,

Rumah Kompos, Harapan Baru Petani Aunupe Konawe Selatan. Seperti Apa?

Desa Aunupe, Kecamatan Wolasi, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, memiliki tanah yang subur. Masyarakatnya sebagian besar hidup dari bertani dan berkebun. Sayangnya selama ini pengelolaan pertanian tidak dikelola dengan baik.

Ketergantungan pada pupuk dan pestisida alami sangat besar, tidak hanya berdampak pada kesuburan tanah tapi juga dengan besarnya biaya produksi.

Hingga sekitar September 2014, petani diajari berbagai metode pertanian yang lebih modern dan juga ramah lingkungan, melalui program kemitraan dari proyek Agroforestry and Forestry in Sulawesi: Linking Knowledge with Action (AgFor).

Mereka belajar banyak hal, mulai dari teknik okulasi, stek dan pengelolaan kebun yang lebih baik. Petani juga belajar membuat bahan pupuk organik yang pembuatannya dilakukan secara bersama di sebuah rumah kompos.

Sri Utami (30), salah seorang petani yang juga pengelola rumah kompos ini menjelaskan bahwa keberadaan rumah kompos ini sangat membantu warga untuk menghasilkan kompos dalam skala besar.

“Kalau dulu bikin kompos secara manual itu agak repot, karena harus mengumpulkan bahan yang diangkut secara terpisah. Proses pembuatannya pun agak repot karena harus mencacah bahan satu persatu. Waktunya bisa lebih lama untuk sekali produksi,” katanya ketika ditemui Mongabay, pada akhir Februari 2016.

Rumah Kompos ini dibangun atas dukungan dari Bank Indonesia atas fasilitasi dari AgFor. Sejak berdirinya, sekitar Agustus 2015 silam, rumah kompos ini sudah melakukan empat kali produksi dalam skala besar.

“Sekali produksi bisa menghasilkan sekitar 100 karung kompos. Selain digunakan sendiri oleh anggota kelompok sekitar 25 orang, juga kita jual ke petani lain seharga Rp25 ribu per karung,” jelasnya.

Kebutuhan warga Desa Aunupe terhadap pupuk kompos ini cukup besar. Apalagi dengan adanya kelangkaan pupuk sejak beberapa tahun silam, yang berdampak tingginya harga pupuk.

“Kalau pupuk kimiawi itu dalam satu hektar kita butuh 5 zak pupuk dengan harga Rp135 ribu per zak atau sekitar Rp500 ribuan lah. Kalau untuk pupuk kompos ini kita tak keluarkan biaya. Paling korban ditenaga dan waktu saja,” tambahnya.

Jika tidak sedang di kebun, para ibu-ibu petani di Desa Aunupe, Kecamatan Wolasi, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara ini berkumpul di rumah kompos mengumpulkan bahan-bahan pembuatan kompos dan beraktivitas secara bersama. Dengan adanya peralatan bantuan BI kini pekerjaan mereka jauh lebih mudah. Foto : Wahyu Chandra
Jika tidak sedang di kebun, para ibu-ibu petani di Desa Aunupe, Kecamatan Wolasi, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara ini berkumpul di rumah kompos mengumpulkan bahan-bahan pembuatan kompos dan beraktivitas secara bersama. Dengan adanya peralatan bantuan BI kini pekerjaan mereka jauh lebih mudah. Foto : Wahyu Chandra

Menurut Maskur (40), Ketua Kelompok Belajar Tani Sumber Sari, yang ditugasi mengelola rumah kompos ini, proses pembuatan pupuk yang relatif mudah ini membuat petani tidak begitu kesulitan dalam proses pembuatannya. Bahan pembuatan pupuk pun cukup tersedia di sekitar kebun, seperti pelapah pisang, dedaunan, sisa serbuk gergaji atau sekam, ampas sagu, kotoran sapi dan M4 sebagai bahan pencampur.

“Kalau kotoran sapi biasanya kita beli di desa sebelah dengan harga Rp15 ribu perkarung. Butuh hanya beberapa karung saja untuk sekali produksi. Untuk M4 bisa dibeli di toko atau dibuat sendiri,” jelasnya.

Untuk memproduksi 100 karung pupuk kompos ini biasanya membutuhkan waktu hingga sebulan lebih. Mulai dari proses pencampuran hingga penyungkupan dengan karung. Tujuannya untuk mempercepat proses penguraian bakteri.

Keberadaan rumah kompos ini membantu karena keberadaan alat-alat pendukung seperti mesin cacah, peralatan untuk pencampuran kompos serta sebuah motor angkut, yang seluruhnya merupakan bantuan dari BI.

“Berbagai peralatan ini membuat proses pembuatan kompos bisa leboh mudah dan cepat. Tinggal kami melakukan pembagian tugas dan waktu kerja bagi anggota kelompok yang seluruhnya merupakan petani. Biasanya kita bekerja setiap Senin atau Jumat, ketika sedang istirahat dari kebun,” jelasnya.

Usaha pembibitan tanaman

Tidak hanya pembuatan pupuk kompos, keberadaan program Agfor juga membantu petani dalam hal peningkatan pengetahuan dan kapasitas dalam hal pembibitan. Sejumlah tanaman yang kini banyak dibibit antara lain lada, cengkeh, durian dan karet.

