,

Refleksi Hari Bumi, Palembang Gagal Mempertahankan Strategi Adaptasi

Setiap musim penghujan Palembang selalu tergenang air, seperti halnya musim penghujan saat ini. Kondisi ini sebenarnya sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu. Bedanya, dulu masyarakat Palembang tidak terganggu dengan genangan air tersebut.

“Sebenarnya bukan karena faktor alam saja, banjir yang melanda Palembang hampir setiap tahun ini karena kegagalan mempertahankan strategi adaptasi yang sudah diterapkan sejak ratusan tahun lalu oleh Kerajaan Sriwijaya maupun sebelumnya,” kata Aryandini Novita, arkeolog dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan, dalam merefleksikan Hari Bumi, Jumat (22/04/2016).

Dijelaskan Novita, Palembang memiliki kondisi geografis berupa dataran banjir dan tanggul alam, yang diikuti oleh dataran aluvial, rawa belakang dan perbukitan rendah denudasial, karena itu pada musim penghujan di beberapa tempat mudah dilanda banjir.

Sejak masa Sriwijaya hingga Kesultanan, hunian di Palembang menempati tepian Sungai Musi dan anak-anak sungainya. Masyarakat Palembang beradaptasi dengan kondisi geografis lingkungannya dengan cara mendirikan rumah-rumah bertiang atau rumah-rumah terapung yang dikenal dengan nama Rumah Rakit. Strategi ini juga diikuti oleh para pendatang dari mancanegara yang menetap di Palembang pada saat itu.

“Pada masa kolonial Belanda strategi adaptasi tersebut mengalami perubahan. Ini dilihat ketika mereka kawasan pemukiman Talangsemut,” katanya.

Pembacaan perubahaan strategi ini, terlihat pada peta kawasan Talangsemut tahun 1922, 1930 dan 1945.

Pada peta 1922 terlihat kawasan Talangsemut masih berupa daerah perbukitan di bagian selatan dan rawa-rawa di bagian utara—yang tertulis sebagai Lebak Soeakbato.

Pada peta tahun 1930 terlihat mulai direncanakan penimbunan Lebak Soeakbato menjadi sebuah daratan dengan jaringan jalan yang dilengkapi dengan saluran air di sisi kiri kanannya—ini ditandai dengan garis putus-putus.

Pada peta 1945 terlihat pembangunan kawasan Talangsemut sudah selesai, yaitu berupa kawasan pemukiman baru untuk orang-orang Eropa yang merupakan warga kelas satu. Kawasan yang diperuntukan untuk kalangan elit tersebut dibangun dengan konsep “kota taman”rumah-rumah tidak didirikan saling berdempetan dengan tepian jalan yang ditanami pohon-pohon, median jalan yang difungsikan sebagai jalur hijau serta ditambah beberapa taman atau fasilitas olah raga yang terletak di antara perumahan.

“Artinya, bentuk rumah-rumah yang pada masa sebelumnya dibangun di atas tiang berganti dengan bangunan yang menempel di tanah, pengendalian banjir dilakukan dengan mengubah rawa menjadi kolam retensi yang terhubung dengan anak Sungai Musi dilengkapi dengan jaringan saluran air yang berfungsi untuk mengalirkan air terutama pada saat musim penghujan. Kondisi tersebut masih dapat dilihat hingga saat ini.”

Gambaran Kota Palembang pada 1659. Sumber: Wikipedia
Gambaran Kota Palembang pada 1659. Sumber: Wikipedia

Dilanjutkan, gagal membaca

Pembangunan selanjutnya di Palembang sebenarnya mengikuti strategi pembangunan yang dilakukan kolonial Belanda di Talangsemut. Tapi perubahan strategi ini tidak sepenuhnya sama. “Yang saya lihat tidak diikuti dengan pembuatan kolam retensi yang diikuti pembuatan sanitasi atau kanal yang terhubung dengan Sungai Musi,” katanya.

