,

Bocah 5 Tahun yang Terjatuh di Gundukan Batubara Menyala Itu Meninggal Dunia…

Muhammad Arham, bocah 5 tahun, yang terjatuh di gundukan batubara menyala itu, meninggal dunia. Setelah menjalani 27 hari perawatan di RSUD IA Moeis Samarinda, Kalimantan Timur, Jum’at (06/05/2016) pukul 06.00 Wita, putra dari pasangan Jamaludin (39) dan Masulah (40) ini menghembuskan nafas terakhir.

“Kami mendapat kabar dari orangtuanya bahwa Arham meninggal,” ujar Merah Johansyah, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur.

Merah bersama aktivis Jatam yang menghadiri pemakaman Arham menyebut, selama dirawat hingga meninggal dan dimakamkan, pihak pemerintah baik Gubernur Kalimantam Timur Awang Faroek Ishak dan Wali Kota Samarinda Sjahrie Jaang tak sekalipun menjengguk Arham.

Sisa batubara yang ada di tempat terjatuhnya M.Arham. Foto: Jatam Kaltim
Sisa batubara yang ada di tempat terjatuhnya M.Arham. Foto: Jatam Kaltim

Kejadian pilu ini berawal Sabtu (09/04/2016), saat Arham mengikuti pamannya, Asril, mencari kaus tangan bekas di sekitar lokasi bekas tambang batubara yang dibiarkan begitu saja. Kaus tangan tersebut hendak dipakai Asril yang bekerja sama orangtua Arham membuat batako. Saat itulah, Arham terjatuh ke tumpukan sisa batubara yang terbakar dengan kondisi luka serius.

“Arham mengalami luka bakar 70%. Saking parahnya, pada beberapa bagian tubuhnya terlihat tulangnya. Agar luka pulih dan infeksi tidak menjalar, dokter menyatakan Arham harus diamputasi,” ujar Merah menyampaikan keterangan sebagaimana yang dipaparkan Jamaludin.

Terhitung 22 hari sejak dirawat, Arham telah menjalani 6 kali operasi, termasuk amputasi lengan kiri, kelingking kanan, dan tiga jari kaki kanan. “Biaya rawat inap dan obat Arham ditanggung Jamkesda, namun biaya operasi tetap dibebankan ke keluarga,” lanjut Merah.

Tempat pembuatan batako yang tidak jauh dari lokasi terjatuhnya Arham. Foto: Jatam Kaltim
Tempat pembuatan batako yang tidak jauh dari lokasi terjatuhnya Arham. Foto: Jatam Kaltim

Kejahatan HAM dan Pelanggaran Hak Asasi Anak

Berdasarkan penelusuran Jatam Kaltim, lokasi tempat Arham jatuh dan terbakar tumpukan batubara merupakan milik PT. IBP (Insani Bara Perkasa). Pemegang izin perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) yang dikeluarkan pemerintah pusat bernomor izin usaha pertambangan (IUP) SK 341.K/30.00/2008.

“Perusahaan ini belum melakukan pemulihan lingkungan atas area yang sudah ditambang. Namun membiarkan adanya pembangunan perumahan bersubsidi di lingkungan pasca-tambangnya,” ujar Merah.

Menurut pantauan Jatam, sekitar 800 meter dari lokasi kejadian telah dibangun perumahan sejak 2015 yang kini berjumlah 200 unit. Fakta ini yang dipertanyakan Jatam terkait prosedur hukum pengalihan lahan antara perusahaan tambang dengan perusahaan pengembang perumahan. “Kawasan pertambangan seharusnya direhabilitasi, direklamasi, dan dilakukan revegetasi sebelum dialihfungsikan untuk kepentingan lain terutama perumahan.”

Berdasarkan kejadian tersebut, Jatam menduga ada pelanggaran yang dilakukan perusahaan terkait prosedur dan pelaksanaan pasca-tambang beserta unsur kelalaian. “Kasus ini dibiarkan berlalu, sama sekali tidak ada perhatian dari pemerintah provinsi maupun kota. Demikian juga aspek penegakan hukum, karena tidak ada penyidikan dan penyelidikan aparat hukum dan pihak terkait seperti Distamben dan BLH. Ketidakhadiran para pihak berwenang pada kasus ini patut disebut kejahatan HAM sesuai UU No.39 Tahun 1999 dan pelanggaran Hak Asasi Anak sebagaimana termaktub dalam UU No.35 Tahun 2014,” kata Merah.

Gambaran lokasi kejadian. Sumber: Jatam Kaltim
Gambaran lokasi kejadian. Sumber: Jatam Kaltim

Sorotan atas dampak operasi tambang batubara terhadap anak-anak sebelumnya sudah disampaikan Komisioner KPAI Bidang Sosial Maria Ulfa Anshor dihadapan anggota Komisi IV DPRD Kaltim, Rabu (13/04/2016). Maria Ulfa menjelaskan, kedatangannya ke Kalimantan Timur secara khusus dikaitkan dengan kejadian anak-anak yang menjadi korban di lubang bekas ekploitasi tambang batubara. “Data terakhir yang terlaporkan ada 22 anak di Samarinda, Kutai Kartanegara, Penajam Paser Utara, dan Bontang.”

Dari semua kasus, sedikit sekali yang diproses. Aparat hukum kerap menganggap kasus ini sebagai delik aduan. Padalahal, kalau ditelisik lebih jauh bisa ditemukan unsur kelalaian atau pembiaran. “DPRD mempunyai fungsi pengawasan dan dengan otoritasnya bisa mendorong perbaikan pertambangan,” kata Maria Ulfa.

Tekanan dan dorongan serupa sudah disampaikan oleh Jatam Kaltim dan organisasi masyarakat sipil lainnya. Namun, semua itu belum mampu menghentikan jatuhnya korban yang terus bertambah. “Apabila Kementerian ESDM dan Gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat tidak segera bertindak, kami akan melaporkan langsung ke Presiden Jokowi. Gubernur harus segera menghentikan aktivitas operasi pertambangan PT.IBP serta aktivitas pihak lain yang berada dalam area konsesinya,” pungkas Merah.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,