,

Zoo Recapp, Aplikasi Pantau Kondisi Kebun Binatang yang Libatkan Masyarakat

Kematian gajah bernama Yani di Kebun Binatang Bandung (11/5/2016), menjadi keprihatinan masyarakat yang peduli terhadap pengelolaan satwa di wilayah ex situ. Pemeliharaan satwa di lembaga konservasi seperti kebun binatang, dinilai masih jauh dari kesejahteraan satwa.

Perkumpulan Peduli Satwa atau Indonesian Society for Animal Welfare (ISAW), mengajak masyarakat luas terlibat dalam upaya perbaikan kebun binatang. Caranya? Baru-baru ini ISAW meluncurkan aplikasi Zoo Reporting for Citizens Application (Zoo Recapp), yang merupakan aplikasi pematauan dan penilaian kondisi satwa di kebun binatang.

Kinanti Kusumawardani, Executive Director ISAW menuturkan, masyarakat perlu dilibatkan untuk membantu terciptanya perbaikan kondisi pada suatu lembaga konservasi. “Kami buat dengan metode ZEQAP (Zoo Exhibit Quick Audit Process).”

Dalam aplikasi ini, pelapor diberikan pertanyaan-pertanyaan yang mudah dijawab, sehingga tidak perlu penilaian ilmiah dengan tes laboratorium. Laporan itu selanjutnya didata dan direkap, untuk dilihat satwa apa saja yang masuk dan kebun binatang mana saja yang harus dipantau.

Data itu akan diteruskan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam hal ini Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE). “Dari situ bisa dilihat apa saja ketidaklayakannya, apakah kondisi fisik  satwa, kandang atau makanan,” imbuhnya pertengahan pekan ini.

Ketua PROFAUNA Indonesia, Rosek Nursahid mengatakan, aplikasi yang melibatkan masyarakat ini merupakan langkah baik untuk transparansi pengelolaan kebun biantang. Sistem pelaporan yang mudah diakses dengan aplikasi gadget, diharapkan dapat dilakukun masyarakat yang di daerahnya memiliki lembaga konservasi semacam kebun binatang. “Tidak hanya di Bandung setelah ada kematian satwa, tapi juga di tempat lain di seluruh Indonesia.”

Aplikasi Zoo Recapp. Sumber: Google Play Store
Aplikasi Zoo Recapp. Sumber: Google Play Store

Tanpa dokter hewan

Regulasi pemeliharaan satwa di lembaga konservasi telah diatur secara rinci dalam Permenhut No. 31 Tahun 2012 tentang Lembaga Konservasi, serta Peraturan Dirjen PHKA No. 9 Tahun 2011 tentang Pedoman Etika dan Kesejahteraan Satwa di Lembaga Konservasi.

Dalam Permenhut No. 31/2012 pasal 9 disebutkan bahwa ketersediaan dokter hewan dan paramedis sebagai tenaga kerja permanen merupakan salah satu kriteria yang mutlak dimiliki oleh kebun binatang. Di pasal 29 juga disebutkan bahwa lembaga konservasi dilarang memperagakan satwa sakit atau menelantarkan satwa, dengan cara yang tidak sesuai dengan etika dan prinsip-prinsip kesejahteraan satwa.

Aplikasi Zoo Recapp yang mengajak masyarakat untuk melihat kondisi kebun binatang. Sumber: Google Play Store
Aplikasi Zoo Recapp yang mengajak masyarakat untuk memantau kondisi kebun binatang. Sumber: Google Play Store

Tidak adanya dokter hewan sejak setahun terakhir di Kebun Binatang Bandung, nyatanya tidak diketahui oleh Perhimpunan Kebun Binatang Se-Indonesia (PKBSI). Sekretaris Jenderal (Sekjen) PKBSI, Tony Sumampau mengatakan, laporan yang dibuat Kebun Binatang Bandung tiga bulan sekali tidak mencantumkan perihal tidak adanya dokter hewan.

“Setiap tiga bulan mereka buat laporan ke Dirjen PHKA (sekarang KSDAE) tembusan ke PKBSI. Laporan menyebutkan populasi satwa, kalau berkurang kenapa, kalau mati apa sebabnya. Kondisi secara umum dilaporkan, tidak secara individual. Soal tidak ada dokter tidak dilaporkan.”

Tony menilai, secara umum kondisi Kebun Binatang Bandung cukup baik, karena mendapat Akreditasi B. Namun, perlu perbaikan dalam hal pengelolaan dan manajemen.“PKBSI sudah kirim tim dokter untuk bantu pengelolaan satwa, dan sekarang sudah normal,” singkatnya.

Jumlah kebun binatang di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 67 dan terdaftar di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dari jumlah itu baru 53 yang terdaftar di PKBSI, dan hanya 30 yang sudah terakreditasi.

“Upaya perbaikan kebun binatang yang dinilai buruk oleh masyarakat juga dilakukan oleh pemerintah bersama PKBSI, salah satunya dengan membuat pilot project kebun binatang di Solo dan Bukittinggi,” ujarnya.

Kandang pelikan di Kebun Binatang Surabaya, kelebihan populasi  masih jadi persoalan yang harus diselesaikan PDTS KBS. Foto: Petrus Riski
Kandang pelikan di Kebun Binatang Surabaya, kelebihan populasi masih jadi persoalan yang harus diselesaikan PDTS KBS. Foto: Petrus Riski

Tata kelola

Kasus kematian satwa di Kebun Binatang Bandung bukan satu-satunya yang terjadi di Indonesia. Kejadian ini juga dialami Kebun Binatang Surabaya.

Manajemen pengelolaan yang kurang baik, terlebih bila disertai konflik antar pengurus, sering menjadi penyebab tidak terurusnya satwa. Selain itu, persoalan over populasi dan satwa single, menjadi masalah serius yang harus diselesaikan. Hal ini diakui Plt. Direktur Utama Perusahaan Daerah Taman Satwa Kebun Binatang Surabaya (PDTS KBS), Aschta Boestani Tajudin.

Menurut Aschta, luas Kebun Binatang Surabaya yang 15 hektar, dirasa tidak cukup menampung 2.200 populasi dari 182 jenis satwa yang ada. Menurutnya, penjarangan satwa dengan cara pertukaran atau pelepasliaran adalah cara yang tepat untuk lebih memperhatikan kesejahteraan satwa yang ada di ex situ.

“Bagaiman mungkin komodo yang jumlahnya 78 ekor ditampung semua di lahan KBS, belum lagi pelikan sekitar 100 ekor yang hidup di kandang seadanya. Kita ingin 30 tahun kedepan, hanya ada 300 jenis satwa dengan jumlah 1.000 hingga 1.500 populasi. Untuk mengeluarkan satwa tentu itu otoritas Kementerian LHK yang didasarkan pada penilaian LIPI.”

Aschta menegaskan, pencatatan atau pendataan satwa menjadi program ke depan yang akan dilakukan. “Tujuannya tidak lain hanya untuk kebaikan dan kesejahteraan hidup satwa itu sendiri,” paparnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,