,

Kunjungi TWA Batuputih, Fotografer Manado Kampanyekan Penyelamatan Yaki

Puluhan fotografer mendatangi Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih, Bitung, Sulawesi Utara. Pada hari itu, Sabtu (12/03/16), mereka akan memotret Macaca Nigra (yaki), satwa endemik Sulut yang berstatus terancam punah. Kegiatan ini dinamakan “Photo Trip: Memotret Yaki”, yang merupakan bagian dari peringatan World Wildlife Day (Hari Hidupan Liar), 3 Maret lalu.

Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) f/21 adalah penyelenggara Photo Trip: Memotret Yaki. Mereka adalah organisasi nirlaba yang memberi perhatian terhadap masalah konservasi, lingkungan dan sosial budaya. Perhatian pada tema-tema tersebut, kemudian disampaikan lewat lewat keterampilan foto. Tak mengherankan. Sebab, kebanyakan anggota LPM f/21 adalah fotografer.

Ronny Buol, ketua LPM f/21, mengatakan, kegiatan ini dimaksudkan untuk menggugah minat para fotografer di Manado terkait isu-isu konservasi. Sebab, menurud dia, secara kuantitas jumlah komunitas fotografi di Manado cukup banyak, fotografernya mencapai ratusan. Tapi, kata dia, yang tertarik isu lingkungan, konservasi dan satwa liar, hanya terputar pada individu yang itu-itu saja.

“Jangankan memotret yaki, sebagian besar peserta saja baru datang ke Batu Putih.  Padahal, buat ‘bule’, TWA batuputih jadi salah satu destinasi utama,” kata Ronny kepada Mongabay di TWA Batuputih, Sabtu (12/03/16).

Melalui kunjungan langsung di TWA Batuputih, ia yakin para peserta akan memperoleh banyak pengetahuan mengenai teknis memotret satwa liar, sekaligus dapat berperan dalam isu penyelamantan yaki.

“Memotret satwa liar perlu pengetahuan dasar. Kami juga sudah sampaikan bahwa yang dipotret adalah kekayaan alam yang kita miliki bersama, yang sudah terancam punah. Kemudian, memotret satwa liar bisa menjadi bagian dalam fotografi.”

Sejumlah fotografer memotret yaki (Macaca Nigra) di Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih, Bitung, Sulawesi Utara. Acara yang digagas LPM f/21 dalam rangka Hari Hidupan Liar, bertujuan untuk menggugah minat konservasi di kalangan fotografer di Sulut. Foto : Themmy Doaly
Sejumlah fotografer memotret yaki (Macaca Nigra) di Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih, Bitung, Sulawesi Utara. Acara yang digagas LPM f/21 dalam rangka Hari Hidupan Liar, bertujuan untuk menggugah minat konservasi di kalangan fotografer di Sulut. Foto : Themmy Doaly

Ronny berharap, suatu saat fotografer bisa menjadi agen dalam menyampaikan pesan-pesan konservasi. Sebab, permasalahan konservasi bukan sekedar urusan NGO yang fokus dibidang itu, tapi harus diikuti kesadaran masyarakat, khususnya pecinta foto di Sulut.

“Nanti, ketika foto-foto itu disebarkan, para peserta akan menyampaikan pengetahuan dari kegiatan ini kepada masyarakat luas. Dengan foto, pesan-pesan itu akan lebih muda dicerna,” ujar Ronny Buol.

 Photo Trip: Memotret Yaki” merupakan rangkaian dalam rangka memperingati World Wildlife Day (Hari Hidupan Liar). Kegiatan serupa berlangsung di 5 kabupaten. Di Talaud kampanye perlindungan burung nuri Talaud, di Sitaro kampanye perlindungan Tarsius tumpara, di Bolaang Mongondow dan kota Kotambuagu kampanye save maleo, kemudian di kota Bitung dan Tomohon kampanye penyelamatan yaki.

Sementara itu, di TWA Batuputih, sebagian besar peserta baru pertama kali berhadapan dengan satwa liar, sebagai objek fotonya. Untung, penyelenggara telah mengantisipasi terlebih dahulu kemungkinan itu.

Di sana ada aktivis-aktivis konservasi dari Macaca Nigra Project (MNP), Yayasan Selamatkan Yaki dan Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST). Karenanya, sebelum memotret yaki, para peserta harus mendengar arahan dari orang-orang itu.

Seorang fotografer memotret yaki (Macaca Nigra) di Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih, Bitung, Sulawesi Utara. Acara yang digagas LPM f/21 dalam rangka Hari Hidupan Liar, bertujuan untuk menggugah minat konservasi di kalangan fotografer di Sulut. Foto : Themmy Doaly
Seorang fotografer memotret yaki (Macaca Nigra) di Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih, Bitung, Sulawesi Utara. Acara yang digagas LPM f/21 dalam rangka Hari Hidupan Liar, bertujuan untuk menggugah minat konservasi di kalangan fotografer di Sulut. Foto : Themmy Doaly

Stephan Miloyski Lentey, Field Station Manager MNP, mengapresiasi keterlibatan fotografer dalam upaya pelestarian yaki. Ia berharap, foto yang disebarkan dapat menceritakan keterancaman yaki.

