,

Menakar Izin Tambang Bermasalah di Kalimantan Barat, Seperti Apa?

Pelantikan enam kepala daerah dan wakilnya di Balai Petitih, Kantor Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat menjadi menarik, lantaran pernyataan Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar), Cornelis. Cornelis menekankan, agar bupati yang dilantik mau menyerahkan izin tambang di daerahnya yang bermasalah ke pemerintah provinsi.

“Ini masalah urgent yang harus dilaksanakan selama 90 hari kerja kedepan,” ujar Cornelis. Dia menegaskan, instruksinya bukan tidak berdasar. Penyerahan izin tambang bermasalah tersebut, kata dia, atas perintah KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). “(Bupati) harus segera menyerahkan izin-izin tambang. (Izin tambang) tidak menjadi kewenangan mereka lagi. Bagi perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan pemerintah akan tetap dicabut. Tidak ada urusan, pokoknya cabut izin usaha tambang yang bermasalah,” tegasnya, pertengahan Februari lalu.

Usai rapat tindak lanjut dan supervisi atas pengelolaan pertambangan mineral dan batubara serta kick off meeting koordinasi dan supervisi sektor energi tahun 2016, di Gedung KPK, Cornelis saat itu telah menyatakan komitmennya untuk melakukan supervisi atas pengelolaan pertambangan mineral di Kalbar.

Supervisi yang dilakukan, mencakup penataan izin usaha pertambangan mineral dan batubara (minerba), pelaksanaan kewajiban keuangan pelaku usaha pertambangan minerba, pelaksanaan pengawasan produksi pertambangan minerba, pelaksanaan kewajiban pengolahan atau pemurnian hasil tambang minerba, serta pelaksanaan pengawasan penjualan dan pengangkutan atau pengapalan hasil tambang minerba. “Sesuai amanat UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, gubernur memiliki kewenangan melakukan evaluasi dan mencabut yang non clear and clean (CNC),” paparnya.

Berkaca dari Koordinasi dan Supervisi KPK pada Oktober 2014, KPK menemukan 312 izin usaha pertambangan (IUP) bermasalah atau non CnC, di antara 682 IUP yang ada di Kalimantan Barat. Kabupaten Ketapang dengan 68 IUP, Melawi (50 IUP) dan Landak (37 IUP) merupakan daerah dengan IUP bermasalah terbanyak. Mayoritas IUP bermasalah karena kurang bayar, akibatnya negara berpotensi dirugikan lebih dari Rp272 miliiar kurun waktu 2011-2013. Persoalan kurang bayar ini, ditemukan hampir di semua kabupaten di Kalbar, Ketapang (102 IUP), Kapuas Hulu (69 IUP), Sanggau (59 IUP), Melawi (45 IUP), Provinsi Kalbar (44 IUP) dan Kabupaten Kayong Utara (40 IUP).

Sebulan kemudian, Cornelis mengeluarkan surat pencabutan izin usaha pertambangan bagi  sembilan perusahaan di Kalimantan Barat yang semua wilayah izin tersebut harus dikembalikan ke pemerintah provinsi. Sembilan perusahaan itu adalah PT. Manca Agung Mandiri, PT. Segoro Global Mandiri, PT. Razana Shora, PT. Indo Gastia, PT. Priyanka Shona, PT. Segoro Global Mandiri, PT. Pusaka Agung Makmur, PT. Segoro Global Mandiri, dan PT. Shoka Lestari. Dalam perkembangannya, hingga 2 Februari 2015, Cornelis telah mencabut 24 IUP dari 66 total IUP yang pernah dikeluarkan.

Dalam surat keputusan Gubernur Kalbar disebutkan semua kewajiban kepada pemerintah yang belum dipenuhi dan atau belum dilaksanakan oleh perusahaan sebelum keputusan ini berlaku wajib diselesaikan oleh perusahaan sesuai ketentuan perundang-undangan.

Sumber: Diolah dari 24 Surat Keputusan Pencabutan IUP oleh Gubernur Kalbar hingga 2 Februari 2015

Terbuka

Hermawansyah, Direktur Swandiri Institute, menyikapi pernyataan Cornelis, sebagai hal yang tepat. “Langkah gubernur benar dalam kerangka kewenangan provinsi sesuai UU 23 tahun 2014, untuk melakukan evaluasi dan penertiban izin,” kata Wawan. Namun, realitanya, izin-izin yang bermasalah itu tidak hanya dikeluarkan oleh bupati, tetapi juga gubernur.

Maka, kata Wawan, pemerintah provinsi harus secara terbuka dan transparan menunjukkan izin-izin yang telah dicabut tersebut, berapa luasannya, dimana saja, dan dikeluarkan oleh siapa saja. Termasuk, bagaimana izin yang dikeluarkan oleh gubernur setelah UU No 23 tahun 2014. Wawan merujuk pada kasus PT. Teluk Batang Mitra Sejati, di Kecamatan Teluk Batang Selatan dan Alur Bandung, Kabupaten Kayong Utara.

Temuan Swandiri Institute, berdasarkan data geographic information system (GIS), sebagian daerah tersebut masuk dalam peta indikatif penundaan izin baru. “Jadi tidak boleh ada izin di atas wilayah tersebut.” Wawan menambahkan, Swandiri Institute tengah menyiapkan legal opini  terhadap kasus di Teluk Batang tersebut.

Teluk Batang Mitra Sejati mengantongi izin dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat untuk aktivitas pertambangan batu granit di Gunung Tujuh, Kecamatan Teluk Batang, Kabupaten Kayong Utara. Mahasiswa asal Kayong Utara, pada pertengahan Desember tahun lalu juga telah melakukan unjuk rasa terhadap kegiatan penambangan tersebut.

“Pemerintah provinsi, pada tanggal 25 Februari 2015 telah menerbitkan izin di areal tersebut. Padahal, Gunung Tujuh merupakan daerah yang menjadi sumber pencaharian masyarakat, untuk tempat bercocok tanam,” kata Sabirin, mahasiswa asal Kabupaten Kayong Utara.

Sabirin mengatakan, aktivitas pertambangan baru granit di Gunung Tujuh sudah menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Belum lagi dampak aktivitas pertambangan, baik itu limbah maupun kebisingan yang ditimbulkan.

Direktur PT. Teluk Batang Mitra Sejati, Nasri Aslian, kepada media mengatakan, persoalan yang dikeluhkan masyarakat adalah sumber air yang berada di Gunung Tujuh. Sumber air tersebut, dikhawatirkan masyarakat tercemar akibat kegiatan penambangan. “Justru sebenarnya sumber air itu, akan dimaksimalkan oleh perusahaan supaya dapat digunakan oleh masyarakat sebagai sumber air bersih,” ungkapnya.

Pembangunan kawasan air bersih tersebut, kata dia, akan dilakukan melalui program CSR perusahaan. Dia mengatakan, masuknya perusahaan ke Kabupaten Kayong Utara pada dasarnya untuk pembangunan wilayah tersebut. Terutama dari sisi peningkatan pendapatan daerah. “Selain itu, perusahaan ini akan membuka peluang lapangan kerja bagi masyarakat sekitar, tak hanya dari tenaga lapangan, tetapi juga tenaga profesional,” tambahnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,