,

Masyarakat Adat Seko Terancam Tambang dan Pembangunan Infrastruktur

Pemerintah Daerah Luwu Utara, Sulawesi Selatan, diminta untuk segera mencabut izin pengelolaan tambang di wilayah masyarakat Seko yang terletak di Kecamatan Seko, karena menjadi ancaman bagi ekosistem di dataran tinggi Tokalekaju, serta bencana ekologis bukan hanya di Kabupaten Luwu Utara akan tetapi juga di tiga provinsi lainnya, yaitu Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.

Demikian salah satu tuntutan dari Aliansi Seko Menggugat (ASM), pada konferensi pers yang diselenggarakan di Mr Coffee, Makassar, pada minggu kemarin.

ASM yang terbentuk pada 22 Februari 2016 lalu adalah kumpulan sejumlah LSM dan tokoh masyarakat yang peduli pada perjuangan masyarakat Seko. Terdiri dari sejumlah lembaga di Sulsel, antara lain Perkumpulan Wallacea, WALHI Sulsel, LBH Makassar, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Luwu, AMAN Sulawesi Selatan, Kontras Sulawesi, Jurnal Celebes, Yayasan Bumi Sawerigading (YBS) Palopo dan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PHBI) Sulsel.

“Kami juga meminta Pemerintah Daerah Luwu Utara untuk memerintahkan penghentian segala aktivitas yang berkaitan dengan pembangunan PLTA yang dikerjakan oleh PT. Seko Power Prima dan PT. Seko Power Prada,” ungkap Asmar Exwar, Direktur WALHI Sulsel, yang menjadi salah satu narasumber dalam konferensi pers ini.

Tuntutan lain dari ASM adalah agar pemerintah dalam setiap rencana pembangunan di wilayah yang di dalamnya berdomisili masyarakat adat, tidak boleh mengabaikan prinsip persetujan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (padiatapa) sebagai salah satu instrumen dalam hukum internasional untuk melindungi hak-hak orang atau komunitas yang potensial terkena dampak pengaruh suatu proyek pembangunan.

“Terakhir kami meminta agar segala bentuk intimidasi kepada warga masyarakat adat Seko Padang, baik itu dilakukan oleh pihak pemerintah, perusahaan ataupun aparat kepolisian, segera dihentikan,” tambah Asmar.

Sardi Razak, Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel, mengkhawatirkan keberadaan investasi tersebut akan mengancam keberadaan masyarakat adat Seko, termasuk penghancuran berbagai situs-situs adat bersejarah di wilayah yang menjadi konsesi perusahaan-perusahaan tersebut.

“Kami membayangkan ketika ada rencana investasi industri ekstraktif dan infrastruktur ini, terdapat 12 desa dan 3 wilayah besar masyarakat adat Seko akan kehilangan identitasnya. Semua peninggalan leluhur berupa situs-situs bersejarah akan dihancurkan. Begitu juga dengan ritual-ritual adat yang selama ini rutin dilakukan di dalam hutan terancam terhenti karena hilangnya hutan sebagai ruang spiritual bagi mereka,” tambahnya.

Sardi menilai upaya paksa pengambilahan wilayah adat ini adalah sebuah pelanggaran konstitusi secara nyata, karena secara internasional, nasional dan daerah sendiri, telah ada pengakuan yang jelas terkait keberadaan masyarakat adat, termasuk yang di Seko itu sendiri.

Hamparan sawah milik Masyarakat Adat Amballong di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan yang terancam kena dampak PLTA. Foto: Mahir Takaka
Hamparan sawah milik Masyarakat Adat Amballong di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan yang terancam kena dampak PLTA. Foto: Mahir Takaka

Penguasaan wilayah yang masuk konsesi/HGU perusahaan tambang dan rencana pembangunan PLTA tersebut  secara otomatis akan menghilangkan hak atas wilayah kelola Masyarakat Adat Seko yang nota bene sudah mendapat pengakuan dari Pemkab Luwu Utara melalui SK Bupati.

“Dalam sejumlah konvensi internasional, dimana Indonesia termasuk negara yang ikut meratifikasinya, keberadaan masyarakat adat telah diakui keberadaannya. Di Luwu Utara sendiri telah ada SK Bupati Luwu Utara No.300 tahun 2004 tentang Pengakuan Masyarakat Adat Seko dan Perda No 12 tahun 2004 tentang Pelestarian Lembaga Adat di Luwu Utara,” ungkapnya.

Sardi juga menyayangkan adanya pemaksaan investasi dan pembangunan infrastruktur ini tanpa adanya sosialisasi dan dialog yang jelas kepada masyarakat, dan bahkan terkesan ditutup-tutupi. Hal ini dianggapnya menyalahi prinsip padiatapa yang menegaskan adanya hak masyarakat adat untuk menentukan bentuk-bentuk kegiatan apa yang mereka inginkan pada wilayah mereka.

“Masyarakat secara umum tidak pernah mendapatkan informasi yang detil dan transparan akan dampak yang akan ditimbulkan jika perusahaan tambang tersebut beroperasi. Bahkan sebelum memperoleh izin eksplorasi, masyarakat sampai saat ini belum pernah mendapatkan pemberitahuan atau dimintai persetujuannya terkait izin eksplorasi tersebut. Warga baru mengetahuinya setelah pihak perusahaan memasang papan pengumuman penyusunan AMDAL.”

