, , ,

Potret Kehidupan Warga Dongi-dongi (Bagian 2)

Cerita emas Dongi-dongi berawal pada 2009. Seorang bernama En, membuka tambang rakyat sembunyi-sembunyi. Usaha direspon cepat masyarakat dengan menutup tambang itu. “Kalau tambang rakyat sekarang di lahan milik Matius, Enos dan lain-lain, setiap orang satu hektar karena punya empat orang, keseluruhan ada empat hektar,” kata Udin, pengurus Forum Petani Merdeka.

Booming emas kedua berawal dari pemilik tanah menanam talas, terjadi longsor, muncul bongkahan batu diduga mengandung emas. Batu bongkahan diperlhatkan kepada orang dari Sulawesi Utara di Poboya. “Orang Utara tanya, dapat batu darimana? Diberitahu di Dongi-dongi. Sejak itu, terjadi penambangan diam-diam antara pemilik lahan dengan orang dari Sulut.”

Penambangan diam-diam sekitar tiga bulan dari awal Desember 2015 sampai Februari 2016. Meledak dan ketahuan, akhir Februari 2016, mulai banyak masyarakat terlibat. Awalnya, sebagian masyarakat tak mau terlibat karena menganggap pekerjaan ini berisiko, harus berjuang di bawah tanah. Seiring perkembangan waktu, tambang berjalan terus dan makin ramai. Setiap diolah selalu muncul isu baru soal hasil emas bagus.

Awal Maret 2016, berulah seluruh petani Dongi-dongi ikut meskipun pekerjaan utama sebagai petani tak ditinggalkan. Yang tinggal di tambang setiap hari, memang penambang.

Penambangan di Dongi-dongi sekadar menggali bongkahan, tak ada mesin pengolahan atau sering disebut tromol. Sebagian besar penambang mendapatkan pembiayaan kongsi dari orang Lasoani dan Poboya, yang lebih dulu memahami tambang rakyat. Orang luar datang, umumnya dari Minahasa.

Kedalaman tambang rakyat disini berkisar enam sampai 10 meter dengan sistem cabutan yang ditarik FPM. FPM tak memaksakan aturan kepada semua pemilik lubang tambang. Setiap penambang menyerahkan dua karung hasil produksi, satu untuk desa, satu FPM.

Jumlah penambang tercatat FPM pada 9 Februari 2016, sebanyak 9.000 orang, Pada 10 Februari, hanya 2.000 orang. Meningkat lagi, hingga 29 Maret tercatat 20.000 orang, belum termasuk hitungan pedagang makanan dan minuman berjumlah ribuan orang.

Selama dua bulan penambangan, keadaan ekonomi banyak berubah. Ekonomi lancar, pertanian tetap berjalan. Ada banyak peluang pekerjaan seperti tukang ojek, pedagang, dan penambang. Bahkan dari luar Dongi-dongi banyak datang mengais rejeki, seperti buruh harian di Pasar Inpres Manonda sebagian besar ke Dongi-dongi. Buruh ini disebut kijang, dalam sehari bisa mendapatkan uang besaran Rp700.000. Tukang ojek, rata-rata tujuh kali angkutan upah Rp40.000 per kali.

Pada penarikan awal terkumpul 117 karung batu bongkahan emas. Terjadi perselisihan antara FPM dengan pemilik lubang tambang. Tak ada kesepahaman dengan pemilik hingga FPM menarik diri. Penataan ini diakhiri dan kepanitiaan bubar.

Peta Taman Nasional Lore Lindu. SUmber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

FPM memutuskan, menutup tambang rakyat. Kesimpulan FPM aturan organisasi tak bisa berjalan kalau dianggap tak akan memberikan manfaat. Sebagian pengurus menganggap keputusan FPM dikhianati.

“Kalau dibandingkan, hasil emas memang menggiurkan, berbeda jauh dari berjualan sayur. Tambang rakyat, dalam tiga hari menghasilkan uang. “Bisa dibilang, perbedaan antara langit dan bumi,” ucap Udin.

