,

Mongabay Travel: Ekak Nalu Wo, Inilah Ritual Panen Padi Suku Soge

Di berbagai belahan bumi Nusantara ini, banyak dikenal ritual tradisional yang dilakukan oleh suku-suku asli untuk mensyukuri berkat yang Maha Kuasa atas berhasilnya panen padi mereka. Salah satunya di kelompok suku Soge, di Sikka, Flores. Ritual yang disebut Ekak Nalu Wo, merupakan ritual wajib yang harus dilakukan setelah padi siap untuk dipanen. Inilah bagian dari kekayaan budaya Nusantara.

Akhir April 2016 yang lalu, Mongabay tiba di lokasi kebun tempat akan digelarnya ritual adat di kampung Wairbou desa Nebe, Kecamatan Talibura yang terletak di Kabupaten Sikka. Tampak di depan mata hamparan padi yang mulai menguning. Bagian utara area persawahan berbatasan dengan tanaman singkong yang tampak subur dengan tinggi batang hampir sekitar 3 meter.

Ritual Ekak Nalu Wo kerap dilakukan pada kebun adat suku Soge di wilayah Tana Ai (sebutan bagi etnis yang mendiami wilayah timur Maumere). Ritual adat yang dilakukan harus dilakukan di lokasi kebun adat untuk meminta restu para penjaga kampung dan para leluhur.

Ekak Nalu Wo sendiri merupakan ritual adat ke empat dimana sebelumnya sudah digelar ritual adat Pahe Uma Weru, Segang dan Ekak Watar. Setelah ini ada ritual Pati Ea yakni ritual puncak saat semua anak suku berkumpul untuk menginjak padi.

“Kami harus buat ritual dulu supaya padi yang di kebun adat kecil bisa dipanen dan dimakan,“ jelas Maria Dua Lodan (26) salah satu warga kampung menjelaskan tentang adat di sukunya.

Hujan Deras Setelah Ritual

Tak lama berselang, menjelang siang hari tibalah di pondok, Wilhemus Wolor (69) tetua adat Soge. Setelah disuguhkan segelas kopi seraya menghisap lintingan rokok dari tembakau asli, Wolor pun bersiap memulai ritual adat. Delapan butir telur ayam diletakkan di dalam korak (tempurung kelapa), ditambah dengan sedikit sirih pinang, pelang (beras tumbuk) yang juga diletakkan di dalam korak.

Ritual pun dilakukan, pelang dan sebuah telur ayam diletakan ke dalam Teli Wua (anyaman dari daun Lontar berbentuk segi empat) yang kerap dipakai meletakan sirih pinang. Pelang lalu ditaruh di atas batu ceper dan isi telur ayam yang sudah dipecahkan dituang juga diatasnya.

Ritual pun lalu diulanginya ke sudut-sudut kebun. Wolor berjalan ke sisi timur kebun yang kerap dilewati. Mulutnya komat-kamit. Dia pun meletakkan potongan sesembahan di pinggir jalan tersebut.

“Ini untuk memberi makan para arwah orang yang sudah meninggal teristimewa pemilik kebun ini. Mereka juga harus makan terlebih dahulu,“ jelas Wolor.

Usai ritual tersebut, semua orang berkumpul dan makan bersama. Beras dari kebun adat kecil yang sudah dipanen dimasak dan dihidangkan kepada semua yang hadir. Tak lupa sebelum makan dibuat piong (memberi makan arwah sanak saudara orang yang sudah meninggal ) dengan meletakan sedikit nasi dan lauk serta menuangkan moke (arak) ke atasnya.

Selepas semua orang makan bersama, hujan pun turun lebat dan berlangsung hingga tiga jam. Sepengingat Mongabay yang pernah mengikuti ritual adat seperti ini sebanyak empat kali, hujan selalu menyambut setelah ritual dilakukan. Menurut Dua Lodan, sang pemilik kebun, hal ini merupakan pertanda baik dimana para leluhur dan penjaga kampung merestui ritual yang dilakukan.

Persembahan yang diletakan di dua batu ceper depan Ai Pua untuk memberi makan arwah penjaga kampung ( Guna Dewa ) dan para leluhur saat ritual adat Ekak Nalu Wo.
Persembahan yang diletakan di dua batu ceper berguna untuk menghormati para leluhur saat ritual adat Ekak Nalu Wo. Foto: Ebed de Rosary

Menjaga Hubungan dengan Alam

Dalam budaya orang Tana Ai, orang yang masih hidup dan yang telah mati tidaklah hidup terpisah, hanya berbeda tempat tinggal. Untuk itu tidaklah aneh jika dalam setiap ritual adat maka terdapat penghargaan bagi para leluhur yang telah meninggal. Bentuk penghargaan tersebut adalah menyilakan mereka untuk makan terlebih dahulu dalam bentuk sesajian.

“Ini bermakna untuk menjaga agar hubungan antara kita yang masih hidup dengan para leluhur masih dekat, karena para leluhur ada dahulu barulah kita ada,“ ungkap Petrus Baga Tukan, pensiunan guru yang juga penulis buku adat dan budaya Tana Ai.

Demikian pula pada saat membuka kebun baru. Pembukaan kebun tidak boleh dilakukan sembarangan. Orang Tana Ai percaya bahwa para leluhur akan menunjukkan jalan, kapan kebun itu boleh dibuka. Tidak boleh sembarangan.

Dalam membuka kebun baru, orang Tana Ai tidak bisa langsung membersihkan semua area kebunnya, tetapi hanya memotong beberapa rumput dan pohon di beberapa bagian saja lalu pulang. Menurutnya, petunjuk akan datang lewat mimpi. Baru setelah muncul pertanda, waktu untuk membuka kebun baru dapat dilaksanakan.

Menurut Baga, konsep religius orang Tana Ai mempercayai kepada kuasa Lera Wulan Tana Ekan, penguasa bumi dan langit yang menjaga alam dan memberi kehidupan kepada mereka.

“Orang Tana Ai percaya bahwa Lera Wulan Tana Ekan selalu melindungi dan menyertai mereka sehingga harus diberikan penghargaan atau diberi makan saat ritual adat,“ pungkasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
,