, ,

Potret Kehidupan Warga Dongi-dongi (Bagian 1)

Gemercik air di selasar Sungai Sopu terdengar lirih di tengah hentakan gas mobil yang kami naiki menuju Dongi-Dongi. Matahari agak meninggi. Udara dingin. Mobil berhenti di Boya Tora Ranga, tepat pintu masuk jalan setapak menuju tambang rakyat Dongi-dongi.

Saya hendak bertemu Fe’, Ketua Forum Petani Merdeka, organisasi perjuangan petani Dongi-dongi. Siang itu, Fe’ tak di rumah. Suasana sepi setelah pemerintah Poso dan Gubernur Sulawesi Tengah membentuk tim gabungan aparat Polri, TNI dan Petugas Jagawa menertibkan tambang rakyat.

Saya bersama empat orang lain, melanjutkan perjalanan ke tambang rakyat. Sepanjang perjalanan jejeran kakao tumbuh dengan buah diselimuti hama.

Untuk bisa ke lokasi pengambil bongkahan tambang (ref), kami harus membuka sepatu melewati anak sungai yang bermuara di Sofu. Perjalanan melelahkan, harus ditempuh berjalan kaki sejauh satu kilometer. Walalupun pendakian tak terlalu menanjak, cukup membuat kami meneguk air minum sampai lima kali. Sekitar 15 menit, tibalah kami di depan tambang rakyat. Tampak jejeran kayu sisa-sisa rangka warung darurat yang dibakar aparat gabungan. Di ketinggian, sekitar 100-an meter lubang-lubang penambang beratap terpal beragam warna. Ada roda penarik dari kayu.

Sekitar lima warga menyambangi kami. “Saya kira siapa, soalnya kami bertugas mengawasi lubang. Sementara tak ada orang boleh beraktivitas,” kata John, seorang warga.

 

“Kelahiran” Dongi-dongi

Pada 2001, orang–orang dipaksa masuk Dongi-dongi. Mereka dari empat desa yakni Kamarora B, Rahmat, Kadidia, dan Kamarora A. Mereka orang Suku Kaili Daa, relokasi tahun 1970-an dari Pegunungan Kamalisi dan Orang dari dataran tinggi Kulawi. Pemerintah melalui Departemen Sosial memukimkan mereka di tanah penuh tekanan. Mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan karena sawah gagal, tanah hanya 0,70 are, juga berbatasan langsung dengan Taman Nasional Lore Lindu.

“Kami pindah kesini untuk bertani, demi kelanjutan kehidupan keluarga dan anak-anak. Tahun awal kami menderita betul karena pertanian belum menghasilkan, masyarakat menghidupi keluarga mencari rotan dan damar. Cokelat berbuah baru ada hasil. Sederhananya dari tidak ada menjadi ada. Dari tak ada tanah menjadi punya,” kata Udin Masi, pengurus FPM.

Pendudukan tanah ini suatu cerita yang tersusun di atas rasa takut dan tekad kuat membangun masa depan. “Orang bilang, kamu perempuan Mama Late, apa kamu tidak takut tinggal di hutan. Nanti polisi tangkap kamu,” urai Mama Late. Perempuan asal Kulawi ini, sesekali mengusap air mata mengenang perjuangan mereka mendapatkan lahan.

Dia ingat, sekitar 40-an aktivis mahasiswa dan LSM Kota Palu, datang membantu dan memberikan keyakinan tentang  perjuangan lahan.

Mama Late, setia mendampingi suami selama masa-masa pendudukan awal. Mama Late memiliki keyakinan kuat, perjuangan mereka sah mencari hidup dan melanjutkan kehidupan. ”Saya berani karena kami tak mencuri. Kami butuh tanah untuk hidup.”

Selama sekitar 15 tahun di Dongi-dongi, perasaan belum merdeka menghantui mereka, sebelum Dongi-dongi , betul-betul lepas dari TNLL, yang disahkan 2014. Perjuangan awal mereka 4.000 hektar, termasuk areal pertanian, hutan cadangan, dan hutan lindung desa.

