Kapitalisme Hijau: Etika atau Bisnis?

Saat ini, isu lingkungan hidup menjadi penting dalam politik global. Nilai-nilai pro terhadap lingkungan hidup menjadi standard moral melalui sertifikasi ramah lingkungan hidup. Isu lingkungan hidup menjadi lebih populer dikaitkan dengan agenda global melalui SDGs (Sustainable Development Goals-Tujuan-tujuan Pembangunan Berkelanjutan) yang dipromosikan oleh PBB.

SDGs merupakan perpanjangan dari agenda MDGs (Milleniun Development Goals-Tujuan-tujuan Pembangunan Millenium) yang mempromosikan pertumbuhan ekonomi dengan pelestarian lingkungan hidup yang bertentangan dengan meningkatnya degradasi lingkungan hidup akibat implementasi kapitalisme.

Kapitalisme didukung oleh etika yang dinamakan antroposentris. Antroposentris menempatkan manusia sebagai pusat alam semesta dimana keberadaan alam hanya diperuntukkan bagi hidup manusia dan sumber daya alam dieksploitasi untuk memenuhi keinginan manusia.

Selain itu, etika lainnya berfokus pada ekologi dinamakan ekosentrisme atau deep ecology. Deep ecology menekankan semua makhluk merupakan fokus utama yang berkonflik dengan hubungan manusia yang berdampak pada lingkungan hidup.

Perbedaan mendasar antara antroposentrisme dan ekosentrisme adalah posisi manusia dalam pusat perhatian. Antroposentrisme mempercayai manusia sebagai makhluk yang paling penting, sedangkan ekosentrisme menyatakan bukan hanya manusia yang memiliki keistimewaan untuk menaklukkan alam.

Liberalisme menjadi ideologi yang paling populer sejak Perang Dunia I. Pada masa perang terdapat niat untuk membentuk perdamaian. Berasal dari pandangan liberalis, perdamaian akan terwujud melalui liberalism seperti demokrasi, pelaksanaan HAM (Hak Asasi Manusia) dan perdagangan bebas.

Sebaliknya, realis memandang perdamaian sebagai realitas setelah perang. Dengan idiom yang terkenal “Jika Anda menginginkan perdamaian, maka bersiaplah untuk perang”. Liberalisme akan berkembang jika pemerintahan global terbangun untuk mempromosikan perdamaian.

Sementara itu, realisme memaknai negara memiliki ambisi untuk berkuasa karena untuk mengamankan kepentingan nasional melalui kekuatan ekonomi dan politik. Kekuatan ekonomi menyerupai kapitalisme yang tidak mengherankan kapitalisme menjadi satu-satunya ideologi yang berkembang pasca Perang Dingin.

Untuk mengamankan kebebasan individual, liberalisme mengizinkan kompetisi yang ketat. Sayangnya, sistem kapitalisme cenderung rakus, yang tidak memperhatikan kelompok miskin yang rendah kemampuannya untuk bersaing.

Lalu mengapa kapitalisme tidak melindungi kelompok miskin atau kelompok marjinal dari ketidakberuntungan sebagai bagian perhagaan akan HAM yang notabene merupakan bagian kemanusiaan atau liberalisme itu sendiri?

Globalisasi merupakan bentuk baru kolonialisme dimana negara-negara berkembang dan terbelakang masih tergantung pada negara-negara maju. Negara-negara berkembang dan terbelakang ‘dipaksa’ harus menerima investasi dari negara-negara maju.

Berdasarkan teori ekonomi politik bahwa negara dikatakan stabil apabila menerima investasi asing langsung sebagai rangsangan bagi situasi ekonomi. Kenyataannya, kedua jenis negara memerlukan aktivitas ekonomi yang dapat menyediakan perkerjaan bagi banyak orang walaupun dengan upah murah.

Kemudian negara memiliki kapasitas terbatas untuk memastikan kesejahteraan rakyatnya. Maka simbiosis mutualisme dimana negara-negara berkembang dan terbelakang selalu tergantung pada negara-negara maju untuk hampir semua aspek.

Kapitalisme memiliki dampak negatif yang menyebabkan defisit demokrasi dan menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan hidup. Negara liberal dikritisi oleh teori politik hijau yang berargumen bahwa negara seharusnya berperan normatif sebagaimana tujuan administratif negara yang berdampak bagi perlindungan barang bebas seperti lingkungan hidup.

Kapitalisme memerlukan citra positif untuk menangkal citra negatif. Maka, standard kemudian disusun untuk menentukan nilai terkait pelestarian lingkungan hidup. Maka, istilah ‘keberlanjutan’ menjadi umum digunakan bagi banyak merek dagang.

Terdapat sertifikasi keberlanjutan sebagaimana eco friendly, no animal testing dan produk organik yang dilabelkan sebagai produk yang baik dengan persyaratan yang ketat. Maka hasilnya, label-label ini akan memberikan citra positif bagi brand tersebut yang tidak melanggar kebijakan lingkungan hidup.

Bagi konsumen, mereka akan merasa bersalah apabila mengkonsumsi produk yang melanggar etika lingkungan hidup. Sebagai konsekuensi, membeli produk dengan ‘nilai’ menjadi mahal harganya. Pertanyaan yang muncul, adakah jaminan produk tersebut betul-betul bebas dari eksploitasi lingkungan hidup? Konsumen memiliki kuasa untuk memilih produk yang baik, sementara kapitalis tidak ingin kehilangan konsumen.

Konsumen yang memiliki permintaan produk yang bernilai hanya datang dari kelompok masyarakat kelas atas. Merek dengan etika tersebut hanya menawarkan produknya bagi kelompok kaya dibanding kelompok miskin. Logisnya, merek dengan etika menjadi pilihan, sementara kapitalis bersembunyi di balik pencitraan tersebut.

Kapitalisme membuat siapa pun menikmati konsumerisme dan berlanjut dengan kesenangan konsumerisme maka mereka tidak sadar bahwa mereka tereskploitasi dan mengeksploitasi kelompok miskin dan lingkungan hidup.

* Ica Wulansari. Pengajar tidak tetap Jurusan Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Jakarta. Artikel ini adalah opini dari penulis. Versi bahasa Inggris tulisan ini telah diterbitkan oleh The Jakarta Post tanggal 27 Maret 2016

Artikel yang diterbitkan oleh