,

Menyaksikan Ancaman Lingkungan Hidup di Hari Bumi

Ratusan aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) hadir di Palembang, Sumatera Selatan. Mereka berkarnaval untuk memperingati hari bumi, pada Jumat (22/04/16). Menggunakan spanduk dan poster disampaikan pentingnya penyelamatan bumi, serta ancaman kerusakan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

Peserta mengawali aksi dengan berjalan kaki dari Benteng Kuto Besak hingga Kambang Iwak. Berbagai kalimat peduli bumi diteriakkan. Mereka juga menyanyikan lagu dan mementaskan teatrikal untuk menggambarkan permasalahan yang sedang dihadapi bumi belakangan ini.

Dalam orasi politiknya di hari bumi, Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional Walhi, mengajak masyarakat untuk mengingat berbagai praktik-praktik perusakan lingkungan yang masih terjadi di Indonesia. Di banyak tempat, kata dia, terjadi begitu banyak persoalan, seperti reklamasi yang berkedok revitalisasi, kebakaran hutan atas nama pembangunan, serta masalah pertambangan.

“Semua ini tidak lepas dari bagaimana politik pembangunan ekonomi kita digerakan. Kita harus sepakat bahwa model investasi hari ini tidak bisa kita langgengkan karena terbukti melahirkan begitu banyak penyengsaraan,” kata Abetnego.

Dijelaskannya, persoalan lingkungan tidak hanya sekedar mengganggu pandangan mata dan aktifitas masyarakat banyak, tetapi telah mencapai level mengancam keselamatan. Kebakaran hutan dan lahan pada saat lalu, dicontohkannya, menyebabkan 40 juta orang terpapar asap, ratusan orang mengalami gangguan pernapasan, ribuan orang kesulitan mencari nafkah dan belasan orang mati.

“Itu menjadi indikator bahwa persoalan lingkungan hari ini mengancam keselamatan banyak masyarakat. Dalam konteks inilah kata keselamatan rakyat menjadi hal yang penting dan harus kita pegang. Hal-hal yang mengancam keselamatan rakyat harus kita lawan,” seru Abetnego.

Seorang peserta merias diri dan pakaian bertema lingkungan dalam karnaval hari bumi bersama aktivis Walhi di Palembang, Sumsel, Jumat (22/04/16). Foto : Themmy Doaly
Seorang peserta merias diri dan pakaian bertema lingkungan dalam karnaval hari bumi bersama aktivis Walhi di Palembang, Sumsel, Jumat (22/04/16). Foto : Themmy Doaly

Di sisi lain, dia menerangkan, saat ini Indonesia menjadi negara kepulauan yang semakin rapuh karena akumulasi dari model pembangunan berdampak pada perubahan iklim. Lewat persoalan-persoalan tersebut, negara diharapkan hadir untuk memastikan keselamatan warga negara melalui kebijakan yang berpihak pada masyarakat dan lingkungan.

“Negara harus juga hadir dalam konteks penegakkan hukum. Masa yang bakar hutan bisa bebas-bebas saja, kemudian perusahaan yang menambang tanpa mereklamasi nggak diapa-apain. Lalu, reklamasi yang tidak sesuai prosedur, kok, tidak ada yang ditangkap sampai hari ini,” tegasnya.

Abetnego mengajak berbagai pihak ikut mendorong pemerintah untuk melakukan perbaikan tata kelola secara sistematis. Misalnya, luasan sawit yang diperkirakan mencapai 13 juta hektar telah menempatkan Indonesia sebagai wilayah ekspansi sawit terbesar di dunia.

Kondisi tersebut dinilai menjadi momentum untuk melakukan perbaikan tata kelola lingkungan. Menurutnya, upaya tadi tidak mungkin dilakukan tanpa moratorium. “Pada situasi sekarang ini kita membutuhkan pemulihan yang sistematis. Kita tidak boleh lagi dimanipulasi pendekatan-pendekatan kecil yang sebenarnya tidak memulihkan apapun.”

Lingkungan Makin Rusak

Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumatera Selatan mengatakan, banyak wilayah sedang menghadapi ancaman perusakan lingkungan. Dicontokan, di Sumatera kebakaran hutan menyebabkan korban terpapar infeksi saluran pernapasan, kerugian ekonomi hingga meninggal dunia.

