,

Puluhan Izin Pertambangan di Sumatera Selatan Dicabut. Bagaimana Urusan Reklamasi dan Pasca-Tambang?

Koordinasi dan supervisi (korsup) pengelolaan tambang dan mineral oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Sumatera Selatan telah memberikan dampak signifikan. Dalam perkembangannya, dari 356 IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang ada, tercatat 78 IUP dicabut dan 68 IUP tidak diperpanjang.

Sumatera Selatan (Sumsel) merupakan satu dari 12 provinsi yang masuk program Korsup Minerba KPK yang telah dilakukan pada 20 November 2014. Sejumlah pihak tetap berharap agar kewajiban reklamasi dan pasca-tambang, penagihan kewajiban keuangan perusahaan yang belum dibayar, kepastian status dan penggunaan lahan pasca-pencabutan izin, serta proses penegakan hukum meski izin telah dicabut tetap dilaksanakan.

“Saat ini tersisa 177 IUP di Sumsel,” kata Robert Heri, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sumsel pada Workshop Penataan Progres IUP Terkaiut Korsup Minerba Sumatera Selatan yang diselenggarakan Pinus Sumsel, di Palembang, Kamis (19/05/2016) lalu.

Mengenai IUP yang  clean and clear (CnC), Robert mengatakan dari 174 IUP yang sudah CnC, tersisa 3 IUP yang belum CnC. Dari 177 IUP tersebut mayoritas tambang batubara, sebanyak 100 izin.

Progres Penataan IUP di Sumatera Selatan. Sumber: Presentasi Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumatera Selatan
Progres Penataan IUP di Sumatera Selatan. Sumber: Presentasi Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumatera Selatan

Terkait kawasan IUP yang berada di kawasan Hutan Konservasi (HK), Hutan Lindung (HL) dan HP, HPT, serta HPK juga sudah ditertibkan. Lahan seluas 932,64 hektare di HK sudah diselesaikan, begitupun lahan di HL seluas 9.316,62 hektare. “Lahan di HP, HPT dan HPK dari 160.838,06 hektare sekarang menjadi 159.501,63 hektare,” kata Robert.

Sejak UU Mineral dan Batubara (Minerba) Nomor 4 Tahun 2009 diberlakukan, Pemerintah Sumsel tidak pernah menerbitkan izin baru. Pemerintah Sumsel menyakini wacana moratorium IUP tidak akan berdampak signifikan terhadap pendapatan asli daerah (PAD). “Kami lebih fokus memberdayakan dan membenahi IUP yang sudah ada sehingga PAD dari sektor pertambangan tetap terjaga. Sebab, masih banyak IUP yang belum berproduksi,” katanya.

Dari 100 izin, hanya 20 tambang yang aktif, sisanya tidak menghasilkan. “Dari 20 IUP itu, Sumsel menghasilkan 27 juta ton batubara pada 2015. Jika izin lainnya aktif memproduksi batubara, Sumsel dapat memproduksi 50 juta ton per tahun,” ujarnya.

Progres Penataan IUP di Sumatera Selatan. Sumber: Presentasi Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumatera Selatan
Progres Penataan IUP di Sumatera Selatan. Sumber: Presentasi Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumatera Selatan

Reklamasi dan pasca-tambang

Terkait pelaksanaan kewajiban reklamasi dan pasca-tambang, jika sebelum Korsup Minerba KPK hanya ada 29 perusahaan yang memiliki dana jaminan reklamasi, kini menjadi 89 perusahaan yang tersebar di 17 kabupaten dan kota. Sementara jaminan pasca-tambang, dari 4 perusahaan menjadi 36 perusahaan.

Terkait hal tersebut, Agung Budiono, peneliti Publish what You Pay (PWYP) menuturkan, perlu dilakukan pengawasan dan efektifitas pencabutan izin. Targetnya antara lain memastikan pelaksanaan kewajibaan reklamasi dan pasca-tambang;  penagihan kewajiban keuangan perusahaan yang belum dibayar; kepastian status dan penggunaan lahan pasca-pencabutan izin; serta memastikan proses penegakan hukum berjalan meski izin telah dicabut.

Progres Penataan IUP di Sumatera Selatan. Sumber: Presentasi Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumatera Selatan
Progres Penataan IUP di Sumatera Selatan. Sumber: Presentasi Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumatera Selatan

Guna mencapai target tersebut, perlu adanya pembentukan gugus tugas yang melibatkan masyarakat sipil, seperti di Kalimantan Barat dan Aceh. “Misalnya, dengan membuat Perda Moratorium seperti di Aceh dan pembentukan tim moratorium untuk mengevaluasi data penertiban,” kata Agung.

Saya pikir, komitmen pemerintah Sumsel terhadap persoalan minerba, khususnya tambang batubara, memang harus dibuktikan lebih serius. “Misalnya, membuat perda moratorium dan publikasi terkait penertiban, termasuk data yang harus terus dievaluasi,” kata Adio Syafri dari HaKI (Hutan Kita Institute).

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,