, , ,

Nasib Sagu Merauke Berganti Sawah dan Sawit

Fredy Wanda, merenung mengenang nasib hutan Merauke, Papua. Kehidupan orang Marind juga berubah. Sejak ada Merauke Integrited Food and Energy Estate (MIFEE), mereka menjadi petani sawah. Pangan lokal mereka, sagu, pelahan menghilang.

Hutan sagu berganti sawah. Kini, orang Marind mengolah lahan menjadi beras. Bukan itu saja, Ketua Forum Peduli Port Numbay Green (FPPNG) ini khawatir, proyek canangan Presiden Joko Widodo seluas 1,2 juta hektar ini juga mengubah daerah ini jadi “hutan”sawit.

Sawit ditanam di hulu kali, seperti Kali Kumbe, Bian, Maro. Parahnya, sungai di Merauke–umumnya rawa– mengalir ke hilir. “Sawit rakus air. Belum lagi butuh lahan kering dan pestisida banyak. Sungai makin sempit hingga kering sama sekali. Padahal alam Merauke butuh air dari tiga itu sebagai cadangan air minum berbagai mahkluk hidup. Ini bisa merusak lingkungan,” katanya.

Dia mengatakan, pemilik ulayat yang setuju, hanya mendapat keuntungan sesaat. Mereka tawarkan mendidik warga, tenaga kerja, puskemas, rumah sampai kendaraan roda dua dan empat.

Manokwari menjadi saksi betapa sawit meninggalkan banyak masalah. Mulai hak ulayat terampas, penggajian tak adil, hingga konflik dengan masyarakat. Paling riskan, katanya, pemilik tanah bentrok dengan aparat keamanan.

Merauke, katanya, sebenarnya berpotensi menjadi pusat sagu, tetapi tumbuhan ini makin berkurang. Dulu, hutan Merauke penyimpan sagu. Kini berubah menjadi sawit. “Sagu makanan pokok saya. Orang Papua kebudayaan tokok sagu. Bukan tokok sawit,” katanya.

Kebun sawit dalam konsesi perusahaan di Boven Digoel. Foto: SKPKA
Kebun sawit dalam konsesi perusahaan di Boven Digoel. Foto: SKPKA

Efendi Kannan, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Merauke, menyebut, sagu memiliki kekhususan, menyerap CO2 juga menghasilkan pangan lokal di Merauke. Pemerintah, katanya, melarang investor menebang hutan sagu. Bila terlanjur, investor harus menanam kembali, bahkan di areal tebangan harus diperluas. “Jadi istilah kami, kalau kurang baik harus direhabilitasi. Ini pangan lokal. Sagu pangan orang Marind.”

Sagu tergolong mahal ketimbang beras. Ia bisa dikembangkan karena permintaan pasar juga tinggi. “Ini harus tumbuh terus dikembangkan Suku Marind.”

Dia melihat beberapa kampung seperti Kampung Kwemsit, Distrik Kaptel hutan sagu sangat jauh. Jika mau makan tepung sagu, perlu waktu lama. “Sagu harus didekatkan dengan masyarakat.”

Investor, katanya, harus bertanggujawab mengembangkan sagu. Di sawah, bibit sagu menjadi pagar, misal, 500 hektar padi, pinggiran sawah ditanami sagu. “Sagu tanaman penghijauan, penahan air, akar menangkap air tanah,” katanya.

Dinas mengembangkan tanam sagu di beberapa daerah terjauh seperti Distrik Waan, Tabonji, Kimaam, Ilawab dan lain-lain. “Sekarang mencoba sekitar Merauke di Kampung Sermayam dan Urumb. Di sekitar Merauke, sulit tumbuh karena orang Merauke terbiasa makan nasi.”

Edi Setiono, Kabid Tanaman Holtikura Dinas Pertanian dan Holtikultura Kabupaten Merauke menjelaskan, pangan lokal banyak di Merauke. Selain sagu, ada kombili, keladi, ubi kayu, petatas. Dinas telah mengembangkan itu. “Sekarang tahap pengembangan awal untuk pangan lokal.”

Di beberapa kampung seperti Distik Merauke, Kaptel, Tubang, Muting, dinas membagikan bibit atas permintan masyarakat. Warga juga ingin melengkapi tanaman sorgum. Dari budidaya tanah, sorgum relatif mudah tumbuh, bahkan bisa panen dua hingga tiga kali pertahun. Tanaman ini memiliki multifungsi. Buah atau biji bisa untuk pangan sekaligus pakan ternak. Ia juga bisa jadi bioetanol. “Tapi baru ujicoba untuk demplot dan pembibitan.”

Feddy Wanda. Foto: Agapitus Batbual
Feddy Wanda. Foto: Agapitus Batbual
Tanaman sagu yamg masih tersisa di dekat Bandara Merauke. Foto: Agapitus Batbual
Tanaman sagu yang masih tersisa di dekat Bandara Merauke. Foto: Agapitus Batbual
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,