Sihir Ajaib Gerhana Matahari Total di Kapal Ekspedisi 2016

Saat Gerhana Matahari Total (GMT), Rabu, 9 Maret 2016, saya berada di rombongan besar pemburu gerhana. Total kami sekitar 1.160 orang saat menanti fenomena astronomi tersebut di kapal milik Pelni yaitu KM Kelud. Kami tergabung dalam Tim Ekspedisi Gerhana Matahari Total 2016 Maritim yang diadakan oleh Menko Maritim. Puluhan wartawan dan fotografer, dalam dan luar negeri, ratusan pelajar dan mahasiswa berprestasi, serta para undangan tumpah-ruah di kapal yang bertolak dari Tanjung Priok ke Belitung, yang dilepas oleh Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli, Selasa, 8 Maret 2016.

Pengamatan dari kapal memang dilakukan untuk menghindari awan yang diprediksi akan menjadi ganjalan para pemburu gerhana ini. Belitung dipilih karena merupakan 1 dari 12 lokasi di Indonesia yang akan mengalami GMT. Selain itu, fenomena astronomi yang cukup langka yang dikombinasikan dengan latar pemandangan laut cantik dengan bebatuan khas Belitung menjadikan pengamatan kali ini begitu dinanti dan disambut antusis para peserta ekspedisi.

Setelah berlayar kurang lebih 14 jam, kapal tiba di perairan utara Belitung. Kapal dengan 10 dek ini sempat menunjukkan kemampuannya berputar lincah, mencari lokasi paling strategis dengan minimal awan untuk pengamatan. Kehadiran para ahli dari BMKG dan Astronomi ITB makin menegaskan tempat terbaik kapal bersandar, di perairan utara Belitung, antara Pantai Lengkuas dan Tanjung Kelayang.

Sebagai pegiat lingkungan yang berkutat dengan satwa liar, terutama burung, pastinya saya akan melakukan pengamatan terhadap hidupan liar ini, sebagai target ekspedisi. Terlebih saat gerhana, kejadian alam yang tidak setiap waktu terlihat.

Pantai Lengkuas. Foto: Hilda Lionata
Pantai Lengkuas. Foto: Hilda Lionata

Sebelum gerhana, saya dan seorang rekan mengamati tiga individu burung cikalang kecil (Fregata ariel) yang terbang melayang, berputar mencari makan di arah ufuk timur. Kehadirannya menambah magis saat matahari mulai muncul, perlahan. Makanan utama cikalang kecil adalah ikan, selain juga mengkonsumsi cumi-cumi, telur, dan anakan burung laut. Burung ini sering dilihat di perairan di seluruh Sunda Besar. Perilaku yang biasa ia lakukan.

Lalu, bagaimana ketika gerhana? Saat mulai terjadi pertemuan antara piringan bulan dan matahari, pukul 6.21 WIB, aktivitas cikalang kecil tak terlihat lagi. Langit tampak sepi dan perlahan meredup seiring semakin hilangnya matahari yang terhalang oleh piringan bulan.

Satu jam berlalu, tanpa terasa semua mata memandang proses tertelannya sang surya oleh Batara Kala. Saat pukul 7.21 WIB, terjadilah awal dari dua menit sepuluh detik momen gerhana total.

Momen diawali dengan jeritan wow dari para penumpang kapal yang terpesona melihat merjan Bailey dan korona yang mengagumkan. Selebihnya, terpekur dan tersihir memandangi fenomena unik ini.

Saya menyempatkan diri membuka kacamata gerhana dan melihat sekeliling perairan. Gelap, tak ada aktivitas burung karena saya berada di tengah laut lepas dan tidak banyak hidupan liar yang teramati. Ini membuat saya bertanya, bagaimana umumnya satwa bereaksi saat GMT terjadi. Sayang, literatur mengenai hal ini cukup jarang karena para pemburu gerhana lebih banyak mengupas pada sang matahari dibandingkan hidupan liarnya.

Burung dara-laut kumis. Foto: Hanom Bashari
Burung dara-laut kumis. Foto: Hanom Bashari

Tahun 2000, Elliot J. Tramer dari Departemen Biologi Universitas Toledo, Ohio, dalam papernya dituliskan hasil pengamatan perilaku burung saat gerhana matahari total yang terjadi pada Februari 1998 di pesisir utara Venezuela. Paper yang diterbitkan oleh The Wilson Ornithological Society ini melaporkan bahwa cikalang elok (Fregata magnificens), undan coklat (Pelecanus occidentalis), dan dara-laut royal (Sterna maxima) yang awalnya sedang mencari makan sebelum gerhana, meninggalkan teluk sebelum gerhana total. Mereka terbang mengarah ke lokasi sarang mereka, perilaku yang biasa dilakukan ketika matahari terbenam. Kemungkinan, cikalang kecil yang saya amati melakukan hal yang serupa sebagaimana kerabatnya, cikalang elok.