Menurut Maskur, pembinaan pada petani melalui program AgFor ini dilakukan melalui serangkaian kegiatan pelatihan dengan praktek langsung di kebun masyarakat. Bedanya dengan pelatihan lain adalah pada metode pembelajaran.

“Kita langsung praktek di kebun sendiri, tidak hanya sekedar teori di dalam kelas saja. Dalam prosesnya pun kami saling berbagi, baik antar petani sendiri maupun dengan penyuluh pendamping sendiri.”

Dalam proses belajar ini, petani juga mempelajari beragam teknik pembibitan yang tidak pernah diajarkan selama ini. Jika dulu tidak ada proses pemilihan bibit yang baik dan sekedar tanam saja, kini melalui proses stek dan okulasi bisa diperoleh hasil yang lebih baik.

“Dulu misalnya pada tanaman lada, bibit lebih banyak menggunakan sulur cacing, namun ternyata dari pelatihan diketahui justru sulur panjat yang lebih baik. Ini yang membuat banyak petani yang tertarik terlibat. Begitupun dalam proses okulasi yang sulit dilakukan, namun kini sudah banyak petani yang bisa melakukannya.”

Kini, hampir seluruh warga telah memiliki lahan pembibitan sendiri. Bibit lada dan cengkeh jadi primadona karena prosesnya yang lebih mudah, cepat dan gampang dijual. Selain untuk digunakan sendiri, bibit-bibit ini juga sudah dijual ke petani-petani lain, termasuk dari desa lain.

Salah satu demplot pembibitan yang dikelola oleh Kelompok Belajar Sumber Sari Desa Aunupe, Kecamatan Wolasi, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Selain demplot kelompok ini warga juga membuat dempolot yang sama di rumah masing-masing. Foto : Wahyu Chandra
Salah satu demplot pembibitan yang dikelola oleh Kelompok Belajar Sumber Sari Desa Aunupe, Kecamatan Wolasi, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Selain demplot kelompok ini warga juga membuat dempolot yang sama di rumah masing-masing. Foto : Wahyu Chandra

Dari hasil pembibitan ini sendiri potensi keuntungan cukup besar. Jika seorang petani memiliki bibit lada sebanyak 2000 pohon, maka sekali pembibitan mereka bisa menghasilkan pendapatan hingga Rp6 juta – Rp10 juta dengan harga bibit Rp3000 – Rp5000 per pohon. Sejumlah petani bahkan ada yang memiliki 5000 bibit.

Harapan Baru

Lukman Tumaleno, Kepala Desa Aunupue, menyatakan keberadaan rumah kompos dan kelompok belajar ini memberi harapan baru bagi warga ditengah semakin langka dan mahalnya pupuk di pasaran dan ketersediaan bibit tanaman yang terbatas.

“Masyarakat sudah bisa membibit sendiri dengan kualitas yang jauh lebih baik. Khusus pupuk, selama ini kita memang kesulitan dalam memperolehnya namun kini sudah bisa dibuat sendiri. Ini dampaknya sangat terasa,” ungkapnya.

Dampak lainnya,  kondisi tanah yang semakin subur karena berkurangnya penggunaan bahan kimiawi.

Menurut Mahrizal, Kordinator AgFor Sulawesi Tenggara, kegiatan pendampingan untuk kompos dan pembibitan ini adalah sebuah upaya kolaborasi kemitraan antara AgFor, Bank Indonesia, Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Gula Raya, dan Pemerintah Daerah Konawe Selatan dalam mencapai terciptanya sistem pertanian dan agroforestri terpadu antara tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan kehutanan.

Desa Aunupe ini sendiri, sebelumnya dikenal sebagai daerah dengan tingkat perambahan hutan dan penebangan kayu secara ilegal yang tinggi. Kebiasaan masyarakat dan pihak dari luar desa mengolah kayu dan budidaya tanaman secara monokultur juga menyebabkan daerah ini rentan pada musim kemarau.

“Situasi ini menggerakkan AgFor untuk memulai suatu kemitraan yang melibatkan berbagai stakeholders untuk berbagi tugas dalam meningkatkan pendapatan petani dan melakukan sosialisasi terhadap pentingnya menjaga fungsi hutan,” ungkapnya.

AgFor, tambah Mahrizal, memang memfasilitasi peningkatan pengetahuan dan pendapatan petani melalui beberapa pelatihan teknis seperti perbanyakan tanaman, budi daya tanaman, produksi pupuk kompos dan pupuk cair, dan melakukan kunjungan antar petani.

“Dari kolaborasi ini kemajuan tidak hanya dilihat dari adanya rumah kompos yang permanen, tetapi juga adanya kelembagaan petani yang semakin kuat, serta meningkatnya keterlibatan mereka dalam pengolahan hutan produksi.”

Pemerintah daerah sendiri, baik melalui Bappeda dan BP4K, membantu petani secara teknis dan juga membuat perencanaan ke arah desa organik.

“Hasilnya, jika pada tahun 2015, yang merupakan salah satu musim kemarau terpanjang di Indonesia, banyak petani mengalami kegagalan dalam panen maka petani di Desa Aunupe ini ternyata mampu bertahan di musim kemarau dan menjadi teladan di desanya untuk menerapkan sistem kebun campur dan pembibitan di halaman rumah.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,