,

Begini, Reaksi Satwa Liar Saat Gerhana Matahari Total

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian Biologi telah menurunkan tim peneliti untuk mengamati respon satwa liar saat terjadinya Gerhana Matahari Total, Rabu, 9 Maret 2016. Penelitian dilakukan dengan asumsi bahwa satwa merespon perubahan lingkungan tersebut akibat terjadinya Gerhana Matahari Total (GMT). Bagaimana hasilnya?

Hari Sutrisno, Kepala Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI, menuturkan penelitian perilaku satwa ini dilaksanakan dalam dua kategori yaitu alam liar dan di penangkaran. Untuk di alam liar dilakukan di Taman Nasional Lore Lindu dan kawasan Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Semua pengamatan menggunakan video dan kamera jebak.

Lore Lindu, Sulawesi Tengah, dipilih karena terdapat berbagai jenis satwa di wilayah ini, termasuk satwa endemik Sulawesi yang menarik diamati seperti mamalia dan burung. Kondisi hutannya juga  masih sebagai habitat berbagai macam serangga, amfibi, burung, dan reptil. Sementara wilayah Parigi Moutong merupakan habitatnya koloni kalong (Pteropus spp).

Hari menjelaskan, hasil pengamatan terhadap perilaku kalong di Parigi Moutong, dan juga yang dilakukan di Kebun Raya Bogor, menunjukkan fenomena yang sama. Sebelum terjadi gerhana, kalong yang bergantung pada pohon terlihat berisik. Namun, begitu matahari tertutup bulan selama beberapa menit, kalong-kalong tersebut diam, tidak beraktivitas.

Kami juga mengamati babi yang ada di kandang di Palu, Sulawesi Tengah. Pagi hari, seperti biasa aktif. Namun, begitu sinar matahari tertutup langsung berhenti makan dan langsung berbaring hendak tidur. Setelah terang kembali, mereka bergerak. ”Inilah rekasi kelompok mamalia yang berhasil terekam pada pengamatan gerhana,” jelasnya.

Untuk serangga, Hari kembali menjelaskan, jenis yang diamati adalah tonggeret dan kumbang kotoran (Dung beetle). Untuk kumbang kotoran, perilaku anehnya terlihat saat gerhana berlangsung, ia segera kembali ke sarangnya. Padahal, sebelumnya ia mendorong-dorong kotorannya. “Ia masuk tanah, dengan perkiraan siang telah berakhir. Dan ketika matahari terlihat lagi, ia pun keluar.”

Sedangkan tonggeret, ketika gerhana terjadi, menganggap sudah malam dan segera mengeluarkan suaranya yang riuh-rendah. Bunyi calling yang menandakan kehidupan malam sudah dimulai, padahal ini pagi hari, terdengar. “Tonggeret merupakan salah satu indikator alami di Lore Lindu yang menunjukkan hutan tersebut masih alami. Hanya di alam yang terjaga, tonggeret akan muncul,” tutur Hari.

Kukang sumatera (Nycticebus coucang) dan anaknya yang dipantau responnya saat gerhana matahari total, Rabu (9 Maret 2016). Foto: Rahmadi Rahmad

Bagaimana dengan herpet? LIPI menugaskan Amir Hamidy, sang ahli kodok. Berdasarkan laporan Amir, sebagaimana dipaparkan Hari, ada 4 jenis yang diamati yaitu katak kecil, katak sawah, dan dua kodok buduk. Yang merespon positif adalah katak kecil. Saat gerhana tiba ia mengeluarkan suara bersahutan untuk mencari pasangannya, dengan anggapan kondisi ini sudah kembali malam. Sedangkan katak sawah dan kodok buduk tidak mengeluarkan suara sama sekali, namun berlindung.

Mengenai burung, hasil pengamatan terhadap raja-udang menunjukkan, jenis ini terlihat aktif di pagi hari, akan tetapi tatkala gerhana terjadi dan suasana menjadi gelap, segera si raja udang bersembunyi. Sementara maleo (Macrocephalon maleo), sebagaimana laporan Sigit Wiyantoro, ada 3 individu yang diamati perilakunya, jantan, betina, dan anakan. “Maleo betina terlihat diam saat GMT, namun gelisah dengan berjalan hilir-mudik jelang gerhana. Untuk jantan, ia segera menuju sarang dengan anggapan saat gelap muncul ini waktunya tidur. Sedangkan anakan maleo, ketika gelap menerpa hanya diam, tidak ada aktivitas,” papar Sigit yang menjelaskan via telepon seluler.