Secara budaya, Sardi mengkhawatirkan akan terjadi perubahan tatanan sosial dalam masyarakat dari masyarakat yang mengutamakan kebersamaan dan kegotongroyongan menjadi individualis dan materialistik.

Bahkan lebih jauh ditakutkan bisa terjadi konflik sosial antar masyarakat karena adanya pro-kontra terhadap keberadaan beragam investasi tersebut.

“Hal ini akan berdampak pada pudarnya kearifan adat dan budaya Masyarakat Adat Seko.”

Patok untuk pembangunan PLTA oleh PT. Seko Power Prima di wilayah Masyarakat Adat Amballong di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Foto: Mahir Takaka
Patok untuk pembangunan PLTA oleh PT. Seko Power Prima di wilayah Masyarakat Adat Amballong di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Foto: Mahir Takaka

Dampak yang akan dirasakan masyarakat Seko selain secara budaya juga secara sosial ekonomi. Sumber penghasilan masyarakat yang selama ini berasal dari hutan, sawah, kebun, penggembalaan, dan hasil tangkapan dari sungai-sungai terancam dengan adanya limbah.

Menurut Nasrun, Wakil Kordinator KontraS Sulawesi, berdasarkan data yang ada, saat ini terdapat 10 perusahaan tambang yang mendapat izin eksplorasi dari Bupati Lutra sejak tahun 2011, dimana 6 diantaranya berlokasi di Kecamatan Seko seluas 121.390,22 hektar (Peta HGU – Hasil Digitasi Peta WIUP) atau berdasarkan data Peta WIUP mencapai 90,937 hektar.

Tidak hanya tambang, di wilayah Seko juga saat ini terdapat izin HGU Perkebunan (PT. Seko Fajar) dan rencana pembangunan PLTA yang akan dibangun oleh PT. Seko Power Prima dan PT. Seko Power Prada.

Nasrun juga menyitir adanya laporan kasus pemerasan yang dilakukan warga kepada pihak perusahaan. Padahal apa yang dilakukan warga tersebut bukanlah pemerasan, tetapi mekanisme adat yang sudah ada sejak dulu, yang disebut denda adat. Diberlakukan bagi orang-orang atau pihak tertentu yang dianggap melanggar aturan adat, baik secara lisan ataupun perbuatan.

“Pelaporan pemerasan ini adalah sebuah bentuk kriminalisasi yang bertujuan melemahkan perjuangan masyarakat adat Seko. Ini akan menjadi pintu masuk secara masif investasi ke daerah ini. Dan ketika seluruh investasi ini masuk maka otomatis seluruh masyarakat yang ada di dalamnya akan terusir dari wilayah kelola mereka. Merela akan dicap tidak pro investasi dan pembangunan. Di saat yang sama, hak-hak mereka semakin terabaikan.”

Firman dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, menambahkan bahwa apa yang terjadi saat ini adalah krisis konstitusional yang secara nyata akan mengancam eksistem masyarakat adat Seko, dan ini sama dengan praktek pelaksanaan pembangunan di masa Orde Baru.

“Praktek ini masih berlanjut dimana negara secara terstruktur dan sistematis, atas nama pembangunan melakukan pengabaian hak warga negara dan menimbulkan banyaknya korban-korban pembangunan,” katanya.

Badan Sungai Betue di Wilayah Adat Amballong  di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan yang akan jadi lokasi PLTA oleh PT. Seko Power Prima. Foto: Mahir Takaka
Badan Sungai Betue di Wilayah Adat Amballong di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan yang akan jadi lokasi PLTA oleh PT. Seko Power Prima. Foto: Mahir Takaka

Firman lebih jauh bahkan menuding adanya unsur kesengajaan dari pemerintah dalam menghilangkan identitas masyarakat adat Seko, dengan adanya putusan Mahkamah Agung beberapa waktu lalu, yang memenangkan pihak  perusahaan.

“Di satu sisi dikatakan adanya alas hak warga Seko atas wilayah yang mereka tempati, tetapi di sisi lain negara juga memberikan hak pengelolaan kepada 9 perusahaan yang akan berinvestasi di sana. Ini menjelaskan adanya upaya penggadaian dengan mengabaikan hak-hak konstitusional dari warga Seko.”

Firman selanjutnya mengingatkan pemerintah untuk selalu berpatokan pada sejumlah kebijakan nasional sebelum melakukan rencana pembangunan, seperti putusan Mahkamah Konstitusi No.34 tahun 2011  yang mewajibkan dalam setiap implementasi kebijakan pemerintah wajib untuk meminta izin dan pertimbangan dari  masyarakat apakah mereka mau atau menerima.

“Yang terjadi sekarang ini sangat kontraptoduktif, karena masyarakat Seko telah menyatakan penolakan dan ini malah diabaikan oleh pemerintah. Ini adalah sebuah upaya penghancurann sumber kehidupan, dan berarti penghancuran bagi kehidupan masyarakat Seko itu sendiri.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,