Menangkap Ipun, Ikan Simbol Kiriman Berkat Sang Pencipta

Musim tanam Berakhir. Sembari menanti panen, masyarakat Tana Ai disibukan dengan aktifitas menangkap ipun di kali Nangagete. Ikan seperti teri ini dimanfaatkan untuk dikonsumsi. Ipun pun ibarat berkat dari langit bagi Tana Ai.

Masyarakat Tana Ai, demikian sebutan bagi suku yang mendiami wilayah timur Kabupaten Sikka, Flores, NTT masih memegang teguh adat dan budaya. Masyarakat yang menetap di pinggiran sungai Nangagete ini, menganggap kemunculan ipun di saat-saat tertentu sebagai rezeki dari Ama Pu (Sang Pencipta).

Menurut mitos masyarakat Tana Ai, ipun muncul dari gumpalan besar menyerupai kantung yang dimuntahkan oleh seekor ikan besar yang disebut ikan raja. Gumpalan ini berupa ikan-ikan kecil mirip ikan teri halus. Satu gumpalan berada di daerah Iyangloeng dan satu lagi di Nangamera.

Kedua gumpalan ikan tersebut kemudian sama-sama bergerak ke arah muara kali Nangagete di Bangkoor. Sekitar tigaratus meter sebelum muara sungai, kedua gumpalan ini lalu bergerak berenang melawan arus menuju hulu sungai Nangagete, masuk ke kali-kali kecil sebelum akhirnya kembali ke laut. Demikian kira-kira cerita siklus hidupnya.

Perjalanan yang ditempuh oleh ipun untuk berenang dari muara sungai ke hulu hingga kembali lagi ke hilir mencapai tiga minggu. Selama waktu itu masyarakat beramai-ramai turun ke kali untuk menangkap ipun.

“Siapa saja boleh menangkap Ipun. Tak mesti orang Tana Ai saja. Sebelum menangkap juga tak ada upacara adat atau pantangan tertentu,“ jelas Yosef Jeremias Yansen, salah seorang warga yang dijumpai Mongabay. Menurutnya tradisi menangkap ipun telah dipraktekkan beratus-ratus tahun sejak moyang masyarakat Tana Ai.

Dalam setahun, biasanya ipun tiga kali menghampiri sungai Nangagete. Pada bulan Januari untuk pertama kali ipun muncul. Ipun ini biasa disebut ipun loen goit (ipun penunjuk jalan), selanjutnya di bulan Februari muncul kelompok ipun yang disebut ipun watar, karena biasanya bersamaan dengan musim jagung muda.

Kelompok ipun yang ketiga muncul antara akhir Maret hingga awal April yang disebut ipun delat, biasanya identik dengan ikan teri, hanya berbeda warnanya saja yang hitam. “Ipun kalau sudah masuk ke kali warnanya pasti berubah jadi hitam. Kalau di muara kali atau di laut dia lebih putih,“ jelas Yansen.

Menurutnya, ipun yang tidak kembali ke laut akan menetap dan berkembang biak hingga besar di sungai Nangagete. Terdapat beberapa nama lokal untuk jenis ipun tersebut, seperti ikan bok atau ikan bengu. Ikan-ikan ini biasa mudah dipancing atau ditangkap dengan jala.

Ipun, ikan yang berbentuk seperti ikan teri, yang dikumpulkan oleh warga. Foto: Ebed de Rosary
Ipun, ikan yang berbentuk seperti ikan teri, yang dikumpulkan oleh warga. Foto: Ebed de Rosary

Cara menangkap ipun

Seperti yang dipraktekkan oleh sebagian masyarakat. Menangkap ipun ternyata cukup mudah. Warga cukup mengumpulkan batu-batu kali sehingga membentuk formasi huruf ‘U’. Susunan batu ini akan membendung aliran air dan membuat ipun berkumpul di tempat yang terbendung.  Cara ini biasanya disebut dengan nama ketor.

Ipun yang sudah berkumpul di air yang dibendung tersebut lalu ditangkap dengan menggunakan alat yang dinamakan klabur. Klabur berbentuk kerucut terompet yang terbuat dari kulit kayu atau seng yang bagian belakangnya disumbat dengan daun lontar atau kulit jagung kering.

Pada saat digunakan, satu tangan akan memegang klabur dan tangan lainnya mengarahkan agar ipun masuk ke klabur. Saat ipun sudah masuk, klabur pun diangkat untuk meniriskan air sehingga hanya tersisa ipun didalamnya. Ipun lalu dituang di sebuah wadah untuk tampungan hasil tangkapan.

Ipun yang sudah diolah sebagian dimasak menjadi lauk dengan ragam variasi. Ipun bakar dapat disajikan di dalam balutan daun pisang atau bambu yang dibakar yang disebut dengan kose.

Ipun pun dapat diawetkan dengan menggunakan campuran larutan garam, jeruk nipis dan kemangi yang disebut woi. Ada pula yang dimasak berkuah dengan bumbu kuah asam. Ipun goreng juga dapat disajikan dengan campuran tepung terigu.

“Kalau sekarang orang lebih suka menggoreng ipun dicampur terigu dan bumbu. Lebih praktis, juga lebih enak,“ tutur Yansen.

Selain untuk konsumsi sendiri, ipun juga dapat dijual dalam ember ukuran 25 kilogram. Satu ember penuh Ipun dijual seharga 150 ribu sampai 175 ribu rupiah. Bila panen melimpah, harga jual bisa menurun dan berkisar antara 50 ribu hingga 75 ribu rupiah.

Ipun pun seakan menjadi berkat bagi masyarakat Tana Ai yang mendiami bantaran sungai Nangagete.

Artikel yang diterbitkan oleh