,

Kisah Masyarakat Mekarti Jaya: Tegas Tolak Sawit, Mantap Kembangkan Kakao

Empat lelaki melewati Sungai Taluditi. Mereka memanggul karung yang dibuat seperti ransel. Isinya mulai dari logistik, loyang, terpal hingga seekor ayam hidup. Mereka adalah para penambang rakyat. Sungai Taluditi menjadi jalur lintasan mereka dan pintu masuknya adalah Desa Mekarti Jaya, Kecamatan Taluditi, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Desa ini salah satu desa transmigrasi sekaligus penyangga hutan Pohuwato.

Pagi di penghujung April 2016 itu, sebelum menuju lokasi tambang yang bisa ditempuh jalan kaki dua hari dua malam, para penambang rakyat beristirahat di sebuah rumah panggung pinggiran hutan. Pemiliknya adalah Abang, lelaki Gorontalo bernama lengkap Abdul Hasan.

Abang usianya 53 tahun. Dia seorang diri tinggal di situ. Tahun 1998 hingga 2001 dia bekerja sebagai karyawan perusahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) Wenang Sakti. Dia hapal seluk beluk hutan Taluditi. Setelah perusahaan itu hengkang, Abang memilih menghabiskan hidupnya sebagai petani.

“Luas kebun saya tujuh hektare.”

Di kebunnya, Abang menaman macam-macam, mulai kelapa, jagung, kakao, ubi, dan pisang. Namun belakangan, Abang resah. Setengah dari luasan kebunnya masuk kawasan hutan. Dia kaget ketika tim dari Dinas Kehutanan dan instansi terkait mematok pal batas di kebunnya. Padahal, Abang sedang mengajukan ke kepala desa agar mendapatkan bukti kepemilikan yang sah terkait status kebun tersebut.

“Pal batas dibuat 2012 lalu dan kebun saya masuk kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT).”

Meski pal batas berada di tengah kebun Abang, bukan berarti tak ada lagi kebun di seberangnya. Jika masuk ke dalam hutan, ada lahan warga lainnya. Seperti milik Nining Yuningsih, perempuan transmigran asal Jawa Barat dan Yosias Katelu, pria paruh baya asal Sangihe Talaud, Sulawesi Utara, yang tak pernah injak kampung halamannya.

Nining memiliki lahan seluas 1,5 hektare yang ditanami padi, jagung, rica, dan kakao. Dia  bukanlah warga Desa Mekarti, tapi warga trans di UPT Marisa V Sub B. “Lahan kami di sana diambil sawit, kami diberi lahan di sini.”

Nining tak tahu kalau lahan tersebut masuk kawasan hutan. Dia mengaku diberi Dinas Transmigrasi. Jika tidak demikian, Nining mengaku tak bisa bertahan hidup, karena sudah tidak mempunyai lahan lagi. “Warga trans seperti saya yang mempunyai lahan di sini sekitar 15 orang,” sebutnya.

Sementara Yos, panggilan Yosias, memiliki lahan dua hektare lebih. Kakao tetap menjadi andalan bagi pemilik lahan di kawasan hutan HPT ini. Selain itu, Yos terkenal sebagai pemburu ulung mulai babi hutan, anoa, hingga ular piton, dapat ditangkapnya.

“Saya juga mengajukan surat pengukuhan tanah ke kepala desa, tapi sampai sekarang belum ada kabar,” ucap Yos. Menurutnya, rata-rata pemilik lahan yang berada dalam kawasan hutan itu sekitar satu hingga dua hektare.

Soeharto, Kepala Desa Mekarti Jaya, mengakui kesulitan menghadapi persoalan kebun warga yang berada dalam kawasan hutan, terutama dengan adanya lahan transmigrasi. “Luas lahan warga, khususnya transmigrasi, yang masuk kawasan hutan sekitar 15 hektar.”

Menurutnya, awalnya mereka menolak kedatangan para transmigran yang mengolah lahan di hutan tersebut, namun Soeharto mengaku tidak bisa melawan perintah camat yang akhirnya membolehkan lahan digarap.

“Tapi lahan yang digarap warga itu hanya hak pakai saja, bukan hak milik.”

Para penambang rakyat menjadi desa mekarti jaya sebagai pintu masuk menuju lokasi mencari emas. Foto: Christopel Paino
Para penambang rakyat menjadi desa mekarti jaya sebagai pintu masuk menuju lokasi mencari emas. Foto: Christopel Paino

Dibujuk Sawit

“Kenapa tidak kerja di perusahaan sawit?” pertanyaan itu diajukan Fajar Kaprawi dan Nur Indah Ristiana, staf Burung Indonesia yang berbincang dengan Abang di teras rumahnya.

“Pengalaman saya kerja di perusahaan, hanya menjadi buruh. Lebih baik jadi petani,” kata Abang.

Menurutnya, sawit hanya mempersempit lahan masyarakat. Sementara dengan menjadi petani, Abang mengaku bisa bekerja tanpa beban. Belum lagi penguasaan lahan perusahaan sehingga tak ada pilihan lain bagi masyarakat selain menjadi buruh.

Hingga saat ini, bujuk rayu sawit di Desa Mekarti Jaya selalu gagal. Masyarakat bersikukuh menolak masuknya investasi sawit ke desa mereka. Bahkan pada 2014, masyarakat pernah menebang 36 batang sawit yang sudah di tanam di lahan warga.

“Warga tak ada yang menjual tanah ke perusahaan sawit, tiba-tiba langsung di tanam. Perusahaan datang berdasarkan sertifikat, kami berdasarkan peta. Ternyata yang menjual itu dari desa tetangga,” ungkap Soeharto.

