,

Desa Adat Sepakati Pasubayan Tolak Reklamasi Teluk Benoa. Seperti Apa?

Perbincangan kelompok-kelompok warga saat aksi besar Desa Adat Bergerak Tolak Reklamasi Tolak Benoa, Bali, akhir pekan lalu membawa pesan penting. Mereka makin marah dan heran dengan lambannya upaya pemerintah pusat merespon penolakan ini. Bahkan sebanyak 26 desa adat sudah menyepakati pasubayan (kesepakatan moral) untuk puputan atau berjuang sampai akhir.

Jelang dan setelah aksi sekitar 10 ribu orang di Taman Ngurah Rai, dekat bandara jantung industri wisata Bali ini warga terdengar intens mendiskusikan situasi ini. Misalnya perbincangan beberapa pecalang (satuan keamanan desa adat) yang mengamankan aksi.

Terlebih kepolisian berupaya menghentikan aksi dengan negoisasi sampai detik terakhir longmarch yang sudah disampaikan surat pemberitahuannya. Bahkan beberapa hari sebelum aksi, pasubayan desa adat ini sudah menginformasikan secara terbuka lewat jumpa pers. Mereka dengan detail menyebut lokasi aksi dan waktunya. Termasuk meminta warga menghindari melintas area aksi jelang turun ke jalan menghindari kemacetan panjang.

Misalnya Gung Oka, pecalang Desa Adat Kuta dan sejumlah warga yang bersemangat ikut aksi. “Tidak usah dihalangi, biarkan dunia internasional tahu masalah ini, kenapa dibiarkan berlarut sampai aksi besar-besaran,” ia berbincang sambil mengarahkan rombongan warga desa yang bergantian datang dengan kendaraan dan berkumpul di Desa Kelan, Tuban.

Bunderan Tuban, lokasi aksi adalah pertemuan arus wisatawan dari sejumlah daerah padat wisatawan seperti Jimbaran, Nusa Dua, Kuta, dan dilalui pelancong dari dan ke bandara. Di area ini juga ada pintu tol Barat, pesisir Teluk Benoa, dan hutan bakau yang menjadi asset bagi investor reklamasi.

Sejumlah warga menimpali. Misalnya mendiskusikan jalan tol yang sudah dirancang seolah memberi jalan pada pulau-pulau hasil reklamasi dengan mengisi sayap di kanan kiri jalan tol di atas perairan Teluk Benoa. “Padahal dulu alasannya buat jalan tol untuk KTT APEC,” seru Oka.

Ada juga yang mendiskusikan pasifnya anggota DPRD Bali sehingga warga bergerak sendiri tanpa dukungan pemerintah. “Berapa uang yang sudah digunakan untuk memuluskan rencana ini ya?” tanya warga lain heran. Menurut mereka ribuan warga yang hadir saat aksi ini masih sekaa demen atau orang yang benar-benar semangat saja belum mengerahkan sebagian warga desa.

Sekelompok orang membawa ogoh-ogoh berupa ekskavator dalam unjuk rasa Desa Adat Bergerak menolak reklamasi Teluk Benoa pada pertengahan Maret 2016. Foto : Luh De Suriyani
Sekelompok orang membawa ogoh-ogoh berupa ekskavator dalam unjuk rasa Desa Adat Bergerak menolak reklamasi Teluk Benoa pada pertengahan Maret 2016. Foto : Luh De Suriyani

Perbincangan-perbincangan kelompok warga ini terdengar saat Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI) sedang bernegoisasi dengan kepolisian yang meminta aksi ditunda. Bahkan ada rombongan massa yang dihadang di beberapa titik sebelum sampai ke titik kumpul. Informasi ini dengan cepat beredar termasuk foto-foto dan video kekesalan warga saat minta polisi membuka blokade.

I Made Suardana, pendamping hukum ForBALI menyebut pada pukul 13.30 WITA, Kapolresta  Denpasar mengajak Bendesa (pempimpin desa adat) Kelan berdiskusi yang pada intinya minta aksi ditunda sehubungan dengan ada event  internasional. “Terjadi diskusi panjang antara Kapolresta dengan I Nyoman  Mardika, saya dan Bendesa atas permintaan Kapolresta.  Diskusi yang berlangsung 30 menit itu  tidak menghasilkan keputusan,” katanya.

Suardana mengarahkan agar ada diskusi dilakukan juga dengan para Bendesa lain untuk  mengambil keputusan. Sekitar pukul 14.00 WITA,  Bendesa Kelan, Tanjung Benoa  bersama para komunitas serta koordinator Forbali mengadakan diskusi di pura  desa  dan hasilnya aksi tetap dijalankan.

Jalan tengahnya Bendesa tidak berorasi dan durasi longmarch hanya 30 menit saja. “Guna menghormati dua kepentingan yaitu kepentingan polisi dan kepentingan aksi,” paparnya.

