Demam Harta di Lahan Gambut: Dicari, Diambil hingga Dijual (Bagian-2)

Pada 2015 lalu api menghanguskan ribuan hektar lahan konsensi hutan tanaman industri (HTI) PT Bumi Mekar Hijau (BMH) di wilayah Desa Ulak Kedondong, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Dari gambut yang terbuka tersingkap termuan arkeologis era Sriwijaya. Diperkirakan pada lahan gambut terbakar tersebut dulunya pemukiman kuno masyarakat Sriwijaya. Artefak-artefak kuno pun bermunculan dari lahan gambut yang terbakar.

Artikel ini merupakan tulisan kedua, dari tiga seri tulisan. Tulisan pertama dapat dibaca pada tautan ini.

Berdasarkan inskripsi Prasasti Talang Tuwo, kebun masyarakat pada masa era Sriwijaya banyak ditanami dengan jenis-jenis tanaman produktif, semisal kelapa, pinang, bambu, aren, dan sagu. Saat Mongabay melakukan kunjungan ke Desa Ulak Kedondong, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan (Sumsel) setidak-tidaknya hal ini masih terlihat.

Sebelum masuk ke lahan gambut, kita akan menemukan tanaman yang hampir semuanya dapat dimanfaatkan, semisal kelapa, pinang, bambu, nangka, rambutan, manggis, dan lainnya. Jenis-jenis tanaman ini merupakan tanaman produktif, yang dapat dimanfaatkan bagiannya seperi buah, daun, dan kayunya.

“Kami tetap mempertahankan model kebun seperti ini, sebab tanaman tersebut diturunkan para leluhur kami,” jelas Rasit, warga Dusun Pasir, Desa Ulak Kedondong, Rabu (11/05/2016). Namun, menurutnya beberapa tanaman sudah hilang atau tidak banyak lagi ditanam, sebab dalam perkembangannya tidak banyak dimanfaatkan warga. Misalnya sagu dan aren.

Sebelum dijadikan konsesi HTI, imbuh Rasit, di lokasi desanya dapat ditemukan antara lain perpat, medang, jelutung, simpur, putat, bungur, dan lainnya.

Sisa sisa tiang rumah panggung dari kayu nibung dari situs Sriwijaya di lahan gambut yang diteliti Balar Sumsel.Foto Balar Sumsel
Sisa-sisa tiang rumah panggung dari kayu nibung dari situs Sriwijaya di lahan gambut yang diteliti Balar Sumsel. Foto Balar Sumsel

Bagaimana dengan lahan gambutnya? “Ya itu hanya tempat mencari ikan. Kalau musim kemarau pada gambut dangkal kami jadikan sawah sonor. Dan selama itu tidak pernah terbakar. Tapi setelah dijadikan konsesi, kalau ada api cepat sekali lahannya terbakar,” sambung Rasit sembari menunjuk kanal di depan pondoknya yang dibuat PT BMH.

Pada musim kemarau 2015, lahan gambut ini kering, dan sebagian tanamannya terbakar. Menurut Rasit, kanalisasi pada lahan gambut di dusunnya membuat Sungai Lampipi muka airnya menurun. Dampaknya, lahan gambut tempat warga bertanam padi saat musim kemarau berkurang airnya.

Tidak hanya di Ulak Kedondong, kondisi alam lahan gambut yang berubah menjadi kanal terjadi di lokasi-lokasi lain penenelitian situs permukiman Sriwaja di Kabupaten OKI. Hal sama terjadi di Kecamatan Air Sugihan yang ditemukan 58 situs. Situs ini tersebar di Kertamukti (18), Desa Nusantara (5), Desa Banyubiru (24), Desa Riding (6), Desa Bukit Batu (3). Penemuan situs pemukiman Sriwijaya lainnya juga ditemukan di Kabupaten Banyuasin dan Musi Banyuasin (Muba).

Tumbukan kayu kuno yang ditemukan di situs pemukiman Sriwijaya. Diletakan seorang warga penemunya di bawah rumah panggungnya. Foto Taufik Wijaya
Tumbukan kayu kuno yang ditemukan di situs pemukiman Sriwijaya. Diletakan seorang warga penemunya di bawah rumah panggungnya. Foto Taufik Wijaya

Demam “Harta Karun”

Penemuan artefak zaman Sriwijaya baru mulai terungkap sejak adanya kebakaran lahan pada pertengahan November 2015. Sejak saat itu, masyarakat mulai mengalami “demam artefak”, mereka lalu melakukan penggalian dan pengambilan benda-benda purbakala.

