Hutan Jati Muna Tinggal Kenangan

Saya mengelilingi beberapa titik di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, pertengahan Januari lalu. Bersama pengemudi ojek, saya ke pertigaan alun-alun. Menapaki jalan utama dan memasuki jalan kecil. “Saya mau lihat hutan jati,” kata saya pada pengemudi ojek.

“Ha? Tidak ada lagi pak,” katanya.

“Dulu memang banyak, semua ditebang. Dekat pelabuhan, dulu banyak kayu ditangkap. Kayak gunung.”

Sekitar 60 kilometer dari pusat kota, saya mengunjungi Cagar Alam Napabalano biasa disebut Hutan Tampo. Kawasan itu seluas 10,5 hektar. Ada satu pohon jati diklaim berusia 100 tahun. Batang kokoh dan daun kecil-kecil, tak seperti jati biasa.

Kepala Pos Jaga di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Napabalano, La Rewangi mengatakan, kawasan ini tak terjamah dan tetap lestari karena diselimuti mitos keangkeran. “Saya kira satu-satunya jati yang selamat tak ditebang,” katanya.

La Rewangi, mencoba memberikan perbandingan. “Bayangkan, ada ribuan hektar lahan di Muna, yang menjaga hanya 10,5 hektar ini. Seperti noda kecil kalau dibuatkan peta,” katanya.

Selain Tampo, ada kawasan bernama Jompi. Hutan Jompi, tak jauh dari pusat kota, hanya beberapa kilometer. Di sana, ada bendungan kecil. Setiap sore selalu ramai penduduk. Badan aliran air ditembok pemerintah, menjadi tempat mencuci pakaian. Berseliweran mobil-mobil bak terbuka, berisi jerigen air. Dijual berkeliling kampung.

Di Muna, kebutuhan air ratusan warga dengan membeli. Satu jerigen Rp3.000. Air PDAM dua hari sekali mengalir, pagi hingga siang. Di kampung-kampung jauh dari pusat kota, lebih miris. Ada meteran air PDAM, tetapi tak ada air. Warga menampung air hujan.

Goa karst di Muna yang menyimpan air digunakan PDAM untuk menyalurkan air bersih ke masyarakat. Foto: Eko Rusdianto
Sumber air di  karst Muna yang menyimpan air digunakan PDAM untuk menyalurkan air bersih ke masyarakat. Foto: Eko Rusdianto

Muna ini pulau terpisah dari ibukota Sultra. Pada 2014, wilayah ini terbagi menjadi dua, Muna dan Muna Barat seluas 488.000 hektar atau 4.900 kilometer persegi.

Tulisan Indarwati Aminuddin, yang bekerja untuk WWF Indonesia 2005-2006 menyatakan, hutan Muna, jati tumbuh sempurna di lahan-lahan berkapur. Saat itu, sekurang-kurangnya tersimpan kayu jati logs 8.600 per kubik pada 2001. Setahun kemudian meningkat jadi 12.200, lalu 5.900 pada 2013, dan 21.100 pada 2004.

Jati Muna salah satu primadona di Indonesia, karena kerapatan, kekerasan, dan fisik kimia setara jati di Cepu, Jawa Tengah. Jati Muna berwarna lebih gelap. Klaim lain, menjadikan jati Muna terkenal karena status “asli”. Klaim ini diperoleh melalui penelitian dengan teknik deoksiribonuklead (DNA) menggunakan enzim pada 1994.

Cerita berkembang di masyarakat, jati disebut juga kulidawa, adalah tanaman datang dari Jawa, yang dikembangkan oleh pemerintah Belanda. Penduduk Muna, Rahmat mengatakan, kulidawa berarti kuli dari Jawa. “Mungkin waktu itu, orang Muna melihat beberapa pekerja dari Jawa. Jadilah penamaan jati itu,” katanya. “Tapi bisa juga berarti kayu dari Jawa.”

Kisah lain, jati dikembangkan raja Muna untuk kemakmuran rakyat. Jati-jati itu, ditanam menggunakan sumpah untuk kepentingan bersama rakyat, membangun rumah, tak boleh diperjualbelikan buat kepentingan individu.

Sumpah raja, terus terngiang hampir ke semua warga. Namun, kebanggaan itu hanya sebatas kenangan. Juli 2004, di bawah kepemimpinan dua periode Ridwan Bae dari Partai Golkar (periode 2000-2010)–saat ini anggota DPR dan Ketua MKD–eksploitasi jati besar-besaran. Dalihnya buat peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).

Ridwan Bae mengklaim dengan jati, Muna mendapatkan penghasilan hingga Rp15 miliar. PAD Muna pada 2010 sebesar Rp14 miliar, jadi Rp42 miliar pada 2014.

Selama 2000-2010, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menghadiahi Muna predikat disclaimer dalam tata kelola keuangan. “Jadi jati Muna hanya kepentingan orang perorang, atau perusahaan. Masyarakat tak dapat apa-apa,” kata Tambong, pendamping perempuan yang meneliti pemberdayaan di Muna, pada 2012.

