, , , ,

Koalisi Nilai Revisi UU Minerba Mengerikan, Seperti Apa?

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyerahkan draf revisi UU Mineral dan Batu Batubara pada 25 Januari 2015. Koalisi organisasi masyarakat sipil menilai, revisi ini cukup mengerikan karena berpotensi besar merugikan masyarakat sekitar tambang dan negara karena hanya mengakomodir kepentingan korporasi.

Ki Bagus Kusuma, Juru Kampanye Jatam di Jakarta, pekan lalu mengatakan, draf naskah akademik RUU Minerba baru, menjadi celah perusahaan tambang yang belum menunaikan kewajiban pembangunan smelter dan keterlibatan masyarakat dikesampingkan.

Hendrik Siregar, koordinator Jatam menambahkan, draf makin membuka celah perusahaan tambang tak membangun smelter. Tampak, katanya, keberpihakan pemerintah dengan memberikan nafas lebih panjang kepada Kontrak Karya dalam membangun smelter.

“Bunyi draf jelas, lima tahun setelah UU disahkan perusahaan tambang wajib membangun smelter. Ini diulang kembali dalam draf RUU Minerba baru. Misal disahkan pertengahan tahun ini, berarti perusahaan tambang mempunyai waktu membangun smelter hingga 2021,” katanya.

Dia melihat jelas kepentingan korporasi kental dalam pembahasan revisi UU ini terutama perusahaan tambang besar pemegang KK.

Dalam draf RUU Minerba, belum mengakomodir hak rakyat dalam menentukan wilayah kelola sebagai bagian penetapan pertambangan. Dalam revisi itu hanya mengatur hak dan kewajiban perusahaan tambang.

“Bab IX tak berubah dengan Bab XIII UU Minerba. Tak mengakui hak masyarakat. Terutama masyarakat adat. Asas Free Prior Inform Concept belum termuat sepenuhnya. Masyarakat hanya diberi pilihan akhir dalam persetujuan ganti rugi lahan.”

Seharusnya, pelibatan masyarakat di wilayah sekitar tambang sejak awal hingga tak terjadi masalahke depan. “Harusnya ini jadi bahan pertimbangan pemerintah kala membuat RUU Minerba.”

Selama ini, masyarakat dianggap mengganggu pembangunan dan investasi pertambangan. Menurut catatan Jatam, kriminalisasi masyarakat terkait pertambangan terjadi di berbagai daerah seperti Madura empat orang, Jepara 15, dan Sumba tiga.

“Seharusnya ini jadi bahan pertimbangan pemerintah menghapus Pasal 162 UU Minerba. Ini dipertahankan jadi Pasal 118,” katanya.

Jika pasal ini tetap dipertahankan, akan menambah daftar panjang pemidanaan masyarakat penolak tambang. Tanpa menimbang posisi mereka berjuang mempertahankan lingkungan hidup seperti dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Hal lain soal kawasan konservasi, hutan lindung dan pulau kecil dalam drat RUU tetap diabaikan. “Pemberian izin dimudahkan. Larangan bias. Selama ini yang bermasalah soal perizinan.”

Catatan Jatam, dari 25,8 juta hektar konsesi tambang, 6.163 izin di kawasan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Hanya 441.000 hektar atau 517 izin mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).

“Draf ini terlihat mengutamakan investasi. Persoalan lingkungan dan masyarakat belum utama. Ruang akses keadilan sangat kecil,” katanya.

ambang barubara, menciptakan kerusakan lingkungan, kolam-kolam terbuka bekas galian juga membahayakan keselamatan manusia. Belum lagi, polusi udara dan air yang bisa menyebabkan beragam penyakit bagi manusia. Foto: Walhi Kalteng

Alasan menyesuaikan UU Pemerintahan Daerah agar masuk revisi UU Minerba juga dianggap tak relevan. Kementerian Dalam Negeri sudah mengeluarkan surat keputusan terkait pembagian kewenangan. “Ini sebenarnya tak harus masuk UU.”

Agung Budiono, Manajer Komunikasi Publish What You Pay Indonesia mengatakan, revisi UU Minerba bergerak tanpa upaya mengangkat wacana ke publik.

“Revisi ini hanya 20% berubah dan lebih memanjakan investor asing yang memegang Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusaha Batubara,” katanya.