Jumlah masuk awal sekitar 720 keluarga. Pelan-pelan berkurang, Pendataan kami pada 2009-2010, bertahan 720 keluarga. Kekurangan ini terjadi banyak petani tak tahan menderita dan memutuskan pulang ke kampung di Kecamatan Nokilalaki. Sebagian mereka tak sabar mengelola lahan terdiri dari hutan rimba, sebagian pulang pergi dan mendaftarkan diri mereka di desa asal.

Masyarakat Dongi-dongi terbagi dalam mukim disebut blok, awalnya. Seiring perkembangan waktu, diubah menjadi boya, penamaan kampung dalam bahasa lokal Kaili dan ngata–dalam bahasa Kulawi sebagai dua suku mayoritas menghuni Dongi-dongi. Pembagian kampung terdiri dari Boya Tapura, Boya Lentora, Ngata Katupua, Boya Singgani Satu, Boya Singgani Dua, dan Boya Tora Ranga.

 

Taman Nasional Lore Lindu. Foto: Wikipedia

Tapal batas sengketa

Kesepakatan dengan Balai Besar TNLL diwakili A. Yani di Bantaya (Balai Pertemuan masyarakat) Dongi-dongi, tapal batas diatur ulang. Termasuk saat demonstrasi 3 Maret 2016 ke DPRD Sulteng akan dibentuk tim peninjau. Hingga serangan 29 Maret, hal itu tak kunjung terealisasi.

Bambang Suharno, Kabid BBTNLL Wilayah II Bora menyampaikan, malam 29 Maret pasca serangan, DPRD Sulteng menginisiasi rapat koordinasi dihadiri Kapolda, Bupati Poso, Bupati Sigi, Kapolres Sigi, dan Kapolres Poso. Malam itu disepakati, lokasi penambangan rakyat bagian BTNLL.

Memang, katanya, belum tata batas inkrah. Wilayah sekitar Dongi-dongi yang turun status menjadi alokasi penggunaan lain (APL) sekitar 1.500, sekitar 1300 di Poso dan 200 hektar di Sigi. Belum ada angka pasti keseluruhan.

Saat ini, lahan yang ditempati orang menambang bukan wilayah yang turun status. Tambang rakyat itu masuk TNLL. “Kami sudah sosialisasi, mulai 10-11 Februari 2016. Masyarakat tetap ngotot. Tambang berada di kawasan, harus dihentikan. Sosialisasi melibatkan kepala Desa Sedoa, Camat Lore Utara, imbauan Bupati Poso, peringatan dan maklumat kapolda,” katanya.

Saat ini, sekitar 77 desa di sekitarTNLL, mengalami pemekaran. Banyak pendekatan baru dibuat untuk membangun kesejahteraan di TNLL. “Kami memiliki program pemberdayaan di 25 desa, masing-masing mendapatkan dana Rp10 juta. Dana ini dalam bentuk barang sesuatu dengan permintaan masyarakat.”

Klaim yang diutarakan BTNLL bertentangan dengan dari warga dan organisasi masyarakat Dongi-dongi. Bagi FPM, yang diperlukan warga Dongi-dongi fasilitas menyelesaikan dua hal, yaknitata batas antara Dongi-dongi dengan TNLL dan pengakuan tuntutan 4.000 hektar. Lalu pemberian fasilitas negara seperti pendidikan dan kesehatan. Lahan 4000 hektar terdiri dari kelola 1.500 hektar, palawija 900 hektar. Sisanya, 2.400 hektar untuk hutan lahan cadangan dan hutan tangkapan hujan. “Jika hanya merujuk lahan diturunkan status hanya 1.500-an hektar, terdiri pemukiman warga sepanjang Jalan Trans Palu-Napu 11 kilometer,” kata Udin.