Kalaupun saat ini dibuat banyak kolam retensi, tapi sanitasi atau kanal-kanal yang terhubung dengan Sungai Musi kondisi tidak baik atau buruk, sehingga air yang tertampung di kolam retensi tidak tersalurkan sehingga meluap menjadi tergenang atau membanjiri wilayah pemukiman, perkantoran hingga jalan.

Revitalisasi anak sungai dan rawa

Jika ingin menjadikan Palembang bebas dari banjir, katanya, yang harus dilakukan yakni merevitalisasi anak sungai dan kawasan rawa. “Kalau hal ini tidak dilakukan, sungguh mustahil Palembang akan bebas dari banjir. Bukan tidak mungkin pada akhirnya Palembang akan tenggelam,” katanya.

Strategi membuat kolam retensi sebagai pengganti kawasan rawa, juga harus diikuti dengan pembuatan kanal atau mengembalikan anak sungai yang dulunya berfungsi menyalurkan air dari kawasan rawa ke Sungai Musi.

Permukiman warga di tepian Sungai Musi, tampak gersang. Foto: Taufik Wijaya

Spirit Asia Tenggara

Kearifan menata sungai, kanal, kolam, pada kota-kota yang berada di dataran rendah atau rawa, bukan hanya dilakukan pada masa Kerajaan Sriwijaya. Tata kelola ini sudah dikembangkan suku bangsa di Asia Tenggara, jauh sebelum Kerajaan Sriwijaya berdiri. Ini terlihat pada beberapa kota di dekat sungai besar di Asia Tenggara, seperti Sungai Mekong, Sungai Musi, Sungai Batanghari, maupun sungai-sungai di Kalimantan dan Jawa.

Pada masa Kerajaan Sriwijaya hingga Kesultanan Palembang Darussalam, meskipun ditemukan banyak sungai, para penguasa justru menambah sungai atau kanal. Di kawasan Palembang Barat yang merupakan pemukiman padat di masa Sriwijaya—tempat beradanya Situs Karanganyar, Bukit Siguntang dan Talang Tuwo—justru dibuat Sungai Soak Bujang, yang menghubungkan Sungai Kedukan Bukit dengan beberapa anak Sungai Musi lainnya di wilayah Palembang Barat.

“Palembang banjir, Jambi banjir, Jakarta banjir, Bangkok banjir, Ho Chi Minh maupun kota tua lainnya di wilayah rendah di Asia Tenggara saat ini mengalami banjir, itu semua karena kita tidak mau belajar dengan para leluhur yang sukses selama ratusan tahun menata air di pemukiman mereka,” kata Novita.

Sebagai informasi, dalam sebuah studi yang diterbitkan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan pakar dari Bank Dunia bernama Dr. Stephane Hallegate, diperkirakan bahwa bencana banjir yang terjadi saat ini dan di masa mendatang yang terjadi di 136 kota di pesisir atau tepi sungai, akan meningkat parah hingga 1 triliun dollar setahun jika kota-kota ini tidak melakukan proses adaptasi dan pencegahan saat ini.

“Kota di tepi perairan (baik laut maupun sungai) akan menghadapi resiko besar akibat meningkatnya permukaan air laut akibat perubahan iklim. Pertahanan yang mereka miliki saat ini tidak akan cukup kuat untuk menahan kenaikan permukaan air tersebut,” ungkap penelitian ini.

Dalam penelitian ini 10 kota yang paling rentan mengalami kerugian parah akibat banjir jika dihitung dari GDP (Gross Domestic Product) mereka adalah: 1. Guangzhou, 2. New Orleans, 3. Guayaquil,  4. Ho Chi Minh City, 5. Abidjan, 6. Zhanjing, 7. Mumbai, 8. Khulna, 9. Palembang, 10. Shenzen.

Peta Palembang dari 1920-2015. Dok: Balai Arkeologi Palembang

Peta Palembang dari 1920-2015. Dok: Balai Arkeologi Palembang

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,