,

Buruh Tak Sejahtera, Praktik Gelap Dibalik Gemerlap Kebun Sawit

Kehadiran perkebunan kelapa sawit skala besar di Indonesia telah mendatangkan keuntungan besar bagi negara. Ketua GAPKI, Joko Supriyono, menyatakan bahwa pada tahun 2014 devisa negara yang dihasilkan dari sawit mencapai USD 21 miliar.

Pertumbuhan perkebunan sawit tidak terlepas dari kebijakan ekspor non migas awal tahun 1980-an, dimana pemerintah mendorong ekspor komoditas non migas khususnya sawit. Lewat percepatan pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat) secara simultan di 12 provinsi di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, pemerintah saat itu mendorong program Nucleus Estate Smallholder (NES) yang didukung oleh Bank Dunia dan disalurkan lewat BRI.

Luas perkebunan kepala sawit di Indonesia saat ini sudah mencapai 14,5 juta hektar dengan rata-rata produksi CPO sebesar 28 juta ton/tahun. Adapun sebesar 80 persennya di ekspor dan sisanya dialokasikan bagi pemenuhan kebutuhan dalam negeri.

Penyerapan tenaga kerja pada sektor perkebunan dan industri sawit menghasilkan angka yang signifikan dibandingkan dengan industri lainnya. Data KADIN menyebutkan perkebunan sawit telah menyerap 21 juta orang tenaga kerja baik langsung maupun tidak langsung. Namun dibalik kedigdayaan industri sawit, di belakang itu terdapat pokok persoalan akut terkait ketimpangan ekonomi, konflik tanah dan eksploitasi buruh.

Besarnya kekuasaan perkebunan, lemahnya pengawasan negara serta kebijakan ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada buruh semakin memposisikan buruh perkebunan tidak berdaya. Buruh pun menerima upah  kecil tanpa jaminan keamanan kerja (job security) dan berada dalam situasi kerja eksploitatif.

Penelitian investigatif yang dilakukan Sawit Watch tahun 2014-2015 di Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Sulawesi Barat, mengungkapkan terdapatnya praktek mirip kerja paksa di perkebunan sawit di Indonesia. Buruh mengalami perlakuan buruk, upah murah, target kerja tinggi, pemberlakuan denda, tekanan dan intimidasi karena mendirikan serikat, ketiadaan alat kerja, dan alat pelindung diri yang layak, minimnya fasilitas air bersih dan kesehatan, penggunaan buruh anak dan penempatan buruh di barak khusus dengan pengawasan ketat.

Buruh kebun sawit sedang menuangkan sawit. Foto: James/ Mongabay.com
Buruh kebun sawit sedang menuangkan sawit. Foto: James/ Mongabay.com

Informalisasi Hubungan Kerja dan Ancaman Pengurangan Upah

Hubungan perburuhan yang dilakukan di perkebunan sawit adalah bentuk informal, tanpa ada perjanjian kerja tertulis yang jelas. Buruh perkebunan yang awalnya banyak didatangkan dari Jawa pada awal 1970-an adalah tanpa status kontrak, berupah murah serta bermobilitas terbatas. Untuk pulang kembali ke tempat asal, para buruh pun tidak memiliki tabungan yang cukup.

Kini, pola rekrutmen buruh tanpa jaminan kepastian kerja dan berupah murah masih berlanjut. Perusahaan perkebunan mengambil keuntungan dengan cara meminimalisasi buruh tetap (karyawan) hanya untuk level manajemen, sementara  level buruh lapangan  lebih mengoptimalkan buruh tidak permanen. Beberapa perkebunan yang terindikasi menggunakan pola Buruh Harian Lepas (BHL) ini adalah PT LNK di Sumatera Utara, PT HMBP, PT SLM dan PT KSI di Kalimantan Tengah, PT HHM dan PT MM di Kalimantan Timur dan PT MA di Sulawesi Barat. Jumlah BHL adalah masif, biasanya bekerja untuk melakukan pemupukan dan penyemprotan dan mayoritas perempuan.

Upah buruh perkebunan mengacu pada sistem pengupahan buruh manufaktur (industri) yang kemudian dibagi besaran per hari disertai target kerja tertentu. Di perkebunan, pembagian ini dikenal dengan istilah upah hari kerja (HK). Jika buruh telah bekerja lebih dari 7 jam kerja/hari namun belum mencapai target, buruh dikenai sanksi pengurangan upah.

Pengupahan disertai ancaman denda ini kemudian membawa konsekuensi lain yakni pelibatan keluarga (terutama isteri) untuk ikut bekerja di ancak (tempat kerja) dengan harapan target kerja dapat terpenuhi (menghindari denda). Di beberapa perkebunan sawit skala besar di Kalimantan tengah, upah buruh yang tidak memenuhi target kerja berkurang sekitar Rp 20.000-25.000/hari.

