, , , ,

Lingkungan Jawa Makin Kritis, Mengapa?

Pertemuan Walhi se-Jawa di Yogjakarta, menyikapi kondisi lingkungan Pulau Jawa, makin terancam dengan kebijakan pembangunan terutama infrastruktur. Pertemuan ini diikuti Walhi Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Kebijakan ekonomi mengedepankan infrastruktur tercermin dari dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) dan proyek masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI). Dua dokumen ini membahayakan lingkungan hidup di Jawa.

Muhnur Satyahaprabu, Manager Kebijakan Walhi Nasional, dihubungi Mongabay, mengatakan, lingkungan Jawa kritis, bencana ekologi ada di depan mata.

Berdasarkan data Walhi 2015, setidaknya ada 1.071 desa terkena bencana seperti banjir, tanah longsor dan rob di Jabar. Korban bencana ekologi terbesar di Jateng, 152 orang.“Kebijakan pemerintah pusat mempunyai andil besar,” katanya.

Kebijakan pemerintah, katanya, membuka lebar investasi tetapi tak didahului perlindungan lingkungan hidup. Proyek-proyek besar seperti reklamasi, waduk, jalan tol, pengelolaan sampah berbasis teknologi, sampai eksploitasi karst adalah ancaman terbesar saat ini. Pengaturan tata ruang, katanya, dibuat guna memfasilitasi kejahatan lingkungan hidup. Pemerintahan Joko Widodo memproyeksikan pembangunan tol Jawa sepanjang lebih 1.000 km dan lebih 80 infrastruktur lain.

Konsep pembangunan ini, kata Munhur, akan membebani Jawa karena tak didahului kebijakan pencegahan kerusakan seperti kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) atau setidaknya kebijakan rencana pembangunan.

Sektor kehutanan juga kedodoran. Total izin pinjam pakai eksplorasi (survei) tambang di Jatim 3.983 hektar, izin pinjam pakai tambang di Jabar 168,35 hektar. Dampaknya, hutan kritis, seperti Jatim setidaknya 608.913 hektar hutan kritis.

Munhur mendesak, pemerintah, menghentikan upaya penghancuran Jawa. “Segera buat regulasi perlindungan lingkungan Jawa berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan.”

Pencemaran air sungai di Dusun Jelegong, Rancaekek, Bandung. Foto: Indra Nugraha

Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Puput TD Putra mengatakan, beberapa tahun ini masif inflitrasi industri di Jakarta. “ancaman serius jika dibiarkan, reklamasi 17 pulau baru contoh nyata model pembangunan mengesampingkan keberlanjutan hidup nelayan.”

Persoalan lain, katanya, rencana relokasi nelayan tradisional ke satu pulau dipastikan menghilangkan sumber ekonomi mereka.

Wahyudin, advokasi Walhi Jabar mengatakan ancaman lingkungan Jabar makin nyata dengan proyek-proyek seperti kereta api cepat Jakarta–Bandung memangkas kawasan tangkapan air yang menjadi sumber Waduk Jati Luhur. Waduk ini, penyuplai air di beberapa kota seperti Bandung, Bekasi dan Jakarta.

Belum lagi problem lingkungan dan sosial PLTU Cirebon sangat mempengaruhi kondisi lingkungan Pesisir Jawa. “Ini mengancam perekonomian dan kesehatan warga sekitar.”

Juga pembangunan Waduk Jatigede yang menghilangkan hutan dan ruang hidup warga. Sekitar 900.000 pohon hilang berikut keragamanhayati lain dengan pembangunan waduk ini. “Sekitar 70.000 jiwa kehilangan tempat tinggal dan kehilangan 3.200 hektar lahan pertanian,” kata Wahyudin.

Halik Sandera dari Walhi Yogyakarta menyampaikan ancaman tambang pasir ilegal di lereng lingkar merapi. Penegakan hukum, katanya, tak jelas hingga berdampak buruk terhadap lingkungan terutama air bersih.

Begitu juga penataan ruang perkotaan Yogyakarta dalam memfasilitasi pembangunan hotel, apartemen, dan pusat pembelanjaan mempunyai dampak besar terhadap penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

“Rencana pembangunan bandara baru di Kulonprogo, sampai saat ini mendapat penolakan warga.”

Ismail Al-habib Direktur Eksekutif Walhi Jateng, mengatakan, Jateng dalam ancaman besar tambang semen. Di Jateng, khusus di Pati, Rembang, Wonogiri dan Kebumen, masyarakat sedang melawan eksploitasi tambang semen ekosistem karst. Di Jateng, katanya, korporasi besar rebutan mendapatkan konsesi karst. Terlebih sejak terbit keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral soal kawasan bentang alam karst. Ia memangkas luasan karst untuk memfasilitasi investasi.

Daerah aliran sungai (DAS) Jateng juga rusak, seperti DAS Garang, dari hulu sampai hilir kritis. “Pencemaran air dan krisis air bersih wujud nyata lingkungan Jateng dalam bahaya.”

Dari Jatim, Ony Mahardika Direktur Eksekutif Walhi Jatim, mengatakan, kasus PT Lapindo Brantas menjadi penyebab bencana ekologis terbesar dalam sejarah nasional. Dalam kasus ini, katanya, tak didorong pertangungjawaban korporasi malah pemerintah mengambil alih tanggung jawab Lapindo.

Lalu, kerusakan pantai bagian utara dan selatan makin tak terbendung, tambang Lumajang, contoh kasus. “Jika dibuka transparan, kasus-kasus besar penambangan pasir besi akan terlihat lebih mengerikan baik modus maupun keterlibatan aktor.” Kondisi ini, katanya, membahayakan kelangsungan lingkungan. Begitu juga eksploitasi air makin banyak di wilayah atas seperti Malang dan Batu.

Hamparan tanaman pangan warga Pati, yang terancam menjadi tambang. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,