,

Danau Tempe, Danau Purba yang Mengalami Banyak Masalah. Apa Saja?

Fajar menyingsing. Suara azan subuh dari sebuah masjid menggema membelah langit. Di kejauhan terdengar suara deru mesin, perlahan mendekat ke sebuah dermaga kecil di tepian Sungai Walanae. Tak begitu lama, perahu motor itu mulai terlihat merapat ke dermaga. Tepatnya di Dermaga TPI, di Kelurahan Laelo, Kecamatan Tempe, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.

“Maaf agak terlambat datang,” ungkap Baharuddin (50), pemilik perahu motor itu sambil merapatkan perahunya, lalu menuntun kami menaiki perahu motor kecil yang bisa muat enam orang itu.

Subuh itu, Selasa (08/03/2016), Mongabay berkesempatan menemani peneliti burung dari organisasi Burung Indonesia menyusuri Danau Tempe, salah satu danau purba terbesar di Sulsel.

Perlahan perahu yang kami tumpangi membelah SungaiWalanae menuju danau yang luasnya sekitar 13 ribu hektar ini. Suasana yang masih gelap membuat kami kesulitan mengidentifikasi kondisi sekitar.

Danau Tempe disebut purba karena terbentuk dari proses geologis yang seumur dengan daratan Sulsel. Danau ini terintegrasi dengan tiga danau lain sekitarnya, yaitu Danau Sidenreng, Taparang Lapompaka dan Labulang. Berada di tiga wilayah administrasi kabupaten, yaitu Wajo, Sidenreng Rappang (Sidrap) dan Soppeng, dengan 70 persen luasannya berada di Wajo.

Butuh waktu sekitar 35 menit hingga kami mencapai bagian tengah danau. Langit perlahan terang, meski udara tetap terasa dingin. Di sepanjang perjalanan kami bertemu banyak perahu-perahu nelayan yang baru pulang dari menangkap ikan.

Memasuki tengah danau ini, sejauh mata memandang adalah hamparan tanaman eceng gondok, membentuk gugus-gugus besar dan kecil, seperti pulau-pulau yang bergerak. Beraneka jenis burung beterbangan di atasnya, sendiri-sendiri dan bergerombol. Beberapa burung bahkan memperlihatkan atraksi menarik, bergerak cepat dari langit sebelum akhirnya bermanuver menangkap ikan dengan paruhnya.

Bungka Toddo’

Di sepanjang hamparan eceng gondok ini terlihat banyak tiang-tiang segi tiga terbuat dari bambu, yang oleh warga setempat disebut bungka toddo’, yang berarti tiang lumpur untuk menahan eceng gondok agar tidak bergerak liar.

“Ini menjadi pembatas wilayah tangkap ikan bagi nelayan. Siapapun bisa membuatnya, tapi butuh modal besar untuk membeli bambu. Satu tiang saja butuh biaya Rp25 ribu,” jelas Baharuddin.

Sejauh mata memandang di tengah danau Tempe, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, terlihat hamparan tanaman eceng gondok, seperti gugusan pulau yang bergerak. Di tengah danau banyak ditemukan rumah apung, yang biasa digunakan sebagai tempat istirahat nelayan setempat. Foto : Wahyu Chandra
Sejauh mata memandang di tengah danau Tempe, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, terlihat hamparan tanaman eceng gondok, seperti gugusan pulau yang bergerak. Di tengah danau banyak ditemukan rumah apung, yang biasa digunakan sebagai tempat istirahat nelayan setempat. Foto : Wahyu Chandra

Di sepanjang danau tersebut tak terhitung jumlah bungka toddo terpancang. Sebagian di antaranya malah sudah dijalari eceng gondok, sehingga mirip patung yang berlumut.

Keberadaan bungka toddo’ ini ternyata kadang menimbulkan masalah tersendiri bagi nelayan dan bisa menimbulkan konflik antar nelayan. Pemerintah Daerah sendiri kemudian melakukan pengaturan, dengan menetapkan luas wilayah yang bisa diklaim hanya sepanjang 500 meter. Meski kenyataannya, kadang ada yang memiliki klaim wilayah yang lebih luas lagi.

Masalah lain adalah adanya komersialisasi pengelolaan kawasan danau dari Pemda melalui mekanisme sewa guna kawasan. Pengelola sebuah kawasan yang telah ditandai, ditentukan melalui mekanisme lelang. Daerah yang disewakan ini disebut Tana Koti atau ornamen. Nilai satu kawasan bisa mencapai ratusan juta rupiah. Pemenang lelang akan menguasai kawasan tersebut dalam jangka waktu tertentu.

Menurut Baharuddin, keberadaan Tana Koti ini semakin mempersempit wilayah tangkapan nelayan. Nelayan yang mencoba mencari ikan sekitar Tana Koti akan diusir. Pemiliknya biasanya berasal dari pengusaha dan sebagian lagi pejabat dan anggota DPRD setempat.

“Pemiliknya adalah orang-orang yang punya uang banyak. Kami dirugikan karena mempersempit wilayah tangkapan. Bayangkan ada 3000 nelayan yang setiap hari harus beraktivitas di danau ini. Kadang antar nelayan jaringnya saling melilit. Ini yang bikin konflik antar nelayan rebutan tempat,” ungkap Baharuddin.

Terdapat sekitar 3000 nelayan di Danau Tempe, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan yang ruang tangkapannya semakin menyempit seiring dengan adanya upaya komersialisasi dari Pemda setempat. Foto : Wahyu Chandra
Terdapat sekitar 3000 nelayan di Danau Tempe, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan yang ruang tangkapannya semakin menyempit seiring dengan adanya upaya komersialisasi dari Pemda setempat. Foto : Wahyu Chandra

Para nelayan sendiri sudah mengadukan hal ini ke DPRD Wajo dan segera direspon dengan melepas beberapa Tana Koti, meski tidak seluruhnya.

