julukan sebagai Pulau Penyu.

Namun, hewan laut yang diperkirakan sudah ada sejak zaman dinosaurus itu mulai menghilang dari Pulau Serangan ketika pulau tersebut direklamasi sekitar awal 1996. Ketika itu, PT Bali Turtle Island Development (BTID), milik dua anak Soeharto, Bambang Trihatmodjo dan Tommy Soeharto, menguruk Pulau Serangan hingga luasnya mencapai hampir empat kali lipat, lebih dari 400 hektar.

Bersamaan dengan reklamasi antara 1996-1997 tersebut, penyu pun mulai menghilang dari Pulau Serangan. Pantai di sisi timur Pulau Serangan yang sebelumnya berpasir menjadi tempat penyu-penyu tersebut bertelur. Setelah direklamasi, pasir di pantai tersebut tidak ada lagi.

Reklamasi Pulau Serangan sendiri berhenti pada 1998 akibat krisis politik dan ekonomi. Kini, daratan baru di Pulau Serangan hanya mewariskan lahan tak terawat. Dia justru mewariskan sejumlah masalah sosial dan lingkungan, seperti abrasi di daerah sekitar Pulau Serangan dan hilangnya habitat ikan hias maupun penyu.

“Dulunya, pada musim penyu bertelur, kami bahkan bisa melihat penyu-penyu itu datang. Sekarang sudah tidak mungkin,” kata Wayan Sudarma, salah satu warga Pulau Serangan.

Sekarang, tak ada lagi pantai berpasir di sisi timur Pulau Serangan. Tempat itu sudah menjadi pemukiman yang dibangun dengan cara menguruk pantai berpasir. Ada pula kanal selebar kira-kira 10 meter yang memisahkan antara pulau baru hasil reklamasi dengan pulau asli di mana warga Serangan tinggal.

Karena ingin menjadikan Pulau Serangan sebagai tempat belajar tentang penyu, pada 2006 silam warga loka pun mendirikan Pusat Konservasi dan Pendidikan Penyu (Turtle Conservation and Education Center / TCEC). Ketika itu, organisasi lingkungan WWF turut mendukung pendirian dan pengelolaan TCEC. Namun, saat ini pengelolaan sudah dilakukan sepenuhnya oleh Desa Adat Serangan.

TCEC berada di Banjar Ponjok, Desa Serangan, Denpasar. Dari pusat kota Denpasar, jaraknya sekitar 20 km. Lokasinya di bagian timur pulau yang sekarang sudah tersambung dengan jembatan setelah direklamasi.

Menurut Pengelola TCEC I Made Sukanta, pendirian TCEC dilatarbelakangi oleh maraknya bisnis ilegal penyu. Selain dijadikan sarana upacara dalam agama Hindu, kadang-kadang penyu juga dibuat menjadi sate. Karena itu, bersama dengan warga Desa Serangan, WWF kemudian membuat TCEC. Tujuannya sekaligus untuk kampanye dan pendidikan tentang habitat penyu.

TCEC berada di kawasan seluas 2,4 hektar. Tempat konservasi ini terdiri dari beberapa bagian, seperti tempat pengeraman dan penetasan telur, kolam pemulihan, serta bak-bak pemeliharaan. Ada pula balai belajar atau diskusi dan tempat kemah. Setiap hari, tempat ini terbuka untuk pengunjung baik turis ataupun pelajar dan komunitas lain yang ingin tahu tentang penyu.

Pengunjung tidak dipungut bayaran untuk masuk. Namun, ada kotak untuk sumbangan dan toko suvenir di mana pengunjung bisa mendonasikan uang untuk dana pengelolaan TCEC.

Suasana di tempat pemeliharaan penyu di Pusat Konservasi dan Pendidikan Penyu (Turtle Conservation and Education Center / TCEC), yang berada di Pulau Serangan, selatan Kota Denpasar, Bali. Foto : Anton Muhajir
Suasana di tempat pemeliharaan penyu di Pusat Konservasi dan Pendidikan Penyu (Turtle Conservation and Education Center / TCEC), yang berada di Pulau Serangan, selatan Kota Denpasar, Bali. Foto : Anton Muhajir

Sukanta menambahkan, TCEC memadukan empat aspek mendasar dalam pengelolaannya yaitu edukasi, ekologi, sosial budaya, dan ekonomi. Sebagai sarana edukasi, TCEC mengajarkan agar warga tidak lagi mengonsumsi penyu baik sebagai makanan maupun bagian dari upacara. Adapun sebagai bagian dari upaya ekologi, TCEC melakukan pelestarian penyu.