Permasalahan itu, ujarnya, menunjukkan kondisi lingkungan semakin rusak akibat kebijakan investasi yang diberikan pemerintah kepada perusahaan-perusahaan yang komitmennya diragukan.

Komunitas pesepeda juga ikut dlam berkarnaval untuk memperingati hari bumi, di Palembang, Sumsel pada Jumat (22/04/16). Foto : Themmy Doaly
Komunitas pesepeda juga ikut dlam berkarnaval untuk memperingati hari bumi, di Palembang, Sumsel pada Jumat (22/04/16). Foto : Themmy Doaly

Kemudian, tambah Hadi, di Kalimatan ada persoalan lobang-lobang pertambangan yang siap membunuh generasi harapan bangsa karena kelalaian pemerintah. Belum lagi, reklamasi pantai yang memiskinakan nelayan di pulau Sulawesi.

Di hari bumi, pihaknya mengajak masyarakat untuk melibatkan diri dalam upaya-upaya melawan perusakan lingkungan dan tidak lagi berdiam diri. Selain itu, pemerintah didesak untuk menghentikan perusakan lingkungan yang menggusur wilayah kelola rakyat.

“Kebijakan pemerintah belum banyak berubah, mereka hanya mengemas pembangunan yang berdampak pada lingkungan, seakan-akan  sudah lebih baik dari sebelumnya. Sudah cukup menyerahkan pengelolaan lingkungan pada investor, karena rakyat terbukti lebih sanggup.”

Hadi mengapresiasi rencana moratorium sawit dan tambang yang diwacanakan presiden Jokowi untuk menekan perusakan lingkungan di Indonesia. Dia beranggapan, moratorium tambang dan sawit adalah solusi yang tepat untuk mengurangi kerusakan, memulihkan lingkungan dan wilayah ekologi genting. Moratorium dinilai memberi nafas kepada hutan untuk memulihkan diri.

Hanya saja, menurutnya, kebijakan tersebut harus diikuti review perizinan dan penegakan hukum. “Percuma melakukan moratorium tapi, secara ilegal, praktik-praktik perusakan lingkungan terus terjadi. Penegakan hukum penting untuk meninjau kembali izin-izin yang sudah diberikan pemerintah,” kata Handi.

Hanya Simbolis

Senada dikatakan Puput TD Putra, Direktur Walhi Jakarta. Menurut dia, hari bumi adalah momentum untuk menjaga lingkungan hidup secara lebih baik lagi. “Bumi harus dijaga karena adalah seperti ibu pertiwi. Kerusakan di Jakarta, salah satunya karena masifnya pembangunan. Di Jakarta tidak ada penataan ruang.”

Selama ini, ujar Puput, pemerintah daerah sering kali menyampaikan program-program pembangunan yang ramah lingkungan. Namun, pada kenyataannya, isu penyelamatan bumi hanya  dikampanyekan secara simbolis tanpa melakukan pekerjaan secara riil.

“Reklamasi jelas menyakiti bumi karena adanya pengubahan bentang alam, yang terbentuk secara alami. Dan itu berpotensi melahirkan bencana ekologis, seperti banjir,” ucap Puput.

Ia berharap, kedepannya pemerintah lebih melihat aspek pembangunan dari perspektif lingkungan, bukan sekedar kepentingan para pengembang. “Apalagi, daya tampung di Jakarta yang sudah berlebih dan tidak memungkinkan adanya pembangunan,” tambah dia.

Theo Runtuwene, Direktur Walhi Sulawesi Utara menyatakan, di hari bumi ini berbagai pihak harus menyadari bahwa masih banyak ancaman-ancaman pembangunan yang berdampak berubahnya bentang alam.

Di Sulawesi Utara, ancaman itu diperkirakan bisa timbul lewat program pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bitung, pertambangan, reklamasi dan sawit. Menurut Theo, tanpa pengelolaan yang baik, maka masyarakat hanya akan menjadi korban pembangunan. Selain itu, pihaknya berharap, pemerintah daerah segera menghentikan aktifitas pertambangan di pulau Bangka dan tidak memasukkannya dalam rencana rencana zonasi pesisir dan pulau-pulau keci.

“Pertambangan pulau Bangka harus dihentikan. Semua pihak harusnya tunduk pada putusan Mahkamah Agung, termasuk juga rencana pemerintah daerah dalam hal zonasi pesisir dan pulau-pulau kecil,” pungkas Theo.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,