Keberadaan Tana Koti ini, tambah Baharuddin, tidak hanya mengurangi ruang tangkap nelayan, tetapi juga berdampak juga pada pengelolaan air di danau.

Beberapa tahun silam, pemerintah membangun sebuah bendungan yang disebut bendungan gerak, di Kampung Tampangeng, tak jauh dari Dermaga TPI 45. Tujuannya untuj mengatur volume air danau. Ketika musim hujan, bendungan ini dibuka sehingga limpahan air akan mengalir ke Sungai Palime, Kabupaten Bone. Ketika musim kemarau, bendungan ini ditutup kembali agar danau tidak mengering.

“Persoalannya kemudian, bendungan ini seringkali dibuka justru ketika musim kemarau, karena waktu yang tepat bagi Tana Koti untuk panen. Mereka yang memaksa membuka bendungan gerak itu. Mereka senang kalau air danau surut, sementara bagi nelayan sendiri justru tidak turun,” tambah Baharuddin.

Pendangkalan meluas

Danau Tempe kini sedang menghadapi masalah pendangkalan yang setiap tahun semakin parah. Menurut Andi Fajar, Ketua Forum Penyelamatan Danau Tempe Wajo, setiap tahunnya terjadi pendangkalan hingga 30 cm. Dampaknya dirasakan di musim hujan, dimana air akan melimpah membanjiri kawasan pemukiman warga.

“Kalau musim hujan paling dalam hanya sekitar 7 meter dan setiap tahunnya semakin berkurang. Danau tidak bisa lagi menampung luberan air bercampur lumpur dari anak-anak sungai sekitar,” ungkap Fajar.

Menurutnya, saat ini terdapat 28 anak sungai yang bermuara di Danau Tempe, sementara aliran keluarnya hanya satu sungai saja, yaitu sungai Walanae yang terhubung ke Sungai Palime di Kabupaten Bone.

“Air masuk dari segala penjuru sementara keluarannya hanya satu. Kalau musim hujan, yang datang bukan hanya air tapi juga lumpur-lumpur. Inilah yang memperparah terjadinya sedimentasi.”

Sebaliknya, di musim kemarau, danau bisa mengering hingga bisa digunakan warga untuk bertani tanaman-tanaman janga pendek, seperti jagung dan kacang panjang.

Dengan kondisi ini, menurut Fajar, penyelesaian masalah di Danau Tempe membutuhkan kerjasama dan kordinasi berbagai pihak. Tidak hanya kondisi fisik danau yang mesti diselamatkan, tapi juga masyarakat sekitar yang selama ini sangat bergantung pada danau.

Pertumbuhan eceng gondok yang sangat pesat dan ekspansif juga berpotensi merusak pemukiman warga yang ada di sekitar danau. Untuk menghalau eceng gondok mencapai kawasan pemukiman, maka Pemerintah Daerah setempat membangun tiang panjang, berjejer sepanjang 100 meter, dari kayu-kayu yang kokoh.

Salah satu jenis burung yang bisa ditemukan di Danau Tempe Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan adalah elang tikus (Elanus caeruleus), meski jumlahnya terus berkurang. Foto : Wahyu Chandra
Salah satu jenis burung yang bisa ditemukan di Danau Tempe Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan adalah elang tikus (Elanus caeruleus), meski jumlahnya terus berkurang. Foto : Wahyu Chandra

Menurut hasil Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan Burung Indonesia di Universitas Hasanuddin beberapa waktu lalu, terkait rencana pelaksanaan program Critical Ecosystem Partnership  Fund (CEPF), masalah di Danau Tempe memang sangat kompleks.Tidak hanya pada sedimentasi dan tata kelola. Sejumlah spesies ikan endemik terancam dengan masuknya ikan-ikan dari luar.

“Telah ada memasukkan jenis ikan luar seperti nila dan lele, yang justru menjadi predator bagi ikan-ikan lokal,” jelas Andi Faisal, Kordinator CEPF Burung Indonesia untuk Wilayah Sulawesi.

Keberadaan sejumlah spesies burung di Danau Tempe terancam hilang karena mulai maraknya aktivitas penangkapan untuk tujuan konsumsi dan diperjualbelikan.

Penyelamatan Hulu

Menurut Sardi Razak, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), upaya penyelamatan selama ini hanya berfokus di Danau Tempe, sementara persoalan di hulu tak pernah mendapat perhatian.

“Kalau mau memperbaiki Danau Tempe, juga harus dipikirkan apa yang terjadi di daerah hulu, di wilayah-wilayah pegunungan sekitar danau yang merupakan hutan dengan kondisi yang kritis. Illegal logging masih sering terjadi dengan kontrol pemerintah yang lemah,” katanya.

Sardi berharap masyarakat yang hidup sekitar hutan-hutan tersebut, yang sebagian besar merupakan masyarakat adat, perlu diberikan penguatan, termasuk memperkuat kembali mekanisme adat terkait pengelolaan hutan.

“Kita bisa memperkuat kembali mekanisme adat pengelolaan hutan yang masih ada, mendorong peraturan desa terkait pengelolaan hutan dan membantu ekonomi masyarakat agar tidak lagi tergantung pada hutan. Ada banyak produk non kayu yang bisa dimanfaatkan dan dikelola dengan baik, di saat yang sama masyarakat bisa turut menjaga kelestarian hutan.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,