,

Teror Hama Ini Hancurkan Masa Keemasan Petani Kakao Luwu

Ia berukuran lebih kecil dari nyamuk dewasa, sekali bertelur bisa 350 butir. Masa hidup tak begitu lama, dari telur ke larva, hingga imago dewasa hanya 30 hari. Setelah kawin, ia akan mati. Namanya Conophomorpha cramarda snela, dikenal sebagai serangga penggerek kakao (PBK). Serangga ini meletakkan telur di kulit luar kakao, saat buah sebesar baterai A1. Dari tempat itu, telur menetas dan melahirkan larva. Ukuran sangat kecil.

Selama larva, bayi-bayi kecil ini akan meggorok kulit buah yang masih lunak. Ia masuk menembus tempurung dan memasuki biji. Memakan jaringan makanan yang membawa nutrisi dari batang dan tangkai ke buah. Ia begitu rakus dan hidup dalam buah antara 14-18 hari.

Selama waktu itu, larva cukup membuat buah membusuk, hitam, keras, lengket dan rusak. Tak ada yang tahu, sejak kapan ia meletakkan telur, karena hampir pasti tak cukup dilihat mata telanjang. “Nanti kalau buah mulai besar tiba-tiba menghitam, baru ketahuan kalau kena PBK,” kata Annas, petani Desa Cendana Hijau, Kecamatan Wotu, Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

Annas punya lahan kakao dua hektar. Ditanami sejak akhir 1980-an. Pada 1990-an, kakao primadona masyarakat. Setiap hektar, menghasilkan 700 kilogram kakao kering. Sejak 1998, ketika kakao terserang PBK, produksi kakao turun drastis. Saat ini, setiap hektar paling menghasilkan maksimal 400 kilogram kakao basah. “Sudah tidak bisa lagi menjadi penopang kebutuhan utama kehidupan. Hanya menyambung hidup, makan dan anak sekolah hingga SMA,” katanya. “Kalau anak sudah kuliah, saya kira sulit kalau tak ada usaha lain.”

Saya menemui petani lain bernama Sannawi. Di area pembibitan yang sederhana, dia memilah dan merawat bibit kakao sekitar 15 sentimer. Menggunakan kacamata bergagang hitam, tak menggunakan baju. “Ini usaha lain. Kalau hanya mengandalkan lahan penjualan kakao, mana bisa.”

Bibit kakao Sannawi, dijual Rp4.000 per pohon. Bibit didapat melalui stek dari kakao lokal. Saya beberapa kali ke Wotu. Mengunjungi desa-desa dan melihat beberapa petak kakao merana. Bahkan ketika ketika hama PBK merebak, di semua Luwu (Kabupaten Luwu, Luwu Utara, dan Luwu Timur) beberapa petani mengalami stres tinggi. Mereka ada yang menebang pohon kakao, mengganti dengan buah, sawah, cengkih bahkan sawit.

Sannawi, petani kakao di Desa Cendana Hijau Kecamatan Wotu, Luwu timur, memeriksa bibit kakao. Foto: Eko Rusdianto
Sannawi, petani kakao di Desa Cendana Hijau Kecamatan Wotu, Luwu timur, memeriksa bibit kakao. Foto: Eko Rusdianto

Di Desa Tallang, Luwu, 1990-2001, setiap perbukitan dihiasi kakao. Kebun-kebun ramai dengan petani. Mereka menggelar makan bersama, bahkan beberapa petani sukses menjadi pendonor untuk sepakbola antarkampung dengan anggaran cukup tinggi.

Romantisme itu telah usai. Saat ini, di pendopo-pendopo (dekker) tempat menghabiskan malam di beberapa kampung, cerita masa keemasan kakao tak pernah lagi terdengar. Saya merasakan keenggenan mereka bercerita mengenai kakao. Orang tua saya, tinggal di Desa Suli, Luwu, sudah menyulap lahan kakao menjadi buah-buahan.