“Banyak benda yang ditemukan. Dari perhiasan, guci, patung, hingga benda-benda alat rumah tangga. Yang paling banyak penemuan di Kanal 12,” tutur Rasit. Tempat-tempat lainnya ada di Bukit Tengkorak dan Sungai Serdang. Semua berada di lahan konsesi PT BMH yang terbakar.

Kabar penemuan benda purbakala tersebar di Cengal dan Tulungselapan. Karena banyak pula ditemukan benda dengan bahan emas, masyarakat pun menyebutnya sebagai “harta karun”. Ratusan warga dari berbagai desa di Kecamatan Cengal, Kayuagung, Tulungselapan, hingga Palembang yang turut berburu harta karun.

“Saat malam tahun baru 2016 sekitar 400 orang memburu harta karun di Kanal 12. Mereka mencari, menggali, mengayak tanah, hingga menggunakan ritual tertentu,” kata Sengguk Umang, warga Desa Cengal, Kecamatan Cengal, Kabupaten OKI. Sengguk menjelaskan jika hampir semua benda sejarah yang ditemukan warga langsung dijual. “Terutama benda yang terbuat dari emas atau batu-batu mulia. Pembelinya dari warga di sini atau dari Palembang,” katanya.

Perburuan harta karun di lokasi terbakar PT BMH tersebut berakhir sekitar bulan Februari 2016, saat musim penghujan menggenangi sebagian besar lahan yang terbakar tersebut.

Sayangnya, aksi perburuan warga yang terlambat diinformasikan kepada Balai Arkeologi (Balar) Sumatera Selatan menyebabkan sejumlah artefak menjadi rusak atau tidak diketahui keberadaannya.

“Banyak tiang rumah yang sudah terbakar atau dicabut masyarakat. Bahkan ada yang menghancurkannya karena mengira ada benda berharga yang tersimpan di dalam tiang rumah yang sebagian besar dari pohon nibung. Untuk warga yang menemukan patung atau prasasti, kami berharap diberikan atau ditunjukkan kepada kami oleh warga yang menemukannya,” jelas Nurhadi, peneliti senior dari Balar.

Bambang Budi Utomo, arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, kepada Mongabay (13/05/2016) mengatakan penemuan berbagai artefak di Desa Ulak Kedondong merupakan penemuan yang sangat penting terkait dengan sejarah bangsa Indonesia, termasuk pula suku bangsa di Asia Tenggara.

“Banyak bukti situs pemukiman Sriwijaya di wilayah gambut di Sumatera Selatan yang sudah ditemukan. Itu bukti sejarah penting bagi bangsa Indonesia. Itu menjelaskan bahwa pada masa lalu ada masyarakat yang hidup di lahan gambut, yang menjadi bagian penting dalam membentuk bangsa ini, juga bangsa-bangsa di Asia Tenggara,” katanya.

Pecahan keramik dari masa Dinasti Tang situs pemukiman Sriwijaya di Kanal 8. Foto Taufik Wijaya
Pecahan keramik dari masa Dinasti Tang di Kanal 8. Foto Taufik Wijaya

Oleh karena itu, dia berharap lokasi penemuan situs pemukiman Sriwijaya itu harus dijadikan cagar budaya. “Saya setuju jika kawasan itu masuk dalam skema restorasi gambut sebagai upaya perlindungan cagar budaya.” Menurutnya, pemerintah pun harus mencegah kerusakan lebih lanjut situs, akibat penggalian liar oleh masyarakat di lokasi situs.

Ketika ditanya bagaimana pendapatnya jika lokasi tinggalan direstorasi pemerintah, Rasit pun menyebutkan dukungannya.

“Saya dan warga di desa ini pasti senang. Sebab kami kembali dapat memanfaatkan gambut, seperti mencari ikan. Yang lebih penting Sungai Lempipi kembali seperti dulu, tidak seperti sekarang ini yang airnya mulai susut,” kata Rasit.

“Juga jika restorasi itu untuk melindungi cagar budaya Sriwijaya, jelas bae kami tambah senang. Daerah kami pasti akan dikenal banyak orang,” tutupnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,