“Kami sudah mengirim surat tiga kali ke perusahaan, camat, polsek, hingga polres, tapi tidak ada tanggapan. Di kemudian hari, perusahaan mengaku bersalah,” katanya lagi.

Sawit menurut warga tidak cocok ditanam di Mekarti Jaya. Masyarakat lebih senang dengan kakao yang sudah belasan tahun menjadi andalan ekonomi mereka.

Mekarti Jaya merupakan desa di kawasan hutan yang masuk bentang alam Popayato-Paguat yang dianggap sebagai daerah penting bagi keragaman hayati. Burung Indonesia dengan program Restorasi Ekosistem menjadikan Mekarti Jaya sebagai salah satu fokus kerja mereka, dan mendorong masyarakat yang berbatasan dengan wilayah hutan tersebut agar lebih mengembangkan perkebunan kakao.

Pal batas HPT yang masuk dalam kebun milik Abang di Mekarti Jaya. Foto: Christopel Paino
Pal batas HPT yang masuk dalam kebun milik Abang di Mekarti Jaya. Foto: Christopel Paino

Potensi kakao

“Kami menanam kakao sejak lama, artinya kami sudah berjalan dan siap lari. Kalau kita menanam sawit, ya, harus mulai dari nol lagi,” kata Soeharto beranalogi.

Menurutnya, potensi kakao sangat menjanjikan bagi masyarakat Mekarti Jaya, dengan begitu sawit tidak menjadi perhatian. Selain itu, katanya lagi, sangat aneh jika mereka yang berada di kawasan penyangga hutan menjadi kekurangan air karena tersedot perkebunan sawit.

“Perusahaan sawit pernah sosialisasi ke warga, semua menolak,” ungkap Soeharto.

Nasrohi, ketua kelompok petani mandiri, mengatakan sejak mereka jadi warga trans di Mekarti Jaya 1996, sudah banyak jenis tanaman yang mereka coba. Bahkan dia sendiri sering keluar masuk hutan sebagai penarik rotan, namun tidak ada yang bisa memberikan pendapatan yang menjanjikan untuk keluarga.

“Sejak menanam kakao, saya bisa menghidupi keluarga hingga menyekolahkan dua anak.”

Menurutnya, meski kakaonya diambil tengkulak, ia bisa merasakan untung. Pasalnya, ia menjual kakaonya dalam keadaan basah yang dijemput di kebun. Dalam bentuk basah, petani menjual sekarung seharga Rp650.000 hingga Rp750.000, tanpa ditimbang. Oleh tengkulak, biasa dijual lagi dalam keadaan kering yang harganya lebih mahal.

“Persoalan kami adalah transportasi, sehingga sebagian besar menjual dalam keadaan basah. Dalam setahun, petani dua kali panen.”

Sebelumnya, petani di Mekarti Jaya, kata Nasrohi, belum banyak yang mempunyai pengalaman. Setelah difasilitasi Burung Indonesia, beberapa petani diberikan pelatihan bahkan studi banding ke petani kakao yang dianggap berhasil di Sulawesi Selatan.

“Dengan menanam kakao, kami memiliki penghasilan tetap.”

Pembukaan kawasan HPT untuk kegiatan transmigrasi. Foto: Christopel Paino
Pembukaan kawasan HPT untuk kegiatan transmigrasi. Foto: Christopel Paino

Burung Indonesia menganggap kakao salah satu jenis tanaman agroforestry yang potensial di bentang alam Popayato-Paguat. Sebagai bagian dari program Restorasi Ekosistem dan tindak lanjut dari Kesepakatan Pelestarian Alam Desa (KPAD), Burung Indonesia Program Gorontalo telah melakukan fasilitasi terhadap usaha tani kakao di wilayah ini sejak 2015.

Abdulah Diko, fasilitator Desa Mekarti Jaya dari Burung Indonesia menjelaskan, untuk meningkatkan kualitas kakao dari wilayah kecamatan Taluditi, termasuk Mekarti Jaya, Burung Indonesia membentuk tim yang disebut ICS (Internal Control System). Tujuannya sebagai penjamin mutu kakao dari kelompok yang sudah dibentuk, agar standar mutu kakao terjaga dan mampu menaikan harga kakao itu sendiri.

“Ke depan arahnya adalah sertifikasi dan budidaya kakao berkelanjutan. Untuk mencapai target ini, petani sudah dilatih dalam hal peningkatan kapasitas dan melihat peluang pasar. Tahapan sekarang adalah memperbaiki mutu kakao,” jelas Diko.

Menurutnya, standar mutu kakao yang dijamin ICS telah memenuhi aspek pemberdayaan, lingkungan, ekonomi, sosial, kesetaraan gender dan pelibatan generasi muda.

“Termasuk yang dinilai itu penggunaan obat kimia, kebun warga yang tidak boleh masuk dalam kawasan hutan, atau petani yang masih berburu satwa liar.”

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2012, perkebunan kakao di Provinsi Gorontalo terdapat di tiga kabupaten yakni Pohuwato dengan luas 2.414 hektare dan produksi 2.166 ton, Kabupaten Boalemo seluas 636 hektare dan produksi 307 ton, serta Kabupaten Gorontalo Utara 175 hektare dan produksi 156 ton.

Sementara berdasarkan survei lapangan Burung Indonesia yang dilakukan Juli-Oktober 2012, di Desa Mekarti Jaya terdapat sebanyak 228 petani kakao yang bekerja di lahan seluas 328 hektare, dengan produksi 328 ton setiap tahun. Angka itu merupakan yang terbanyak di Kecamatan Taluditi, dan jadi penyumbang produktivitas kakao untuk Kabupaten Pohuwato.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,