,

Jerit Hati Kelasi yang Tempat Hidupnya Kian Terjepit

Kelasi, nama yang diberikan masyarakat sekitar Gunung Palung untuk lutung merah (Presbytis rubicunda). Suku Dayak Kayan menyebutnya khalasi, Dayak Ngaju memanggilnya kalasi, warga Kepulauan Karimata menyebutnya kera merah, sementara Orang Malaysia menyebutnya lutung merah.

Di Kalimantan Barat, khususnya, kelasi dapat dilihat di Taman Nasional Gunung Palung serta Taman Nasional Betung Kerihun. Tubuh lutung ini tertutup rambut. Memiliki daun telinga yang tidak terlalu besar ukurannya. Dalam satu kelompok biasanya mencapai 8 ekor dengan 1 ekor jantan dewasa di dalamnya.

Sebagai fauna khas Kalimantan, habitat kelasi berada di hutan primer. Makanan utamanya dedaunan muda dan biji-bijian.  Sejak tahun 1970, statusnya dilindungi melalui SK Menteri Pertanian Nomor 421/Kpts/Um/8/1970. Kemudian, dikuatkan oleh SK Menteri Kehutanan tanggal 10 Juni 1991, Nomor 301/Kpts-II/1991 dan UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.

Belum banyak yang mengetahui status konservasi primata ini, tak heran, ancaman selain degradasi hutan adalah kelasi kerap menjadi target buruan. “Keberadaannya memang terancam akibat alih fungsi hutan. Maka, banyak ditemui di daerah yang dikonservasi,” ungkap Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, Sustyo Iriyono, pekan ini.

Kamis, 19 Mei 2016, BKSDA Kalbar mendapat penyerahan seekor kelasi bernama Merlyn yang usianya sekitar dua bulan. Abdullah, warga yang menyerahkan. “Saya melihat hewan yang dilindungi ini diperlihara warga. Saya tahu satwa ini dilindungi,” katanya.

Abdullah melakukan pendekatan kepada warga yang tinggal di Kabupaten Landak tersebut. Akhirnya, warga menyerahkan Merlyn kepadanya yang kemudian diserahkan ke BKSDA Kalbar. Primata betina tersebut, saat ini tengah menjalani pemeriksaan intensif.

Abdullah mengetahui status konservasi Merlyn dari pemberitaan media massa. Sebelumnya, pada Kamis 5 Mei 2016, warga Sukadana Kabupaten Kayong Utara, juga menyerahkan seekor kelasi ke perwakilan BKSDA di Sukadana. Miris, si kelasi lumpuh, dari pinggang ke bawah.

Syaiful  Hartadi, guru setempat yang menyerahkan. “Awalnya ditemukan anak-anak yang hendak mandi di Hutan Wisata Air Pauh, pagi hari. Tiba-tiba, mereka melihat lutung ini ditinggalkan kawanannya,” kata Syaiful. Entah penyakit apa yang menimpa kelasi tersebut. Petugas BKSDA lantas memanggil dokter hewan setempat untuk memeriksa kelasi lumpuh itu.

Sustyo mengatakan, lutung merah hidup berkelompok. Satwa tersebut memakan aneka jenis daun dan buah. Ciri dari kelasi adalah memiliki ekor panjang dan bulu kemerahan dengan wajah kebiruan. Sedangkan anakan, warnanya keputih-putihan, ada bercak hitam pada bagian bawah punggung dan melintang sepanjang bahu.

Lutung merah yang semakin terjepit akibat pesatnya pembangunan fisik di Kota Balikpapan. Mereka terpaksa tinggal di hutan yang hanya tersisa beberatus meter persegi. Foto: Hendar

Ancaman tak hanya pada lutung merah. Lutung perak (Trachypithecus cristatus) juga mengalami hal yang sama. Maret 2015 lalu, sebuah rekaman amatir secara viral menarik perhatian masyarakat.

Mahasiswa yang tengah melakukan penelitian, merekam gambar warga menembak lutung perak di Bukit Wangkang. Terlihat gambar anak lutung yang ketakutan seraya memeluk jasad induknya.

Padahal, lutung perak merupakan salah satu jenis lutung yang masuk daftar International Union for Conservation of Nature (IUCN) dengan status Near Threatened atau Mendekati Terancam Punah.

Belakangan, peningkatan kesadaran masyarakat terhadap satwa dilindungi meningkat. Di bulan ini, ada enam satwa dilindungi yang diserahkan sukarela oleh masyarakat ke BKSDA. Diantaranya, bayi orangutan, rangkong badak, elang brontok, kelempiau dan lutung merah.

Terhitung Januari hingga Mei 2016 ini, BKSDA Kalbar telah menerima penyerahan dan penyitaan satwa liar serta tumbuhan sebanyak 1.040 individu. Terdiri dari burung (859 individu), reptil (33 ekor), orangutan (11 individu), kukang (5 individu), klempiau (2 individu), lutung merah (2 individu), beruang madu (2 individu), kucing hutan (1 ekor), dan tumbuhan sekitar 125 buah.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,