,

Rambu Solo, Ritual Kematian di Komunitas Adat Patongloan

Belasan orang berdiri melingkar saling berpegang tangan. Menari dan bernyanyi. Lalu lingkaran itu membesar dengan semakin banyaknya orang bergabung. Lelaki dan perempuan bercampur saling berpegangan.

Mereka adalah warga dari komunitas adat Patongloan, yang berada di Desa Patongloan, Kecamatan Baroko, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Mereka tengah melakukan ritual tarian yang disebut ma’badong. 

Syair yang dinyanyikan disebut kadong-badong sebagai pengagungan pada orang yang meninggal tersebut. Berisi beragam kisah hidup, segala kebaikan dan sikap terpujinya selama hidup.

Ma’badong adalah satu bagian dari ritual rambu solo, ritual kematian yang selama ini lebih banyak dikenal sebagai tradisi Toraja.

Melihat sejarah, komunitas adat Patongloan memang masih termasuk dalam marga besar di Toraja. Letaknya pun berbatasan langsung dengan Kabupaten Tana Toraja, yaitu dengan Lembang (desa) Garassi, di Kecamatan Gandang Batusillanang. Tak heran jika bahasa yang digunakan pun bahasa Toraja.

Ritual rambu solo yang dilaksanakan pada 23-25 Maret ini untuk memperingati 40 hari kematian Lai atau Nenek Sinar, pemangku adat tertinggi di Patongloan. Ia meninggal pada pertengahan Februari 2016 lalu di usia 90 tahun.

Menurut Paundanan Embong Bulan, tokoh adat Patongloan, yang juga merupakan Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Massenrempulu Enrekang, dalam struktur adat Patongloan, posisi Nenek Sinar adalah sebagai Banua Kasale. Posisi ini selalu diisi oleh perempuan, yang diwariskan secara turun temurun.

“Banua Kasale bisa diibaratkan sebagai raja, karena seluruh keputusan adat ada padanya,” ungkapnya, pada Kamis (24/03/2016).

Menurutnya, meski nama dan prosesinya sama, namun ada sejumlah perbedaan subtansial antara rambu solo di Toraja dengan Patongloan.

“Karena pengaruh Islam, prosesi pemakaman harus segera dilakukan. Berbeda dengan rambu solo di Toraja, dimana seseorang baru bisa dimakamkan setelah rambu solo. Makanya prosesi pemakaman bisa berlangsung bertahun-tahun setelah, menunggu kesanggupan keluarga menyelenggarakan ritual ini.”

Perbedaan lain, menurut Paundanan, adalah tak adanya daging babi yang dikorbankan. Mereka hanya potong kerbau, yang jumlahnya tergantung pada hasil musyawarah adat dan kemampuan keluarga. Hanya saja ada aturannya, yaitu harus sebanyak 1,2,4,8, atau 12.

“Boleh tak ada, tapi selain jumlah itu tak boleh,” tambah Paundanan.

Di tempat terpisah, tak jauh dari pelaksanaan ma’badong ini, berlangsung pula musyawarah antara pemangku adat dengan keluarga pihak yang meninggal, yang disebut mantawalolo. Bertujuan untuk menceritakan sejarah asal usul dari orang yang meninggal tersebut.

Di depan para pemangku adat ini, dijejer bungkusan daun berisi nasi dan daging kerbau yang disebut tetuk. Sebanyak tiga deret, yang tiap deretnya terdiri dari delapan bungkusan tetuk.

Dalam data patongloan, musyawarah antara pemangku adat dan keluarga orang yang meninggal, yang disebut mantawalolo. Bertujuan untuk menceritakan sejarah asal usul dari orang yang meninggal tersebut. Foto: Wahyu Chandra
Dalam data patongloan, musyawarah antara pemangku adat dan keluarga orang yang meninggal, yang disebut mantawalolo. Bertujuan untuk menceritakan sejarah asal usul dari orang yang meninggal tersebut. Foto: Wahyu Chandra

Dalam mantawallo ini dibahas kepada siapa saja tetuk ini akan diberikan, sebagai bentuk penghargaan dari almarhum.

Delapan deret tetuk pertama akan diberikan kepada pihak keluarga almarhum, yang dituakan dan terdekat. Bisa saudara, anak-anak atau keluarga yang lain. Delapan tetuk deret kedua diberikan kepada silsilah garis ayah, sementara delapan tetuk ketiga kepada silisilah dari garis ibu.

“Proses ini akan menjadi perdebatan panjang karena akan dicari silsilah almarhum hingga yang paling atas yang bisa diketahui. Jika kemudian mentoknya di sebuah tongkonan, maka akan dicari siapa pemilik tongkonan tersebut untuk diberikan tetuk.”

Sejarah dan Kelembagaan Adat Patongloan

Sejarah Patongloan sendiri dimulai dengan pembukaan lokasi oleh pendiri komunitas yang disebut Datuk. Tak ada informasi yang jelas siapa dan darimana Datuk ini berasal. Datuk ini lalu memerintahkan seorang dari Kampung Katongkonan bernama Pongbekkula untuk menetapkan batas wilayah, yang prosesnya disebut naleongi topadang, atau memberi batas daerah yang akan ditempati.

Untuk membantu Katongkonan ini, Datuk memerintahkan orang-orang dari Kampung Buntu untuk mengikuti dari belakang sambil menyemburkan jahe di daerah-daerah yang sudah ditandai.

“Tujuannya adalah sebagai penanda bagi makhluk yang tampak dan tak tampak, termasuk kepada dewata,” cerita Paundanan.

Setelah proses pemberian batas ini selesai, Datuk kembali memanggil kedua pihak ini, untuk bertemu dan berembuk membentuk struktur kelembagaan adat. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal kelembagaan adat Patongloan.