Salah satu membuka peluang makin lama bangun pabrik smelter. Padahal, hingga kini realisasi perusahaan tambang membangun smelter kurang 50%.“Pasal ini menjadi jaminan pengusaha pemegang KK dan PKP2B mengetuk keuntungan lebih lama.” Dia mengatakan, harus ada kejelasan posisi negara terhadap KK kontrak yang terlanjur dan berdurasi lama. “Seharusnya juga diatur alih teknologi perusahaan tambang skala besar.”

Draf RUU juga tak mengatur sanksi tegas kewajiban reklamasi pasca tambang. Sekitar 80% izin di Indonesia tak punya dokumen reklamasi pascatambang. Padahal di beberapa tempat seperti Samarinda, belasan anak meninggal di lubang bekas tambang. “Harusnya pembahasan ini masuk.”

Supin Yohar, dari Yayasan Auriga mengatakan, pemerintah masih lalai pengawasan perizinan pertambangan. Upaya penataan perizinan banyak lubang tak ditata baik mulai kajian lingkungan, kewajiban keuangan hingga perpajakan.

Rachmi Hertanti, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice melihat revisi UU ini justru melemahkan upaya perlindungan kepentingan nasional. Posisi tawar pemerintah menjadi makin lemah di hadapan perusahaan tambang.

“Di level internasional dengan marak gugatan abritrase justru didominasi perusahaan tambang. Dominasi korporasi begitu kuat. Revisi ini sepertinya kental nuansa mempertahankan kepentingan korporasi dibandingkan kepentingan kedaulatan energi sendiri.”

Draf Perjanjian Peningkatan dan Perlindungan Penanaman Modal (P4M) pemerintah seharusnya diadopsi dalam seluruh peraturan perundang-undangan sektor sumber daya alam. Dengan ketentuan ini, dapat melindungi kepentingan nasional sektor minerba dari dominasi asing.

Jerry Sumampow, Koordinator Komite Pemilih Indonesia menambahkan, setelah reformasi berjalan, pemerintah semestinya bisa memberikan perhatian pada hidup masyarakat. Pada sektor tambang, kehidupan masyarakat tak terlindungi.

“Orang-orang sekitar tersingkir dan terabaikan. Draf ini sangat jelas tak pro rakyat.”

Peneliti Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) Budi Afandi mengutarakan pendapat. Permasalahan utama pertambangan sebenarnya terkait perizinan. Dalam draf justru tak diperbaiki dengan benar.

“Justru pemerintah menambah ketentuan baru komoditas baru yaitu tambang tanah jarang. Tak tepat sasaran. Justru membuka hal-hal baru yang bisa jadi masalah baru juga,” katanya.

Air pantai, laut keruh dampak operasi kapal isap tambang timah di Pulau Bangka. Tambang seperti inikah yang juga akan dibuka peluang dalam revisi UU MInerba? Duh! @Sapariah Saturi

Dia menilai, draf masih memberikan kesempatan pembongkaran seluruh wilayah untuk pertambangan baik hutan lindung, hutan konservasi, kawasan pesisir, juga perairan laut. “Justru membolehkan penambangan mineral bawah laut atau lepas pantai. Ini jelas berlawanan dengan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil.”

Tambang bawah laut

Budi mengatakan, draf RUU Minerba memberikan ketentuan perizinan tambang bawah laut sebagai bentuk pertambangan baru. “Ini sangat membahayakan.”

Sejauh ini pertambangan bawah laut dilakukan Papua Nugini dan menjadi proyek percontohan dengan risiko kerusakan lingkungan tinggi. Sebab, belum pasti dan teknologi minim untuk meminimalisir dampak. Legalisasi pertambangan bawah laut justru menjadikan Indonesia sebagai kelinci percobaan.

Khalid Muhamad dari Gerakan Dekrit Rakyat Indonesia mengatakan, Indonesia belum ada aturan tegas untuk eksploitasi tambang bawah laut.

“Kita terbilang sangat kaya. Para spekulan tambang berusaha dapatkan aturan melegalkan eksploitasi dasar laut. Sebenarnya bahaya secara lingkungan hidup. Terbukti di lepas Pantai Belitung dan Bangka banyak nelayan kehilangan mata pencaharian dan pencemaran. Dapat dibayangkan jika tambang skala besar?” katanya.

Dalam UU Kehutanan tak boleh tambang terbuka di hutan lindung ataupun konservasi. “Saya menduga revisi ini akan jadi lex specialis dimana membolehkan menambang di hutan lindung dan konservasi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,