Sebelum peserta memasuki kawasan TWA Batuputih, Stephan memberi penjelasan terkait keterancaman, peranan dan teknis memotret satwa liar khususnya yaki. Kata dia, jumlah yaki tinggal lima ribu. Jumlah itu tersebar di wilayah yang diproteksi maupun tidak. Artinya, yaki sangat rentan terhadap perburuan.

Kemudian, kata Stephan kepada peserta, yaki bisa menyebarkan buah yang dikonsumsi untuk menumbuhkan banyak pohon lewat proses pencernaannya. Selain itu, karena yaki memiliki kantong di pipi maka ia dapat menyimpan bekal makanan. Saat kenyang, yaki bisa mengkonsumsi bekal di tempat yang jauh dan membuang biji-bijian.

“Biji-bijian yang dibuang yaki berakibat dapat menjadi tumbuhan baru di tempat lain. Ini baru yaki. Setiap satwa liar punya peranan masing-masing bagi ekosistem. Ingat, itu dilakukan secara gratis untuk manusia. Saya harap, teman-teman bisa menyampaikan peranan satwa liar tadi kepada masyarakat yang lebih luas.”

Stephan juga menyarankan peserta untuk menjaga jarak agar tidak terlalu dekat dengan yaki, jangan ribut dan tidak boleh buang sampah sembarangan. Mereka juga dilarang meludah untuk menghindari penularan penyakit dari manusia pada satwa liar.

“Bayangkan, sehabis kalian meludah, ada informasi bahwa ‘banyak yaki di Tangkoko mati mendadak setelah kunjungan fotografer’,” ujarnya yang disambut tawa para peserta.

Ance Tatinggulu, dari Yayasan Selamatkan Yaki menambahkan,  yaki adalah satwa endemik Sulawesi Utara yang terancam punah. Secara legal, yaki dilindungi Undang-Undang 5/1990 dan masuk dalam daftar merah IUCN. “Kalau hari ini yaki terancam punah, tanpa gerakan perlindungan dan penyelamatan, bagaimana keadaannya 5 sampai 10 tahun kedepan?”

Ia berharap, kegiatan ini dapat menyuarakan bahwa ada satwa endemik yang eksotis, namun terancam punah. “Semoga foto dari teman-teman bisa meningkatkan kepedulian masyarakat,” harap Ance.

Setelah menerima penjelasan, peserta dibagi dalam tiga kelompok. Mereka masuk ke TWA Batuputih sambil mengingat pesan dan petunjuk yang telah disampaikan sebelumnya.

Di dalam kawasan TWA Batuputih, sekelompok yaki sedang mencari makan. Jumlahnya sekitar 70 ekor. Melihat fenomena itu peserta gelagapan. Mereka cepat-cepat membidikkan kamera ke arah objek foto. Karena terlalu bersemangat, tak sedikit yang lupa petunjuk-petunjuk yang telah disampaikan sebelumnya.

Tim pendamping sigap. Mereka segera memperingatkan peserta untuk menjaga jarak, tetap tenang dan jangan memancing keributan. Bisa disaksikan, kegiatan itu benar-benar membayar rasa penasaran para peserta. Hari itu, mereka bisa bertemu langsung, memotret dan punya koleksi foto yaki, yang selama ini hanya disaksikan di media massa atau media sosial.

Sejumlah fotografer mengikuti acara Photo Trip: Memotret Yaki, yang digelar LPM f/21 dalam rangka Hari Hidupan Liar, bertujuan untuk menggugah minat konservasi di kalangan fotografer di Sulut. Foto : Themmy Doaly
Sejumlah fotografer mengikuti acara Photo Trip: Memotret Yaki, yang digelar LPM f/21 dalam rangka Hari Hidupan Liar, bertujuan untuk menggugah minat konservasi di kalangan fotografer di Sulut. Foto : Themmy Doaly

Seperti dikatakan Meki, pehobi foto dari Manado. Lewat kegiatan ini, ia bisa mengenal Cagar Alam Tangkoko dan Taman Wisata Batuputih. Selain itu, ia yakin bisa mulai terlibat dalam penyelamatan yaki.

Ia berjanji, karya fotonya akan disosialisasikan ke masyarakat luas dan diharapkan dapat menimbulkan pengetahuan lebih menganai yaki, habitat, ekosistem dan keterancamannya. “Lewat foto ini, semoga saja yaki yang merupakan satwa langka, populasinya dapat tetap terjaga,” harap Meki.

Kesan serupa juga diperoleh Andika, mahasiswa Universitas Negeri Manado. Meski baru pertama kali ke TWA Batuputih dan memotret wildlife merupakan pengalaman pertamanya, Andika cukup puas mengkikuti kegiatan foto trip. Ia mengaku, kepeduliannya dalam isu konservasi, khususnya penyelamatan yaki, makin terangsang.

Lewat kegiatan itu, ia juga memperoleh pengetahuan terkait teknis memotret yaki. Kedepannya, Andika berharap, aktifitas yaki yang berhasil ia abadikan, bisa jadi bahan kampanye agar masyarakat lebih mengetahui dan mau terlibat dalam penyelamatan yaki.

“Lewat kegiatan ini, saya berharap, fotografer di Sulawesi Utara dapat mengetahui, bahwa mereka juga bisa mengambil peran dalam penyelamatan satwa liar, khususnya yaki.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,