Dari sisi sosial budaya, TCEC juga menyediakan penyu sebagai bagian dari sarana upacara umat Hindu Bali secara legal. Namun, ini tidak dilakukan sembarangan karena hanya upacara-upacara besar di Bali yang memerlukan penyu sebagai bagian dari upacara tersebut. Selain itu, pelaksana upacara juga harus mendapatkan surat rekomendasi dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan persetujuan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

Dari sisi ekonomi, TCEC berguna untuk memberikan pekerjaan bagi warga lokal maupun pendapatan bagi desa. Wayan Sudarma, warga Serangan sekaligus pemandu di TCEC termasuk salah satu warga yang mendapatkan fungsi ekonomi tersebut.

Sebagai pemandu di TCEC, Sudarma mahir menjelaskan berbagai informasi tentang penyu meskipun dia belajar secara otodidak. Di bagian penetasan, misalnya, lulusan SMK ini menjelaskan bagaimana proses pengeraman dan penetasan penyu. Menurut Sudarma, telur yang diperam di pengeraman yang berlantai pasir dan beratapkan terpal itu diambil dari berbagai tempat di Bali, termasuk dari Nusa Dua dan Kuta.

Setelah diperam berkisar antara 45-70 hari, anak penyu akan dipindahkan ke bak pemeliharaan. Di dalam bak, ini anak penyu umumnya dirawat hingga umur kira-kira tiga bulan sebelum dilepaskan ke laut. Kadang-kadang, ada pihak lain yang membeli anak penyu atau tukik tersebut untuk dilepaskan bersama.

“Hasil penjualan tukik menjadi salah satu sumber pendanaan bagi kami,” kata Sudarma.

Aneka suvenir yang dijual di Pusat Konservasi dan Pendidikan Penyu (Turtle Conservation and Education Center / TCEC), yang berada di Pulau Serangan, selatan Kota Denpasar, Bali. Foto : Anton Muhajir
Aneka suvenir yang dijual di Pusat Konservasi dan Pendidikan Penyu (Turtle Conservation and Education Center / TCEC), yang berada di Pulau Serangan, selatan Kota Denpasar, Bali. Foto : Anton Muhajir

Sebelum dilepaskan, biasanya tukik atau penyu itu masuk ke kolam lebih luas untuk adaptasi dengan lingkungan laut. Pekan lalu, terdapat tiga penyu berukuran besar di kolam adaptasi ini dengan umur paling tua enam tahun. Menurut Sudarma, penyu berumur enam tahun itu mereka peroleh dari nelayan yang menemukannya di laut. Kondisinya terluka dengan hanya satu kaki. “Kami memang juga merawat penyu terluka yang ditemukan oleh nelayan maupun warga lainnya,” ujarnya.

Di tempat lain, ada pula penyu berumur 10 tahun yang kehilangan satu kaki depannya. Mereka juga pernah merawat penyu yang hampir mati karena perutnya berisi sampah plastik. Untuk penyu-penyu sakit semacam itu, TCEC akan merawat saja tanpa melepaskannya ke laut.

Hingga saat ini, hanya ada tiga jenis penyu yang dirawat di TCEC yaitu jenis penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), dan penyu hijau (Chelonia midas). Jumlah masing-masing tergantung dari berapa banyak telur yang bisa mereka dapatkan atau tetaskan di TCEC.

Sebagai bagian dari upaya pendidikan dan pendanaan, TCEC menjual aneka suvenir dengan motif penyu. Bentuknya berupa magnet, patung, ataupun aksesoris lain. Bagi pengunjung, membeli suvenir tidak hanya sebagai bentuk dukungan bagi pelestarian lingkungan tapi juga menjadi kenang-kenangan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,