“Posisi yang ditempati oleh Datuk inilah yang kemudian diberi nama Banua Kasale, sementara Katongkonan dan Buntu tetap dengan nama mereka. Karena butuh tambahan tenaga, maka ditetapkan jabatan adat lainnya yang disebut Rampunan.

Keempat jabatan adat memiliki posisi tertinggi dalam komunitas Patongloan.”

Banua Kasale sendiri memiliki banyak nama. Ia disebut juga Totorrolan Pangnguluang, yang berarti pemimpin tertinggi. Sebutan lain adalah Todippaelei, yang berarti orang yang diberi laporan atas sebuah keputusan.

“Ia juga disebut Totangnairi Anging Tangnasimbolalinding, yang berarti konsisten dalam keputusan, lurus, adil, keputusannya tidak bergeser dan tidak bisa disogok.”

Untuk Katongkonan, fungsinya sebagai Tomairandang, bertugas menetapkan batas wilayah, mengurusi sengketa dan berperan dalam ritual-ritual. Sebutan lain untuknya adalah Perakpattomauko Topetumpaktomadodong, yang berarti hakim yang memutuskan suatu masalah.

Dalam rambu solo ini sebanyak empat ekor kerbau dipotong, yang kepalanya kemudian dibagikan kepada empat pemangku adat tertinggi. Foto: Wahyu Chandra
Dalam rambu solo ini sebanyak empat ekor kerbau dipotong, yang kepalanya kemudian dibagikan kepada empat pemangku adat tertinggi. Foto: Wahyu Chandra

Sementara Buntu bertugas membantu Katongkonan dan bisa mewakili Katongkonan. Sedangkan Rampunan berfungsi sebagai pembantu atau ajudan dari Banua Kasale.

“Tidak hanya mendampingi Banua Kasale, Rampunan juga bisa mewakilinya. Ia penghubung antara Banua Kasale dengan Katongkonan dan Buntu. Seluruh laporan yang akan disampaikan ke Banua Kasale harus sepengetahuannya.”

Selain empat pemangku adat ini, terdapat delapan pemangku adat lain yang membantu dalam hal ritual duniawi atau Allo Tuka dan ritual untuk orang yang sudah meninggal atau Allo Solo.

Di Allo Tuka sendiri, menurut Paundanan, terdapat pemangku adat Pebulian yang bertugas untuk berdoa di setiap ritual. Dalam melaksanakan tugasnya ia dibantu oleh dua pemangku adat lainnya, yaitu To’panga dan Tondonredak.

Ada juga Tomentaung yang mengurusi masalah pertanian. Sementara yang mengurusi kepemudaan disebut Ambepeamon, yang juga bertugas membantu Tomanyampang dalam mengatur pelaksanaan ritual.

“Selain itu ada juga Toma’rauk atau Lombok yang bertugas untuk menombak kerbau di saat pelaksanaan ritual dan berfungsi sebagai pembantu umum.”

Sementara untuk mengurusi warga yang meninggal atau Allu Solo ditugaskan kepada pemangku adat yang disebut Toma’nyimu.

Menurut Paundanan, seluruh pemangku adat ini masih berfungsi hingga sekarang, meskipun telah ada sedikit pergeseran dalam hal tugas dan wewenang, seiring dengan perkembangan zaman dan masuknya pengaruh luar.

“Untuk Tomentaung yang mengurusi pertanian misalnya, kalau dulu ketika sebagian besar daerah ini adalah sawah, tugas lembaga adat ini sangat vital. Mereka melaksanakan apa yang disebut mangkarokalo. Semua aktivitas pertanian baru bisa dilakukan setelah mendapatkan persetujuan darinya.”

Sayangnya, kini sawah di Patongloan mulai berkurang. Tinggal beberapa hektar saja yang merupakan milik dari pemangku adat, yang hasilnya digunakan untuk kebutuhan ritual adat.

Pemetaan partisipatif

Seiring dengan adanya upaya pengakuan masyarakat adat dari pemerintah, komunitas adat Patongloan telah melakukan pemetaan partisipatif untuk wilayah adat mereka. Data dari Unit Kerja Pelayanan Pemetaan Partisipatif (UKP3) AMAN Sulsel, luas wilayah adat Patongloan adalah 1.289,11 hektar, mencakup tiga desa di Kecamatan Baroko, yaitu Desa Patongloan, Benteng Alla dan sebagian wilayah Alla Utara.

Wilayah adat Patongloan di Desa Patongloan, Kecamatan Baroko, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, yang terdiri dari bukit dan lembah, memiliki kondisi yang ekstrim, yang menyulitkan dalam proses pemetaan partisipatif. Foto: Wahyu Chandra
Wilayah adat Patongloan di Desa Patongloan, Kecamatan Baroko, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, yang terdiri dari bukit dan lembah, memiliki kondisi yang ekstrim, yang menyulitkan dalam proses pemetaan partisipatif. Foto: Wahyu Chandra

Menurut Syafruddin, Ketua UKP3 AMAN Sulsel, selain Patongloan, komunitas adat lain yang telah melakukan pemetaan adalah Baringin dan Tapong.

“Ada juga sejumlah komunitas yang petanya sudah dalam tahap finalisasi, yaitu Tangsa, Kaluppini dan Orong. Sementara tiga komunitas lainnya, yaitu Matajang, Pasang dan Ranga masih dalam proses persiapan. Semoga tahun ini bisa berjalan semua,” ungkap Syafruddin.

Salah satu kendala pelaksanaan pemetaan ini adalah tingkat partisipasi masyarakat yang berbeda di tiap komunitas.

“Tantangan lain pada kondisi geografis yang ekstrim, terdiri dari gunung dan lembah, yang bisa menyulitkan dalam penentuan titik kordinat.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,