,

Ingat! Orangutan Itu Bukan Satwa Peliharaan

Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Barat terus berupaya meningkatkan kesadaran warga terhadap Undang-undang Konservasi dan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pendekatan personal merupakan cara paling efektif dalam upaya penyadartahuan tersebut.

“Tidak mudah memang, tapi kita tidak boleh berhenti. Polisi Kehutanan yang tadinya mereka takuti, kini jadi sahabat sehingga terjalin komunikasi yang baik,” ujar Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, Sustyo Iriyono, pertengahan pekan ini.

Keberhasilan pendekatan tersebut, kata Sustyo, terbukti dengan upaya evakuasi satu individu orangutan peliharaan warga 30 April lalu. “Managemen PT. Suka Jaya Makmur, menyerahkan satu individu orangutan dari Camp Tanjung Asam, Desa Kayong Hulu, Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang.”

Orangutan jantan itu bernama, Ujang Lambai, usia sekitar enam bulan. Atisno, si pemelihara mengaku, Ujang Lambai diperolehnya dari Dusun Tanjung Lambai, Desa Menyumbung Kecamatan Hulu Sungai, Kabupaten Ketapang. “Selanjutnya, orangutan tersebut akan dititipkan-rawatkan di Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) Ketapang guna mendapatkan perawatan awal dan rehabilitasi,” kata Sustyo.

Sepekan sebelum evakuasi Ujang Lambai, BKSDA Sintang bersama Dinas Kehutanan Sanggau berhasil mengevakuasi satu individu orangutan peliharaan warga juga. Nakuta, nama orangutan betina 5 tahun itu yang berasal dari Kabupaten Ketapang. Suryadi, sang pemilik yang merupakan warga Desa Pandang Sebuat, Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Kabupaten Sanggau, sukarela menyerahkan orangutan tersebut kepada petugas BKSDA Sintang. Selanjutnya, orangutan ini dirawat di Yayasan Kobus atau Sintang Orangutan Center.

Kehidupan orangutan di Kalimantan yang tidak hanya terancam karena habitatnya yang tergerus tetapi juga diburu untuk dijadikan satwa peliharaan. Foto: Rhett A. Butler

Risiko peliharaan

Mempunyai susunan DNA yang hampir sama manusia, menyebabkan orangutan dapat terjangkit penyakit yang tidak jauh seperti manusia. Interaksi antara orangutan dan manusia yang sering, menyebabkan keduanya bisa saling menulari. “Untuk itu, interaksi dengan manusia harus dihindari,” ujar drh. Adi Irawan, dari YIARI. Saat Mongabay Indonesia berkunjung ke shelter YIARI di Kecamatan Sungai Awan, Kabupaten Ketapang, Adi menyatakan, tidak sembarangan orang bisa masuk ke pusat rehabilitasi tersebut.

“Tempat ini bukan kebun binatang. Jika  ingin melihat lebih dekat orangutan, kami memerlukan pemeriksaan darah lengkap dari pengunjung untuk memastikan tidak akan menularkan penyakit,” katanya. Jarangnya interaksi dengan manusia, merupakan hal yang ideal karena individu orangutan diharap bisa menjadi liar sebagaimana di habitat aslinya.

Sebut saja penyakit menular tuberkulosis, hepatitis, typhoid, bakteri, virus, maupun infeksi saluran pernafasan, dapat menular dan ditularkan orangutan. Maka, pemeliharaan orangutan sangat tidak dianjurkan, terlebih melanggar undang-undang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Bahkan untuk orangutan yang baru masuk ke pusat rehabilitasi, harus dilakukan serangkaian pemeriksaan menyeluruh. “Orangutan yang baru masuk dipastikan tidak mengalami cacingan, kurang gizi, dehidrasi, serta penyakit lainnya seperti hepatitis, atau TBC,” kata Adi. Saat berada di dekat kandang orangutan saja, pengunjung harus menggunakan masker. Pasalnya, balantidium coli yakni sejenis protozoa mematikan pada orangutan bisa menular pada manusia melalui kotoran.

Ujang Lambai, orangutan usia sekitar 6 bulan yang diserahkan kepada petukas BKSDA Ketapang. Foto: Aseanty Pahlevi
Ujang Lambai, orangutan usia sekitar 6 bulan yang diserahkan kepada petukas BKSDA Ketapang. Foto: Aseanty Pahlevi

Selain risiko penularan penyakit, ada pula sanksi hukuman untuk pemelihara satwa dilindungi. Orangutan termasuk satwa dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pada pasal 21 ayat 2 disebutkan, dilarang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan atau memperjual belikan binatang/hewan yang dilindungi atau bagian-bagian lainnya dalam keadaan hidup atau mati.

Pasal 40 ayat 2 juga disebutkan barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100 juta.

Sustyo kembali menuturkan, orangutan merupakan umbrella species atau spesies payung yang menjadi keberhasilan upaya konservasi spesies lain di hutan hujan tropis. Melindungi spesies ini secara tidak langsung melindungi spesies lain yang membentuk satu kesatuan ekologi.

Memelihara orangutan, kata Sustyo, berarti mempercepat proses perubahan iklim. “Orangutan memiliki fungsi ekologi sebagai penyebar biji tanaman buah di hutan. Kelestarian orangutan harus dijaga demi keberlangsungan hutan itu sendiri,” paparnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,