, ,

Soal Amdal bagi Investasi, Berikut Masukan Mereka

Wacana penghapusan kewajiban analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dalam pembangunan beberapa kali mengemuka. Ada anggapan kewajiban Amdal ini menghambat investasi.  Berbagai  kalanganpun memberikan pandangan.

Praktisi Hukum Lingkungan Giorgio Indarto mengatakan, Amdal bagian prasyarat izin. Menghapus Amdal, membuktikan pemerintah belum terbiasa dengan konsep pembangunan berkelanjutan. “Masih gagap. Praktik selama ini bisnis keruk habis lalu tinggalkan,” katanya dalam diskusi “Komitmen Hijau Presiden Jokowi: Quo Vadis Amdal?” di Jakarta, Senin (28/3/16).

Setidaknya, tiga kali pemerintah melontarkan wacana menghapus kewajiban Amdal dalam pembangunan. Pertama, rencana menghapus Amdal Juli 2015 oleh Kementerian Perumahan Rakyat dan Pekerjaan Umum (Kemenpepura) dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Kala itu, Permen Pedoman Teknis Mendirikan Bangunan dan Permen tentang Pedoman Sertifikat Laik Fungsi (LSF) perlu kaji ulang. Kedua permen itu, dianggap menyulitkan dan membuat peringkat kemudahan berbisnis Indonesia rendah.

Kedua, 22 Januari kala Gubernur Jakarta Basuki Tjahya Purnama meminta kewajiban Amdal dihapus. Alasannya, Jakarta sudah ada rencana detail tata ruang (RDTR) jadi tak perlu Amdal, cukup diganti Upaya Pengelolaan Lingkungan/ Upaya Kelola Lingkungan. Dia bahkan menyampaikan usulan kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya.

Amdal dianggap tak efisien dan membuat perizinan menjadi lama. Terlebih, Amdal banyak copy paste.
Ketiga, Seskab Pramono Anung 15 Maret 2016 mengatakan, pemerintah sepakat menghapus sejumlah izin yang dianggap menghambat dunia usaha, seperti izin gangguan, tempat usaha, izin prinsip UKM, izin lokasi dan Amdal. Terkait Amdal, belum bisa hapus penuh.

Jalal, Corporate Governance Thamrin School mengatakan, yang menjadi masalah pemahaman Amdal sekadar izin. Salah juga kala kebanyakan penyusunan Amdal hanya copy paste. Anggapan Amdal menghambat investasi juga keliru. Bahkan Amdal seringkali dikaitkan dengan peringkat kemudahan bisnis di Indonesia. “Ini tak benar, jangan kebiri Amdal,” katanya.

Menurut dia, banyak cacat dalam penyusunan Amdal bukan berarti regulasi harus dikebiri. Dengan membuat Amdal gagal, sebenarnya meningkatkan risiko usaha calon investor. “Yang harus diingat, regulasi Amdal juga ketinggalan zaman. Termasuk memalukan. Kalau mengajukan proyek didanai lembaga internasional, misal, seringkali Amdal ditolak atau minta diperbaiki karena tak sesuai standar internasional. Amdal dibuat seringkali tak memenuhi safeguard sosial dan lingkungan.”

Dia mengatakan, negara dengan peringkat kemudahan investasi baik justru lebih mempertimbangkan aspek lingkungan. Contoh, Selandia Baru, memiliki Amdal sangat kokoh. Klausul peraturan Amdal menyatakan bangunan apa saja, pembuatan film skala besar, olahraga tahunan wajib Amdal.

Dia menilai, menghilangkan Amdal demi meraih kemudahan berbisnis, salah alamat. “Amdal seharusnya diperbaiki.”

Hal penting lagi yang tak boleh dilupakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Sebelum membuat Amdal, seharusnya ada KLHS terlebih dahulu. “Ini kewajiban pusat dan daerah. Gak masuk akal Amdal dibuat tanpa KLHS. Amdal bisa cepat jika pemerintah pusat dan daerah sudah menjalankan kewajiban membuat KLHS. Jika KLHS tak ada, sebenarnya pusat dan daerah melawan UU. Kalau mau diperbaiki dimulai dari KLHS,” katanya.

Jalal juga menyoroti korupsi dalam pembuatan dan penilaian Amdal. Selama ini, kerapkali terkait bersedia atau tidak pemrakarsa proyek membayar sejumlah uang.

Victor Rembeth, Manajer Nasional Disaster Resource Partnership of World Economic Forum Indonesia menambahkan, Amdal terkait segala aktivitas merugikan manusia dan cara menanggulangi.

“Secara filosofi Amdal bukan hanya aturan tapi kontrak sosial masyarakat untuk hidup bersama tanpa saling mengganggu,” katanya.

Dia mencontoh, Amdal pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, dibuat dalam waktu singkat tanpa kajian komprehensif.

“Saya setuju jika dikatakan Amdal ecek-ecek. Harusnya dikaji lebih mendalam. Tak hanya dampak perubahan juga kebencanaan.”

Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa, Amdal itu instrumen mendukung bisnis karena memitigasi risiko usaha.

“Kalau dikatakan menghalangi bisnis, yang dipermasalahkan sebenarnya administrasi. Kalau risiko bisnis meningkat, menjadi tak pasti. Amdal di banyak negara jadi tools inventarisir, memetakan risiko lingkungan, konflik sosial lalu memitigasi dengan biaya efektif.”

Esensi Amdal masuk UU Lingkungan Hidup, katanya, sebagai instrumen memfasilitasi komunikasi dengan masyarakat lokal. “Kalau Presiden peduli partisipasi masyarakat, Amdal alat partisipasi. Kekhawatiran publik terhadap proyek bisa diutarakan, ada interaksi.”

Kala Amdal hilang, alat interaksi tak ada. “Ujung-ujungnya risiko konflik sosial meningkat. Ini yang dikhawatirkan investor.”

Fabby mencontohkan, Amdal PLTU Batang salah sejak awal. Proyek sah dahulu, Amdal belakangan. Penolakan masyarakat terjadi. “Kalau Amdal sejak awal, mungkin lain cerita. Disitulah proses komunikasi.”

Ahmad Safrudin dari Komite Penghapusan BBM Bertimbal mengungkapkan, pada 1992, kala Earth Summit di Rio de Janeiro, sudah ada kesepakatan struktur biaya masuk kajian. “Misal membangun pabrik sepatu harus meng-cover biaya lingkungan. Cara menghitung di Amdal.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,