Elliot juga mengamati camar tertawa (Larus atricilla) yang berhenti mencari makan dan terbang bolak-balik di atas air dalam kelompok kompak selama 3 menit totalitas gerhana. Dari pengamatan tersebut terlihat, dua belas menit setelah totalitas selesai, cikalang dan undan kembali ke teluk, bergabung dengan camar dan melanjutkan mencari makan. Berikutnya, dara laut yang menyusul sejam lebih setelah terjadinya totalitas gerhana. Hipotesis Elliot menunjukkan, meskipun gerhana terjadi dalam waktu yang tak lama, tampaknya penurunan cahayanya cukup mengganggu perilaku normal burung yang aktif di siang hari.

Cikalang kecil. Foto: Hanom Bashari
Cikalang kecil. Foto: Hanom Bashari

Sementara, Dr. Paul Murdin, OBE, yang saat itu Profesor Astronomi Tamu di Liverpool John Moores University’s Astronomy Research Institute, pernah mempublikasikan hasil pengamatan lapangan yang dilakukan oleh 250 anggota Wildlife and Environment Zimbabwe di Taman Nasional Mana Pool saat terjadi gerhana, 2001. Saat itu, karena lokasi pengamatannya di darat, maka burung yang teramati kebanyakan juga burung yang beraktifitas di daratan.

Dalam penelitian itu sebagaimana dituturkan Dr. Murdin, WEZ ditemukan beberapa keanehan perilaku burung di habitat alaminya saat gerhana. Kicauan burung di taman nasional berhenti selama periode gelap gerhana. Lalu, saat matahari perlahan muncul setelah ditinggalkan piringan bulan,  burung merpati mengumandangkan nada kresendo panggilan fajar. Burung lain seperti kutilang dan jalak mulai bersuara bak paduan suara. Sedangkan angsa dan burung air seperti kuntul dan cangak terlihat kembali ke sarang mereka.

Akhirnya, hasil pencarian di jurnal akademik tertua yang saya lakukan mengenai pengamatan perilaku hewan saat gerhana matahari total tertuju pada tulisan William Morton Wheeler dkk. tahun 1932.

Tulisan Wheeler dkk. yang dimuat dalam Proceedings of the American Academy of Arts and Sciences tahun 1935 tersebut sudah mendata dan mengumpulkan hasil pengamatan perilaku satwa sejak gerhana total terjadi tahun 1851 di Swedia. Cakupan koleksi datanya pun tak hanya taksa burung tapi juga insekta dan mamalia.

Tulisan yang cukup menyeluruh ini menyingkap bervariasinya perilaku satwa liar saat terjadi GMT. Begitupun dengan respon burung, untuk spesies sama kadang teramati mereka mengeluarkan nada panggilan panik, namun di tempat lain spesies tersebut cenderung menarik diri. Hanya saja, tidak dirinci jelas waktu terjadinya gerhana di tiap tahun pengamatan.

Gajahan penggala. Foto: Hanom Bashari
Gajahan penggala. Foto: Hanom Bashari

Cahaya merupakan petunjuk penting bagi hewan untuk memulai kegiatan. Gerhana dapat merubah kondisi cahaya ini secara dramatis. Hewan diurnal (yang aktif siang hari) berperilaku seolah malam menjelang sehingga kembali ke sarang dan bahkan perilaku tidur mereka meningkat, saat GMT terjadi. Sementara, hewan  nokturnal (yang aktif malam hari) menunjukkan pola sebaliknya.

Mengingat gerhana kali ini terjadi tak berapa lama setelah matahari menunjukkan diri, hewan nokturnal dan diurnal mungkin masih menganggap durasi malam diperpanjang. Hewan diurnal yang baru saja hendak beraktivitas, sesaat membatalkan kegiatannya, sementara hewan  nokturnal yang mau beranjak tidur, awas kembali.

Penelitian mengenai perilaku burung dan satwa liar secara komprehensif memang harus terus dilakukan, tidak hanya di darat tetapi juga di laut. Yang pastinya diperkuat dengan lebih banyak data dan pengamatan saat GMT terjadi di berbagai tempat di bumi.

*Hilda LionataPegiat lingkungan yang aktif di Burung Indonesia. E-mail: [email protected]

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,