Beragam dalih dilanggengkan demi pembenaran pegelolaan jati. Dari propaganda kesejahteraan masyarakat hingga penyerapan tenaga kerja. Sayangnya, data berbanding terbalik, di Muna kemiskinan sampai 2010 mencapai 21,25%. Dan 2013, turun jadi 15,32%. Begitu pula pengangguran pada 2010 mencapai 3,58%, turun jadi 2,98% pada 2013.

“Di Muna, mayoritas masyarakat menggantungkan hidup berkebun. Jati soal lain, karena dikuasai pemilik modal,” kata Tambong.

Carut marut pengelolaan jati Muna akhirnya sampai meja hijau. Pada 10 Agustus 2004, Kendari Pos menulis laporan berdasarkan data Walhi, terdakwa Ketua Panitia Lelang Jati, Simon Mahuri, telah mengeluarkan uang kepada 70–an orang sebagai sumbangsih.

Lahan terbuka di salah satu sisi hutan Jompi. Foto: Eko Rusdianto
Lahan terbuka di salah satu sisi hutan Jompi. Foto: Eko Rusdianto

Mantan Direktur Eksekutif Walhi Sulteng, kini politikus PDIP, La Ode Ota mengatakan, penerima uang itu terbagi dalam beberapa kelompok, seperti pemimpin daerah, pejabat dan panitia, hingga petugas pengamanan hutan.

Menurut La Ode Ota yang dikutip Kendari Pos, pada 1 Oktober 2003, panitia lelang mengeluarkan uang kepada Bupati Muna Ridwan Bae Rp15 juta, Wakil Bupati Rp10 juta, untuk ketua DPRD, sekretaris kabupaten, Dandim 1416, Kajari, Ketua Pengadilan Negeri Muna masing-masing memperoleh Rp5 juta. Bahkan Wakil Ketua DPRD Rp2,5 juta dan Wakapolres, Kasdim, dan Wakil Ketua Pegadilan Negeri masing-masing Rp1,5 juta. Kala saya akan wawancara ulang, La Ode, tak bersedia. Kadang beralasan rapat atau alasan lain.

Salah satu perusahaan pemenang lelang dalam mengelola Jati adalah PT Rapesa. Saya mencoba menelusuri keberadaan perusahaan ini di Muna, namun tak menemukan. Kebanyakan mengatakan sudah tutup. Perusahaan ini milik Ridwan Bae. Saya berusaha mewawancarai Ridwan. Dia tak membalas permintaan wawancara yang saya kirim melalui pesan singkat. Telepon juga tak diangkat.

Awal 2000-an, Rapesa, tercatat sebagai calon pengelola hasil hutan seluas 8.000 hektar di Lagundi, Bonegunu, Kabupaten Muna.

“Jadi sebenarnya berbicara soal jati Muna, itu sama saja membuka aib daerah,” kata Rahmat.

***

La Rewangi, pria hangat senang bercerita. Usia jelang 50 tahun. Saat kami memasuki Tampo, dia meminta jangan mendahuluinya. Ketika dia berjalan di depan, mulut selalu bergumam merapalkan beberapa mantra. Katanya, izin untuk penghuni gaib. “Dulu, kalau ada orang menebang pohon dalam kawasan ini, selalu kita mendengar suara tangisan. Pake bahasa Muna, artinya jangan tebang kami,” katanya.

Dalam cagar alam itu, kami disambut suara burung Sri Gunting. Bersahut-sahutan seraya menggoyangkan ekor dan mengepak sayap pelan. “Seperti dalam dunia lain,” ka La Isal, warga Loiha.

Ungkapan La Isal tidaklah keliru. Udara sejuk dalam lindungan pohon makin sulit ditemukan di Muna. Di sepanjang perjalanan, pemandangan lahan-lahan berubah menjadi perkebunan jagung.

Saat kami menyusuri sisi lain hutan Jompi, bersisihan dengan ladang terbuka. Rumah-rumah kebun berjejer di sisi kanan. Pagar bambu dan kayu mengelilingi petak masing-masing pemilik. Jagung berumur beberapa minggu, terlihat menghijau, terhampar hingga ke puncak-puncak bukit. “Dulu sisi kanan jalan itu semua jati. Laut tak pernah terlihat, sekarang pandangan bebas lepas,” katanya.

Pohon-pohon jati hilang di Jompi, tak hanya membuat suasana kampung makin panas, tetapi membuat debit air berkurang. “Dulu, kalau berdiri dekat tower (sekitar dua kilometer dari aliran Sungai Jompi) limpahan air dari bendungan terdengar bergemuruh,” kata Wiwin, warga Muna. “Saya kira suara air itu bertahan hingga tahun 2004. Sekarang air hanya mengalir pelan, tak deras lagi.”

Lebar sungai di Jompi sekitar delapan meter, bermuara ke laut, melewati beberapa wilayah pinggiran Kota Raha, ibukota Muna. Sisi sungai dibeton, menyurupai kanal. Beberapa warga menyebutkan mirip got.

Bagi Raha, hutan Jompi adalah penyangga persediaan air bersih. Sebelum 2005, hutan Jompi cukup lebat. Pohon-pohon jati tumbuh subur. Menjelang 2005, Jompi mulai dirambah. Pos jaga kehutanan dekat bendungan sungai tak banyak berbuat.

