,

Susahnya Melepaskan Diri dari Bahan Baku Pakan Ikan Impor

Indonesia hingga saat ini masih belum bisa melepaskan diri dari ketergantungan terhadap bahan baku pakan impor. Akibatnya, biaya produksi untuk pembuatan pakan ikan menjadi sangat tinggi dan itu berdampak pada ongkos produksi dalam usaha budidaya perikanan di Nusantara.

Hal tersebut diakui Direktur Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto. Menurut dia, saat ini petani ikan masih kesulitan untuk menekan ongkos produksi harian karena biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli pakan ikan masih sangat tinggi.

Untuk itu, Slamet mengungkapkan, diperlukan upaya menyeluruh untuk melepaskan ketergantungan tersebut dan mengubahnya menjadi lebih baik lagi. Cara yang bisa dilakukan, kata dia, adalah dengan memanfaatkan baha baku lokal untuk pembuatan pakan ikan nasional.

“Pemanfaatan bahan baku lokal akan kita dorong, karena masing-masing wilayah atau sentra budidaya memiliki bahan baku yang dapat digunakan sebagai pengganti bahan baku tepung ikan impor, seperti bungkil sawit, eceng gondok, ampas kelapa dan lain-lain,” ucap dia di Jakarta, Kamis (26/05/2016).

Untuk bisa mewujudkan itu, Slamet akan fokus melaksanakan program dengan menggalakkan Gerakan Pakan Ikan Mandiri (GERPARI). Dengan cara tersebut, diharapkan biaya pakan yang dikeluarkan untuk usaha budidaya ikan, khususnya budidaya ikan air tawar, bisa ditekan lebih banyak.

“Kita juga akan dorong kelompok pakan ikan mandiri (POKANRI) yang terpisah dari kelompok pembudidaya, untuk menghasilkan pakan berkualitas sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI), dalam jumlah yang cukup, untuk memenuhi kebutuhan kelompok pembudidaya di wilayahnya secara kontinu,” papar dia.

Slamet kemudian menuturkan, saat ini biaya yang dikeluarkan oleh pembudidaya untuk pembelian pakan cukup tinggi, berkisar 70 sampai 80 persen dari biaya keseluruhan. Padahal, merujuk pada pernyataan Menteri KP Susi Pudjiastuti, seharusnya harga pakan bisa ditekan hingga 60 persen dari harga yang berlaku di pasaran sekarang.

Pabrik Mini

Sementara itu, bentuk dukungan untuk menekan biaya produksi, KKP membangun Pabrik Mini Pakan Ikan Mandiri di Balai Perikanan Budidaya Ikan Air Tawar (BPBAT) Mandiangin di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Pembangunan tersebut menelan dana sebesar Rp1,5 miliar dan mampu melakukan produksi sekitar 200 kg per jam.

Kehadiran pabrik tersebut, kata Slamet, bisa membantu pasokan bahan baku dan meneka harga yang berlaku di pasaran. Saat ini, harga pakan ikan yang biasanya dibanderol Rp9.000-Rp10.000 per kg, sudah bisa turun ke kisaran Rp5.500 per kg.

Selain di Banjarbaru, Slamet mengungkapkan, pabrik pakan ikan mandiri juga akan dibangun di beberapa Unit Pelaksana Teknis (UPT) DJPB. Seperti, di Sukabumi, Karawang, Lampung, Jambi, Situbondo, Aceh,  Lombok, Manado, dan Batam.

“Nantinya, disini akan menjadi pusat pelatihan, perekayasaan pakan termasuk formulasi pakan, pengecekan kualitas pakan dan juga sebagai tempat studi banding bagi masyarakat yang akan mengembangkan pakan ikan secara mandiri,” jelas Slamet.

Bungkil Sawit dan Eceng Gondok

Sebelumnya, Slamet juga mengatakan, pihaknya akan memanfaatkan bahan baku lokal seperti bungkul kelapa sawit dan eceng gondok. Kedua bahan baku tersebut, merupakan hasil inovasi dari KKP untuk memasok kebutuhan bahan baku pakan ikan nasional.

“Sebelum ini kan tidak ada yang mau memanfaatkan limbah sawit ataupun eceng gondok. Kedua bahan baku tersebut biasanya hanya menjadi sia-sia saja. Sekarang, keduanya menjadi bermanfaat dengan baik,” sebut Slamet.

Untuk bungkil kelapa sawit, dia menjelaskan, potensinya sangat besar karena bisa menyumbangkan 10 persen protein dari limbah kelapa sawit nasional untuk kebutuhan pakan ikan yang sudah jadi. Adapun, daerah-daerah yang sudah menyatakan kesiapannya memasok limbah kelapa sawit adalah Lampung, Jambi, Kalimantan Barat, Riau, dan Sumatera Utara.

“Tapi yang sudah kontinu itu baru Kalbar. Tapi, kita terus mendorong agar daerah-daerah lain bisa bekerjasama untuk memasok kebutuhan limbah kelapa sawit,” jelas dia.

Dengan hadirnyan bahan baku dari bungkil kelapa sawit dan eceng gondok, menurut Slamet, maka produk tepung ikan tidak akan lagi didominasi oleh bahan baku ikan. Ke depan, diharapkan tambahan pasokan bahan baku tersebut bisa meningkatkan pasokan kebutuhan tepung ikan nasional.

“Eceng gondok itu kalau difermentasi, kandungan proteinnya bisa mencapai 30 persen. Itu sangat bagus untuk produksi tepung ikan. Sementara bungkil kepala sawit itu proteinnya mencapai 20 persen,” tutur dia.

Dengan tambahan pasokan tersebut, Slamet berharap biaya produksi secara bertahap bisa terus berkurang. Hingga pada 2019 nanti, biaya produksi bisa berkurang hingga hanya 60 persen saja.

Ketua Divisi Pakan Akuakultur Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) Denny D. Indradjaja mengungkapkan, tambahan pasokan dari bahan baku nabati untuk produksi pakan akuakultur memang sangat bagus. Namun, itu belum mengatasi ketergantungan impor bahan baku pakan.

“Memang kebutuhan bahan baku pakan ini sangat banyak. Selama ini kita bergantung ke impor dan itu memengaruhi harga di pasaran. Kita ingin, harga di pasaran tetap murah dan berkualitas tapi bahan baku juga terjamin sesuai standar nasional Indonesia,” ujar dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,