Di Sumatera, upah buruh perkebunan ditentukan berdasarkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara SPSI dengan Badan Kerja Sama Perusahaan Perkebunan Sumatera (BKS-PPS). Perusahaan perkebunan yang bukan anggota BKS-PPS biasanya mengikuti ketentuan ini.

Berdasarkan PKB ini juga diatur ketentuan bahwa perusahaan memberi upah berupa uang dan natura. Upah natura ini diberikan dalam bentuk beras dengan ketentuan buruh memperoleh 15 kg, isteri 9 kg dan anak (maksimal 3 orang) masing-masing 7,5 kg setiap bulannya. Namun yang terjadi, upah yang diterima buruh perkebunan tidak jarang justru berada dibawah UMP.

Target kerja yang tinggi mengharuskan buruh, terutama pemanen membawa isteri ke ancak. Istri buruh tidak memiliki status kerja namun terpaksa ikut bekerja di perkebunan demi mencapai target kerja yang sangat sulit dicapai oleh satu orang buruh.  Istri seorang buruh bekerja tanpa mendapat balasan upah atas hasil kerjanya. Pelibatan isteri untuk ikut bekerja merupakan pemandangan umum yang dapat dilihat di perkebunan sawit di Indonesia.

Ambilah contoh di PT SLM Kalimantan Tengah misalnya, target kerja buruh pemanen mencapai 180 janjang (tandan buah segar/TBS sawit) dengan catatan 100 janjang merupakan target kerja suami, sementara sisanya merupakan target kerja isteri.

Penggunaan buruh tanpa perikatan kerja yang jelas ini, jelas memunculkan persoalan perlindungan tenaga kerja, tidak saja dalam hal perlindungan upah, tetapi juga jaminan kerja, kesehatan dan hak-hak dasar lainnya.

Buruh laki-laki sedang bekerja di perkebunan sawit di Riau. Foto: Rhett A. Butler
Buruh laki-laki sedang bekerja di perkebunan sawit di Riau. Foto: Rhett A. Butler

Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Diluar informalisasi hubungan kerja yang ada, perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja buruh perkebunan sawit juga sangat minim. Kecelakaan kerja yang sering menimpa buruh lelaki adalah tertimpa janjang dan tersayat egrek (alat penoreh). Untuk buruh perempuan, yang umum terjadi adalah terkena paparan zat kimia semacam gramoxone, round-up dan terhirup racun pestisida, fungisida dan insektisida. Kecelakaan kerja tersebut berdampak pada resiko cacat anggota tubuh permanen seperti kebutaan, kulit melepuh, sesak nafas, bekas luka tersayat bahkan kematian.

Riset yang dilakukan Sawit Watch pada tahun 2015 di dua perkebunan sawit di Kalimantan Tengah, menemukan 3 kasus yang menimpa buruh perempuan penyemprot yang terkena percikan gramoxone, saat zat kimia itu dituang ke kap atau alat semprot pestisida. Mereka mengaku zat kimia tersebut terpercik mengenai mata saat gramoxone dari kap di punggungnya lepas saat buruh jatuh terpeleset saat sedang berjalan di parit.

Dalam kasus seorang buruh berinisial I, perusahaan hanya menyanggupi menanggung pengobatan korban di RS dr Murjani Sampit. Alternatif berobat di RS di Surabaya disanggupi perusahaan tapi dengan syarat buruh itu sendiri yang harus menanggung ongkos transportasi ke sana. Opsi ini ditolak oleh buruh. Perusahan pun menyarankan korban untuk pensiun dini dengan sejumlah uang kompensasi yang pada akhirnya digunakan untuk biaya berobat.

Dalam kasus yang lain, tarik ulur masalah biaya pengobatan buruh yang mengalami kecelakaan pada saat bekerja terus kerap terjadi.  Tidak ada standard baku untuk pemeriksaan kesehatan dan prosedur klaim biaya yang dapat dipergunakan pada saat terjadi kecelakaan kerja yang menimpa buruh.

Isu buruh perkebunan sawit sepertinya belum menjadi hal serius dalam pemantauan rantai pasok industri sawit. Para pihak masih melihat rantai pasok industri sawit selama ini lebih pada dampak isu lingkungan, sementara hal-hal yang berkaitan dengan kemiskinan dan ketidakadilan yang dialami buruh perkebunan cenderung terlupakan.

Tentu saja, pemerintah Indonesia perlu turun dan menata sistem perburuhan yang menempatkan buruh sebagai subjek yang hidup layak. Pemerintah selaku regulator perlu menyusun prinsip kerja layak, sistem monitoring dan evaluasinya yang melibatkan serikat buruh, NGO dan perkebunan sawit sendiri. Disisi lain, konsumen dan negara pengimpor sawit harus memastikan penolakan terhadap praktik sawit yang diproduksi oleh buruh dalam hubungan kerja eksploitatif.

* Hotler Parsaoran, penulis bekerja di Sawit Watch, sebuah lembaga pemantau perkebunan dan industri sawit. Tulisan ini merupakan opini penulis.

Artikel yang diterbitkan oleh