Saat truk komando keluar untuk memimpin aksi, warga menyambut riuh karena mereka sudah menunggu cukup lama karena interupsi negoisasi ini. Saat itu, cuaca sangat terik karena matahari sedang berada di jalur garis khatulistiwa (equinox).

Namun kepolisian masih berharap agar ditunda sementara massa menolak. Suardana lewat megaphone memberi pengumuman aksi hanya berputar sekali saja di jalan bypass bundaran Taman Ngurah Rai. “Semua satu komando, tidak ada yang ke arah tol dan bandara, kita hanya berputar satu kali saja,” serunya berapi-api.

Satu keluarga yang terdiri dari bapak, ibu dan dua anaknya ikut dalam unjuk rasa Desa Adat Bergerak menolak reklamasi Teluk Benoa pada pertengahan Maret 2016. Foto : Luh De Suriyani
Satu keluarga yang terdiri dari bapak, ibu dan dua anaknya ikut dalam unjuk rasa Desa Adat Bergerak menolak reklamasi Teluk Benoa pada pertengahan Maret 2016. Foto : Luh De Suriyani

Massa ini kemudian melakukan longmarch sekitar dua kilometer di tengah teriknya matahari dan padatnya pengendara yang berjubel.  Kapolresta Denpasar Kombes Pol Anak Agung Made Sudana terlihat mengomando polisi membersihkan rute longmarch agar aksi berjalan lebih cepat. Sebuah mobil terlihat diangkat beberapa anak buahnya karena menghalangi jalan.

Warga dari beberapa kabupaten ini juga mengiringi sejumlah ogoh-ogoh, seperti boneka raksasa dari kertas dan bambu dengan pesan anti pengurugan laut. Ogoh-ogoh setinggi 2-5 meter ini diarak kelompok pemuda yang mengerahkan energinya di tengah cuaca yang sangat panas dan penuh polusi asap kendaraan.

Ada juga rombongan keluarga, orang tua dan anak-anaknya yang ikut semangat berpanas-panasan membawa bendera dan atribut penolakan reklamasi. Seperti biasa, relawan pemungut sampah terus mengingatkan warga tak buang sampah sembarangan dan membawa kantong-kantong untuk memungut setiap remah sampah yang tersisa di jalanan.

Pasubayan Desa Adat

Sebelum aksi terbesar yang pernah terjadi di Bali ini, Sedikitnya 26 desa adat sudah menyatakan tekad yang dianggap sebagai komitmen moral tertinggi untuk puputan meminta Presiden Joko Widodo menghentikan rencana reklamasi.

Mereka menyatakan tak akan melawan dengan kekerasan tapi bersuara dalam damai. Tak ada ruang Bali yang tak dikuasai adat. Tak hanya desa sekitar Teluk Benoa yang bersepakat dalam pasubayan ini. Juga ada kabupaten lain seperti Karangasem dan Gianyar.

“Tak ada mengancam hanya mengingatkan hasil paruman (rapat) yang merupakan harga diri desa adat,” kata Ida Bagus Ketut Purbanegara, bendesa adat Buduk, Mengwi.

Anak-anak dikenalkan dengan hutan mangrove dan tanaman bakau di Teluk Benoa yang kini semakin terancam akibat laju pembangunan. Fungsi hutan mangrove sebagai sarana pendidikan lingkungan pun akan terancam hilang. Foto: Ni Komang Erviani
Anak-anak dikenalkan dengan hutan mangrove dan tanaman bakau di Teluk Benoa yang kini semakin terancam akibat laju pembangunan. Fungsi hutan mangrove sebagai sarana pendidikan lingkungan pun akan terancam hilang. Foto: Ni Komang Erviani

Sementara I Wayan Loci, bendesa adat Ketewel, Gianyar juga sudah secara resmi menyatakan sikap setelah paruman desa. “Lewat paruman desa menolak, warga kami terdiri dari 11 banjar dengan 7000 penduduk. Pesisir kami abrasi karena dampak reklamasi Serangan, sudah ada pura yang hilang digerus arus,” serunya.

Ia membandingkan dampaknya pada reklamasi Pulau Serangan yang kurang dari 300 hektar tapi dampaknya sampai pesisir Timur Bali. “Apalagi sekarang reklamasi 700 ha. Bisa-bisa banjar kami habis, warga sangat khawatir,” tambah Loci. Warga akan mendeklarasikan kesepakatannya pada akhir Maret nanti.

Demikian juga I Wayan Mas Suyasa, bendesa adat Bugbug, Karangasem. “Kekuatan baruna sudah menolak reklamasi. Bumi pertiwi sudah merasuk ke jiwa orang Bali. Pejabat harus memperhatikan suara alam, bagaimana menyeimbangkan Bali?” ujarnya soal kerisauan eksploitasi alam di masa depan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,