Tanaman di Cagar Alam Napabalano. Foto: Eko Rusdianto
Tanaman di Cagar Alam Napabalano. Foto: Eko Rusdianto

Hampir setiap hari, warga melihat batang-batang jati diangkut dengan truk. Warga sekitar hanya bisa pasrah, hendak melawan akan berhadapan dengan pejabat pemerintah dan pengusaha kayu. Orang-orang saling tuding atas hak kepemilikan jati.

Wa Mili, penduduk Desa La Bone, Kecamatan Lasalempa mengatakan, penebangan jati besar-besaran tahun 2000-an menciptakan koflik. Orang-orang akhirnya melihat jati sebagai sumber uang. Bukan lagi tanaman untuk kepentingan bersama. “Jadi masyarakat ikut menebang juga, ada beberapa orang ditangkap karena dianggap menyerobot kawasan hutan,” katanya.

“Sekarang, jati hilang. Udara makin panas dan kalau hujan, air jadi tak terkontrol, banjir toh. Dulu waktu ada jati, tak ada banjir besar,” kata Mili.

Perebutan dan sengketa jati Muna berlangsung sejak lama. Dimulai era partikelir Belanda antara 1901-1904. Sisi lain, Belanda–dalam era pemerintahan swapraja masa itu–membuat Cagar Alam Napabolano dengan penetapan pada 1919.

Tahun 1969, pemerintah Indonesia mengambil alih kewenangan pengelolaan dan menghasilkan banyak aturan, terkait pengelolaan, penebangan, pengumpulan, dan pembagian posisi keuangan dari eksploitasi jati. Pada 1986, kewenangan pengelolaan dipegang Sultra. Pada 1989, Perum Hutan Daerah (Perhutanda) dibentuk sekaligus menegaskan otoritas sebagai pemegang hak eksploitasi dan memasarkan jati.

Pada masa ini, provinsi tak hanya diuntungkan oleh eksploitasi jati, juga hasil lelang dari kayu temuan dan sitaan yang ditengarai dari hasil penebangan liar.

Saya mewawancarai Rahmat, aktivis lingkungan Sultra. Menurut dia, kayu temuan tak semua ilegal. “Kayu temuan cukup aneh. Ada beberapa orang menyuruh masyarakat menebang jati, lalu diadakan patroli, dan menjadi temuan,” katanya.

“Bayangkan, ketika jati mulai habis, temuan kayu tak ada lagi. Beberapa polisi kehutanan mengeluh pada saya, uang patroli sudah berkurang. Susah mendapatkan uang.”

Menjelang 2000, setiap pemilik harus ada izin pengelolaan kayu tanam milik (IPKTM) ditandangani bupati atau wakil bupati. Tahun 2004-2005, pemilik izin ini mencapai 18 orang dengan 1.524.245 hektar. Aturan ini menimbulkan beberapa praktik tak wajar, seperti calo perizinan. “Bayaran ditentukan seberapa banyak kayu akan dijual. Tiap penghubung memperoleh Rp100.000 per kubik,” tulis Indarwati.

Luasan izin IPTKM ini sungguh berbeda dengan data kehutanan Muna. Pada 2003-2006 tercatat luas kawasan hutan Muna 235.759 hektar atau 79,54% dari total Muna. Penebangan serampangan marak pascareformasi, membuat hutan menciut. Pada 2007, luas hutan tinggal 108.381 hektar atau 35,56% dari luas kawasan.

Dinas Kehutanan Muna menyebutkan, dalam areal itu terdapat 1.600 hektar hutan lindung dibagi dalam 401 hektar di Kontu, 150 hektar di Patu-patu, dan Warangga.

Kawasan lindung termasuk Kontu dan Patu-patu, dalam klaim pemerintah Muna didasarkan pada peta situasi tahun 1958 serta SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 454 tahun 1999. Dalam kawasan lindung ini, terdapat beberapa kepala keluarga bermukim, dengan dasar hak ulayat dalam adat Kontu.

Sengketa tak terhindar. Pada November 2005, terjadi aksi penggusuran. Laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebutkan, kejadian bermula pada 29 November 2005 pukul 08.00. Tim pemerintah Muna dari Dinas Kehutanan Muna, Satpol PP, dan sekitar 50 orang menggunakan penutup wajah, membawa mesin pemotong dan parang, bergerak merusak kebun serta membakar pondok-pondok masyarakat. Sebanyak 22 orang mengalami luka-luka, 15 rumah rusak dan dibakar.

Kini, hutan-hutan jati Muna tak ada lagi.

La Rewangi, di depan pohon jati yang diklaim berusia 100 tahun. Satu-satunya jati Muna yang tersisa...Foto: Eko Rusdianto
La Rewangi, di depan pohon jati yang diklaim berusia 100 tahun. Satu-satunya jati Muna yang tersisa…Foto: Eko Rusdianto
Sungai di Kawasan Hutan Jompi. Foto: Eko Rusdianto
Sungai di Kawasan Hutan Jompi. Foto: Eko Rusdianto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,