Petani mengganti kakao menjadi lahan lain, karena satu alasan: hama. Segala macam praktik petani mengendalikan hama, mulai penyemprotan bahan kimia, membuat pengasapan lahan, dan menggunakan bahan organik, tak berhasil.

“Saya empat bulan ini, tak pernah petik kakao. Biarkan saja, kalau ada orang mau ambil silakan,” kata Muhammad Rais, petani kakao Desa Tarengge, Wotu.

Haji Rais, sapaan akrab Rais, memiliki lahan empat hektar. Pada 1975, saat membeli lahan dia menanam kakao hampir 10 hektar. Tahun 1980, mulai panen. Menjelang 1998, semua sirna.

Lahan lain seluas 20 hektar ditanami sawit. Lahan kakao empat hektar juga mau ditanami sawit.

Dia tahu informasi kalau sawit bisa merusak lingkungan. “Tapi mau bagaimana lagi? Kita harus hidup. Kalau ada teknologi bisa membasmi PBK, saya tak akan menebang coklat saya.”

Sekitar 200 meter dari lahan kakao Rais, ada perusahaan pengolahan kakao, PT Mars, berdiri. Perusahaan dari Amerika ini sejak 2010. Sebelumnya 2006, membina petani di Desa Noling, Kecamatan Padang Sappa, Luwu.

Arman, peneliti Mars mengatakan, PBK sulit dikendalikan. Penyemprotan kala buah sudah sebesar biji baterai harus rutin.

Hasilnya, melalui metode Mars, dalam lahan 30 hektar, produksi buah kering antara 2-3 ton per hektar, atau 6-9 ton buah basah.

Petani biasa macam Sannawi dan Annas, hanya mampu menyemprot lahan mereka dua kali sebulan. Untuk mendapat hasil maksimal seminggu sekali. “Kalau kami semprot setiap minggu, sebulan kami keluarkan Rp400.000, sangat berat.”

Harga biji kering Rp20.000-Rp40.000 per kilogram dibeli pengecer. Kakao basah Rp12.000 per kilogram. “Perusahaan hanya beli kakao basah, kering tak dibeli,” kata Annas.

Mars hanya menerima biji kakao kualitas baik. Petani harus memilah cermat biji, jika kempes, rusak, hitam dan keras, tak berharga.

Kakao Mars dan dari petani, dari Luwu, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Biji-biji ini dikirim ke pabrik pengolahan setengah jadi di Makassar, lalu dikapalkan ke Tiongkok.

Mars ekspor bubuk dan menyerupai adonan mentega. Kakao menyerupai adonan mentega, dari minyak kakao murni. “Minyak kakao murni, bisa padat jika dalam kulkas, saat kena panas meleleh seperti mentega,” kata Arman. “Biasa minyak dikonsumsi seperti madu, karena khasiat sangat bagus.”

Petani di Kecamatan Wotu, memilih buah kakao yang sehat, dari hasil binaan PT Mars. Foto: Iqbal Lubis
Petani di Kecamatan Wotu, memilih buah kakao yang sehat, dari hasil binaan PT Mars. Foto: Iqbal Lubis

Mengendalikan dengan musuh alami

PBK jenis serangga migrasi. Sebelum menyerang kakao, kata Arman, ia ke rambutan. Rambutan hanya berbuah setahun sekali, jadi tak rutin. “Ketika ada kakao, serangga ini menemukan tempat baik dan terus berkesinambungan,” katanya.

Masa lalu, rantai makanan alam masih terjaga. Pemangsa utama burung (bahasa lokal disebut docci), kecil sebesar kolibri. Burung-burung ini berkurang sedikit demi sedikit. “Burung ini memakan imago dewasa, telur tidak bisa.”

“Dalam penelitian, hanya mampu mengendalikan imago dewasa dan telur dengan menyemprot,” kata Arman.

Dalam satu kakao, katanya, terkadang sampai 20 larva PBK. Ia cepat memakan nutrisi makanan ke biji. “Serangga ini, tidak memakan biji. Melainkan memakan nutrisi.”

