,

Cinta Mati Rajali untuk Gunung Leuser

Urusan Gunung Leuser, tanyakan saja pada Rajali Jemali. Ia paham betul, setiap lekuk gunung tersebut. Sejak 1981, Mr. Jali, biasa disapa memang sudah malang melintang di gunung yang puncaknya mencapai 3.404 meter di atas permukaan laut (m dpl).

Mr. Jali yang lahir Juli 1966, memang tidak muda lagi. Tapi, untuk persoalan mendaki, nama lelaki yang tinggal di Kedah, Kecamatan Blang Jerango, Kabupaten Gayo Lues, Aceh, wilayah yang menjadi salah satu pintu pendakian Leuser ini, sungguh tiada tanding.

Tahun 1980, Mr. Jali yang saaat itu berumur belasan tahun, masih menjalankan rutinitas sebagaimana masyarakat biasa, berkebun di kaki Gunung Leuser, dan sesekali berburu berbagai jenis satwa.

Kehidupannya berubah sejak 15 Juli 1981, ketika untuk pertama kalinya ayah enam putra ini diminta menjadi pemandu warga Malaysia yang melakukan penelitian berbagai jenis burung di Taman Nasional Gunung Leuser. Taman nasional yang ditetapkan Menteri Pertanian Nomor: 811/Kpts/Um/II/1980 tanggal 6 Maret 1980 tentang peresmian lima Taman Nasional di Indonesia, yaitu; TN Gunung Leuser, TN Ujung Kulon, TN Gede Pangrango, TN. Baluran, dan TN. Komodo.

Berbekal peralatan seadanya, Mr. Jali yang tidak bisa baca tulis itu, berhasil mendampingi peneliti tersebut. Meskipun, ia hanya membangun tenda plastik hitam yang dipakai untuk berteduh saat hujan dan pakaian seadanya guna melawan hawa dingin. “Saya mendampingi tiga hari. Peneliti tersebut mengaku senang setelah saya temani mengelilingi hutan Leuser,” ujarnya simpel beberapa waktu lalu.

Pondok penginapan yang dibangun Mr. Jali untuk para pendaki, peneliti, atau wisatawan. Foto: Junaidi Hanafiah
Pondok penginapan yang dibangun Mr. Jali untuk para pendaki, peneliti, atau wisatawan. Foto: Junaidi Hanafiah

Tak lama berselang, Rajali kembali diajak dua wartawan asal Inggris, Siemen dan David, untuk melakukan penelitian semua satwa yang ada di lembah Leuser. “Mereka yang menjuluki saya Mr. Jali, karena Rajali terlalu panjang dan susah disebut. Siemen dan David juga yang memperkenalkan saya ke dunia international sebagai guide Gunung Leuser.”

Tahun 1984, Mr. Jali bersama beberapa warga di pintu Leuser terlibat dalam pembukaan jalur pendakian Gunung Leuser yang dilakukan oleh Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri. “Saat itu Wanadri membuka jalur pendakian melalui dinding tenggara, jalur yang jarak tempuhnya terlalu jauh. Akhirnya, saya bersama beberapa warga membuka jalur lain yang jarak tempuhnya lebih dekat,” ujarnya.

Setelah itu, Mr. Jali sering dijadikan pemandu dan mulai fokus mengembangkan ekowisata. Untuk mendaki, normalnya 15 hari. Hebatnya, mendaki hingga sampai ke puncak Leuser, bahkan turun ke daerah lain seperti ke Kabupaten Aceh Selatan, ia  tidak menggunakan  Global Positioning System (GPS). “Beberapa kali pakai GPS, malah membuat kami tersesat, akhirnya saya lebih percaya pada instink dan bantuan kompas.”

Suasana nyaman di pondok yang dibangun Rajali. Foto: Junaidi Hanafiah
Suasana nyaman di pondok yang dibangun Rajali. Foto: Junaidi Hanafiah

Pemandu dan guru

Mulai sering dijadikan guide oleh para pendaki dan peneliti hutan di Leuser, Jali pun mengembangkan mata pencahariannya. Tahun 1995, berbekal kredit bank, ia membangun 25 pondok di kaki Gunung Leuser untuk para pendaki, peneliti, maupun wisatawan.

Namun, pada 2002, saat Aceh dilanda konflik bersenjata, penginapan itu hangus dibakar orang tidak dikenal. Habis tak bersisa. Galau menghinggapi kehidupannya. Beruntung, salah seorang warga berkebangsaan Jerman yang juga temannya, sekitar 2007, memberikan bantuan Rp80 juta untuk membangun kembali pondok miliknya. “Lima pondok dan  peralatan mendaki gunung seperti tenda, tas dan perlengkapan lainnya saya pergunakan dari uang tadi,” ujarnya.

Mr. Jali tetap mempertahankan tata cara tradisional dan kearifan masyarakat lokal saat melakukan pendakian juga menjaga kelestarian Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah
Mr. Jali tetap mempertahankan tata cara tradisional dan kearifan masyarakat lokal saat melakukan pendakian juga menjaga kelestarian Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah

Kini, tak hanya mantap sebagai pemandu, Mr. Jali juga mengajak masyarakat untuk menjaga kelestarian Leuser. “Coba lihat, hampir semua hutan di kaki Leuser berubah jadi kebun, kalau dibiarkan, hutan Leuser bisa jadi hanya cerita, dan masyarakat yang tinggal di kaki gunung Leuser, atau di muara sungai yang berhulu ke Leuser, siap-siap menanggung bencana. Belum lagi jerat para pemburu yang ditebar untuk menangkap satwa.”

Menurut Jali, sebagian besar masyarakat di Kedah mulai sadar menjaga hutan Leuser. Bahkan, beberapa masyarakat lokal telah dilibatkan sebagai pemandu wisata. “Masyarakat juga harus dipikirkan dari manfaat ekowisata ini, sehingga mereka tidak lagi membuka kebun di hutan. Saya hanya mampu merekrut 25 orang untuk menjadi pemandu, dan saat ini mereka telah berkali mendaki puncak Leuser,” ucapnya.

Kawasan TNGL yang rusak di Kabupaten Kabupaten Gayo Lues. Foto: Junaidi Hanafiah

Syahrol Rizal, aktivis lingkungan yang juga mantan anggota Mapala UIN Ar-Raniry Banda Aceh menyebut Mr. Jali bukan hanya pemandu tapi juga guru bagi mahasiswa pencinta alam. “Ia pencinta lingkungan sejati, orang Gayo Lues yang peduli Leuser.”

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh, Reza Fahlevi menuturkan Mr. Jali merupakan pemandu unik. Memakai tata cara tradisional dan kearifan lokal saat melakukan pendakian Gunung Leuser dan cinta mati akan hutan Leuser. “Kami terus membantunya, mengajak berkunjung ke daerah lain yang memiliki ekowisata dan telah dikelola dengan baik. Tujuannya, agar ia berkembang dan mendapatkan pengetahuan baru.”

Reza menambahkan, saat ini, USAID Lestari, sedang menjalankan program pengurangan  emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan melestarikan keanekaragaman hayati di hutan yang kaya karbon dan bernilai konservasi tinggi. Selain itu juga, membantu mengembangkan ekowisata.

“Di Aceh, mereka bekerja di Leuser. Kita berharap, mereka juga memperhatikan orang-orang yang menjaga lingkungan seperti Mr. Jali ini,” papar Reza.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,