Sebagian besar petani terikat tengkulak, rata-rata persentase pembagian hasil, 60% tengkulak dan 40% petani. Sekitar 20% petani terikat ijon yang membiayai pra produksi hingga berpengaruh pada hasil.

Tanaman pertanian andalan petani dari labu siam, jagung, tomat, kol, sampai sawi putih. Pendapatan sehari-hari labu siam dengan harga bisa melambung tinggi, musim panas bisa Rp300.000 per karung, seperti sepanjang Desember 2015-Januari 2016. Harga tomat Rp500 perkg, labu siam Rp40.000 per karung isi 220. Kakao antara Rp30.000-Rp31.000 perkg, kol Rp90.000 per karung, biasa antara Rp200.000-Rp250.000 dengan masa panen setiap tiga bulan.

Kakao produk unggulan kedua karena serangan hama dan pemeliharaan suit. Potongan harga dianggap terlalu banyak seperti, potongan ampas, air, karung, kempes, biji, dengan rata-rata potongan sekitar tiga kilogram perkarung.

Sejak 2012, kakao tak diperhatikan bahkan sebagian ditebang, berganti palawija.

Tragedi 29 Maret

Pada 29 Maret 2016, FPM aksi memperingati Hari Ketiadaan Tanah Internasional dengan memobilisasi massa dalam 14 truk. Tuntutan mereka kaji ulang tapal batas dan 4.000 hektar lahan permintaan warga.  Juga menuntut, semacam solusi legalitas pada tambang rakyat dalam bentuk hak hukum baru agar ada pengaturan negara. Pengurus FPM menegaskan, aksi itu tak ada kaitan langsung dengan tambang rakyat.

“Kalaupun tambang rakyat legal, tak semua orang Dongi-dongi menambang. Bagi warga, tambang rakyat hanya jangka pendek, utama kepastian hak atas tanah dan produksi pertanian. Keliru, kalau dianggap demonstrasi 29 Maret upaya melawan penertiban tambang,” ucap Udin.

Sebelum 29 Maret, sekitar 10 truk polisi, pamong praja, TNI dan jagawana telah berkemah di sekitar Danau Tambing. Saat sebagian besar warga Dongi-dongi ikut ke Palu, petugas lebih leluasa mengobrak-abrik lokasi tambang, membakar tenda, warung-warung pedagang dan pondok warga.

LBH Sulawesi Tengah (LBH) melaporkan, serangan berdarah aparat kepolisian terhadap petani dan penambang Dongi-dongi di Kantor Perwakilan Komnas HAM Sulteng.

Ahmar Wellang Direktur LBH Sulteng mengatakan, dugaan pelanggaran HAM, didasarkan penahanan massa ke Palu. Baginya, tindakan itu berlebihan. Tanpa ada tembakan peringatan, polisi merentet massa dengan peluru dan gas air mata di jalan sempit.

“Banyak warga kena. Padahal massa sudah negosiasi, ingin sampaikan aspirasi ke Palu. Tak ada rencana aksi chaos, sama sekali tidak ada.”

Senjata tajam adalah peralatan penambang dan material itu sisa terakhir milik para penambang dari berbagai tempat, seperti Manado, Bora, Palolo, Dolo.

Ketua Komnas HAM Sulteng, Dedi Azkary, menyampaikan, akan melakukan evaluasi penerapan protap dalam pengendalian aksi massa. Laporan ke Komnas HAM, pelemparan batu, tiba-tiba massa diberondong tembakan. “Sekalipun mungkin peluru karet, seharusnya didahului gas air mata, kecuali ada desakan menghawatirkan, atau krusial,” katanya.

Komnas HAM juga akan berkoordinasi dengan Pemerintah Sigi, Poso mengungkap tragedi 29 Maret itu. (Habis)

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,