Usia imago dewasa berumur dua minggu. Ketika, larva keluar dari cangkang kakao selama 18 hari, akan membuat kepompong dan terbang, lalu mencari pasangan buat kawin. Setelah beberapa telur dibagi di beberapa buah, imago dewasa mati.

Jadi, jika pembunuh alami ada, imago dewasa yang terbang kawin, dimangsa burung.

Selain PBK, muncul pula serangan Helopotis sp, seukuran lalat. Menghisap cairan buah dan pucuk-pucuk daun muda tetapi mudah dikendalikan.

Teror lain dari jamur. Di kalangan petani kakao dikenal dengan akar merah, akar kuning, dan akar coklat. Menurut Arman, tanaman yang terserang jamur tak dapat dideteksi awal. “Ketahuan kalau daun layu dan menguning. Tanaman mati,” katanya.

Jamur muncul karena kelembaban tanah mulai tak seimbang, misal, kakao, Ph tanah 5–7,5. Kurang dan melewati itu berpotensi terkena hama.

Teror pasca panen juga mulai menghantui masyarakat. Awal Februari 2015, di Luwu beberapa daerah penghasil kakao merebak virus demam berdarah. Di Sukamaju, Bajo, Luwu, demam berdarah menjadi kejadian luar biasa (KLB). Juga di Noling, Luwu.

Dugaan muncul dari bekas cangkang kakao yang setelah panen dibiarkan tergeletak. Cangkang-cangkang kulit terbuka ini menjadi tempat nyamuk bertelur. Beberapa petani menguburkan cangkang usai panen.

Sebenarnya, kata Arman, cangkang bisa menjadi pakan ternak namun memerlukan proses panjang. Cangkang harus didiamkan beberapa hari, cacah kecil dan giling, keringkan. Hasil gilingan campur dengan pakan.

Kegunaan lain jadi kompos. Kompos cangkang sangat baik untuk tanaman, karena mengandung 56,6 persen kalium, yang diperlukan tanaman membentuk buah dan biji. Unsur lain 29% nitrogen dan 9% pospat.

Kakao Sulawesi penting?

Pada 1560, ditemukan pohon kakao di Sulawesi Utara lalu diidentifikasi dari Criollo, asal Venezuela. Dan 1818, pengembangan kakao oleh kolonial Belanda dilakukan di Jawa. Pengembangan besar-besaran antara 1950-1951.

Pengembangan berlanjut. Di Sulawesi Selatan, sejak 1960, orang-orang sudah membicarakan budidaya kakao. Akhirnya, tak begitu lama, lahan perlahan dibuka untuk kakao, dan menjadi paling besar di Indonesia. “Jika di Indonesia kita gunakan skala 100, 65% lahan kakao ada di Sulawesi. Jika disempitkan lagi, Sulsel 70%, dari luas di Sulawesi,” kata Arman.

Di Luwu, saya melihat pengembangan kakao bukanlah tanaman monokultur. Dalam petak-petak lahan, ada beberapa pohon buah seperti nangka, durian, rambutan, atau pohonan pelindung tanaman.

Perawatan cukup mudah. Dalam waktu tertentu pemupukan, pemangkasan tangkai. Kakao tak boleh berdaun cukup lebat. Sela-sela tangkai harus mendapatkan sinar matahari cukup.

Kakao Sulawesi di kancah internasional cukup terkenal. Ia Kakao bahan pencampur untuk produksi Pantai Gading dan Ghana, di posisi puncak produksi. “Kakao Sulawesi aroma khas, sangat disenangi konsumen.”

Kakao Sulawesi juga menjadi bahan campuran, untuk kakao lain. Titik leleh kakao Sulawesi cukup baik, karena tak cepat mencair, dibandingkan coklat produksi Ghana dan Pantai Gading. “Jadi ketahuan bagaimana arti penting kakao kita (Sulawesi),” kata Arman.

Tampilan kakao sehat. Foto: Iqbal Lubis
Tampilan kakao sehat. Foto: Iqbal Lubis
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,