Varanus kordensis (hijau) dan Varanus salvator (kuning) ini apakah terpengaruh akan gerhana matahari? Foto: Rahmadi Rahmad
Varanus kordensis (hijau) dan Varanus salvator (kuning) ini apakah terpengaruh akan gerhana matahari? Foto: Rahmadi Rahmad

Di penangkaran

Akankah reaksi yang sama ditunjukkan satwa liar di penangkaran LIPI di Pusat Penelitian Biologi, Cibinong Science Center? Sejatinya, pengamatan telah dilakukan oleh para peneliti mulai pukul 05.00 – 09.00 WIB yang artinya sebelum dan pascagerhana terjadi.

Wartika Rosa Farida, dari Lab. Nutrisi dan Penangkaran Satwa Liar Bidang Zoologi menuturkan, pengamatan ia lakukan tertuju pada kukang sumatera (Nycticebus coucang), dan kukang jawa (Nycticebus javanicus). Menurut Rosa, jam 05.00 kukang masih beraktivitas seperti bergelantungan dan berjalan, karena kondisi masih gelap. Saat pukul 05.30 kukang mulai diam menuju sarang dan diam saat jam 06.00 WIB.

Puncaknya, saat matahari berbentuk bulan sabit dan langit mulai gelap, sekitar pukul 07.30 WIB kukang kembali bangun dan menoleh kanan-kiri. Diduga, pengurangan cahaya ini menyebabkan kukang bangun, menganggap sudah malam, sehingga terjadi perubahan perilaku. “Sebagai satwa nokturnal, kukang memang aktif di malam hari, dan terhadap gerhana matahari ini tentunya sangat berpengaruh pada perilakunya,” paparnya.

Ada juga landak yang kami amati di penangkaran yang sebagian besar sudah lahir di sini sekaligus sudah beradaptasi. Ada landak raya (Hystrix brachyura) yang tidak hanya tersebar di Sumatera dan Kalimantan tetapi juga hingga Indo China selatan hingga Birma dan landak jawa yang endemik. “Pada landak ini, tidak ada perubahan perilaku. Sejak jam 05.00 pagi sudah berisik, meski ada juga yang duduk namun tidak tidur. Kalau tidur, mata landak pastinya terpejam,” jelas Rosa.

Sementara bajing besar, yang merupakan satwa diurnal (hewan yang aktif disiang hari), justru bangun saat siang. Menurut Rosa, bajing tidak sensitif dengan gerhana matahari. “Dapat diasumsikan, satwa diurnal tidak terpengaruh pada perubahan cuaca dari gelap ke terang.”

Kakatua yang ada di penangkaran LIPI yang turut diamati perilakunya saat gerhana matahari. Foto: Rahmadi Rahmad
Kakatua yang ada di penangkaran LIPI yang juga dilihat responnya saat gerhana matahari. Foto: Rahmadi Rahmad

Rini Rahmatika, peneliti burung dari Pusat Penelitian Biologi, juga memaparkan hasil pantauannya. Menurut Rini, dari jenis burung yang diamati seperti nuri bayan dan kakatua koki (dari CCTV) serta betet biasa, nuri kepala-hitam, dan kakatua tanimbar (secara langsung), menunjukkan bahwa reaksi yang paling signifikan ditunjukkan oleh betet jawa.  “Saat terjadi gerhana hanya  betet biasa (Psittacula alexandri) yang tidur beberapa menit, layaknya seperti senja hari.”

Hal yang tidak menunjukkan adanya pengaruh gerhana justru terlihat pada kelompok hewan melata. Evy Arida, peneliti herpetofauna, menuturkan hasil pengamatannya tersebut setelah memantau kelompok kura-kura; kura-kura brasil, kura-kura ambon, kura-kura sulawesi, kura-kura papua; dua jenis biawak (Varanus salvator dan Varanus kordensis); serta dua jenis ular (phyton timur dan viper hijau).

Menurut Evy, kelompok reptil suhu tubuhnya sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan, bukan cahaya. “Biasanya jenis reptil ini mulai beraktivitas saat pukul 08.00 pagi dikarenakan suhu lingkungan yang telah meningkat. Selama GMT, kami asumsikan reptil tidak terpengaruh oleh perubahan cuaca. Ada atau tidak adanya cahaya, reptil hanya terpengaruh pada suhu lingkungan.”

Berdasarkan catatan LIPI, saat pengamatan perilaku satwa liar di penangkaran berlangsung, ada perubahan suhu sekitar 1 derajat dari 25 ke 24 derajat Celcius. Kelembaban udara naik sekitar 10 persen, dari 80 ke 90 persen.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,