“Mencari” negara

Kehadiran negara di Dongi-dongi belum terlihat. Sepanjang pendudukan, belum ada organisasi negara muncur termasuk desa. “Urusan kampung masih dikelola sendiri melalu organisasi tani, Forum Petani Merdeka.” Masyarakat, sebagian besar menumpang legalitas kependudukan di Desa Tongoa, terutama untuk administrasi, seperti kartu keluarga, akta kelahiran, kartu tanda penduduk dan lain-lain.

Pemilu lalu, setelah ada pelepasan dari taman nasional baru datang pengakuan pemerintah sekaligus perebutan klaim. Klaim wilayah datang dari Pemerintah Poso, penduduk diklaim Kabupaten Sigi. Dua kabupaten sebenarnya rebutan wilayah. Selama ini, KTP Sigi, raskin dari Poso.

Sedang batas lama Danau Tambing, saat Dongi-dongi masih wilayah administrasi Donggala berbatasan dengan Poso. Saat pemekaran 2009 menjadi Sigi, batas pindah ke Jembatan Sungai Sopu. Beberapa kali, kepala Desa Sedoa berencana mengklaim Dongi-dongi, sebagai bagian administrasi dan dibagi menjadi tiga dusun. Wacana ini bergulir sebelum pilkada 2015, hingga kini belum ada pembicaraan lebih lanjut.

“Kalau dilihat kerumitan jelas kampung tak diurus negara. Tak ada dana desa, termasuk sekolah dan kesehatan. Pemerintah tak memberikan bantuan peningkatan kehidupan masyarakat Dongi-dongi. Masyarakat beberapa kali bikin proposal mulai masa Donggala mekar menjadi Sigi, Poso bahkan ke Gubernur,”katanya.

Listrik masuk Dongi-dongi baru sekitar enam bulan terakhir. “Fasilitas umum di Dongi-dongi murni swadaya masyarakat.”

Serba swadaya 

Else, pengelola SDN  1 Dongi-dongi Cabang SDN Inpres 2 Kamarora, mengatakan, awal  bangun sekolah dari  swadaya masyarakat. Bangku dibuat  orangtua murid. “Atap sekolah bocor, anak-anak banyak belajar di bawah pohon jika bukan musim hujan. Di dalam ruangan murid belajar berdesakan, sulit menulis karena sikut mereka berhimpitan.”

Kondisi sama terjadi di sekolah yang didirikan swadaya Gereja dan masyarakat. “Kami membawa tikar karena bangku sekolah tidak cukup. Kami duduk di lantai beralas tikar,” ujar Poppy Murid Kelas 5 SD Kristen Gereja Bala Keselamatan Dongi-dongi. Kerjasama sekolah dengan gereja ini taktik mendapatkan ijazah sah anak sekolah.

Di Sekolah Kristen Bala Keselamatan ini ada murid Muslim berjilbab, guru yang berjilbab. Bagi mereka, perbedaan agama tak menjadi soal, kesamaan nasib menyatukan mereka di atas satu atap sekolah.

Fasilitas sekolah Dongi-dongi mendapatkan bantuan organisasi Seribu Guru. Ini menginspirasi Stenli Gilbert, putera Keluarga Mama Late segera meraih gelar sarjana pendidikan di Fakultas Keguruan PGSD Universitas Tadulako. “Saya tidak pernah membayangkan jadi sarjana karena kondisi orangtua terbatas. Dalam pikiran saya, mempercepat kuliah. Kampung ini membutuhkan saya.”

Ibeng, panggilan akrabnya, adalah generasi Dongi-dongi pertama meraih gelar sarjana. Dia masuk kuliah 2011, sarjana 2015, menghabiskan waktu 3,6 tahun. Dia membangun komunikasi dengan program 1.000 guru. Selain mengajar di SD, ia mendirikan PAUD di bawah kolong rumah dibantu enam pemuda Dongi-dongi lulusan SMU. Umumnya, anak-anak Dongi-dongi hanya sampai pendidikan SD, paling tinggi SMA. (Bersambung)

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,