, ,

Semaraknya Menangkap Ikan Secara Tradisional di Pulau Miangas. Seperti Apa?

Pagi-pagi benar para tetua adat Miangas berkumpul di pantai Wolo, Sabtu (21/5/2016). Banyak di antara mereka menggunakan jubah berwarna ungu. Hanya Ratumbanua, ketua adat, yang mengenakan jubah warna kuning.

Di sana, mereka berdiri di sekitaran patok dari batang pohon yang pada bagian ujungnya dilingkari daun kelapa kering. Salah seorang di antara tetua adat mengatakan, mereka masih menantikan satu patok lagi sebelum memanjatkan doa.

Sejak beberapa bulan lalu, mereka telah menancapkan dua patok di lokasi terpisah. Sebelum kedua patok dipertemukan, tak ada seorangpun yang boleh melintasi wilayah terlarang, yang sebelumnya sudah ditetapkan dan disepakati bersama.

Dua patok kayu itu adalah pertanda eha. Dalam tradisi masyarakat di kepulauan Talaud, eha dikenal sebagai hukum penghentian sementara aktivitas di laut maupun di darat. Di sekitar lokasi patok, masyarakat dilarang menangkap ikan, melintasi maupun beraktifitas di pesisir pantai.

Kabarnya, sejak bulan Januari, patok eha telah ditancapkan. Tak seorangpun berani beraktifitas di sana. Jika ketahuan, pelanggar hukum adat akan dikenai denda maupun sanksi menabuh gendang sambil berkeliling kampung, sebagai wujud penyesalan.

Tak lama kemudian, datang seorang yang ditugaskan mengambil patok eha dari lokasi lain. Setelah kedua patok dipertemukan, tetua adat Miangas berkumpul dan membacakan doa dalam bahasa lokal.

Sehabis pembacaan doa, Phit Hein Essing, Ratumbanua Miangas menceritakan, eha merupakan tahapan dari tradisi menangkap ikan yang dikenal dengan sebutan manam’mi. Kata dia, dahulu kala sebelum ada manam’mi, karena jumlah penduduk Miangas terbilang sedikit, pencarian ikan hanya dilakukan orang per orang atau yang disebut malenta. Tapi ternyata jumlah ikan yang didapat tak seberapa.

Setelah jumlah penduduk bertambah banyak, mereka mulai bersekutu untuk mencari ikan bersama. “Manam’mi itu artinya menangkap ikan,” terang Phit di pantai Wolo, Miangas.

Sekitar 300 meter ke arah barat dari patok eha yang sudah dipertemukan, sejumlah warga berkumpul. Di sana, terdapat tali tambang yang telah dililit menggunakan daun kelapa muda. Warga sekitar menyebutnya sami.

Salah seorang warga mengatakan, panjang sami diperkirakan mencapai 500 meter. Konsekuensinya, ratusan warga harus ikut menariknya. Tua maupun muda. Hanya saja, jumlah penarik sami hari itu dinilai tidak seberapa. Sebab, banyak anak sekolah dipersiapkan untuk penjemputan tamu dari luar Miangas. Selain itu, ibu-ibu sedang sibuk mempersiapkan tenda dan makanan untuk para tamu.

Pada tahun-tahun sebelumnya, kegiatan manam’mi hanya dihadiri oleh warga Miangas. Namun, kali ini, Pemkab Kepulauan Talaud mengundang tamu dari berbagai daerah di Indonesia untuk menyaksikan kegiatan ini secara langsung.

“Menurut tradisi, siapapun yang datang ke Miangas adalah anak-anak Miangas. Tidak ada perbedaan, hanya saja harus menghormati dan mengikuti adat di Miangas,” kata salah seorang penarik sami.

Miangas adalah pulau yang berbatasan langsung dengan Filipina dan berstatus kecamatan khusus di kabupaten kepulauan Talaud. Hanya terdapat 1 desa di pulau tersebut. Umumnya, penduduk lokal berprofesi sebagai nelayan dan berkebun.

Waktu tempuh ke Miangas sekitar 8 jam, jika menggunakan kapal cepat dari Melonguane, ibukota kabupaten kepulauan Talaud. Sementara, dari Manado, ibukota provinsi Sulawesi Utara, waktu tempuh sekitar 24 jam. Di sisi lain, Filipina terlihat kebiru-biruan dari pulau tersebut. Dengan demikian, warga setempat lebih dekat dan cepat mendatangi Filipina ketimbang Melonguane maupun Manado.

Beberapa saat kemudian, ratusan warga sudah terlihat membentangkan sami hingga ke tengah lautan, nyaris membentuk setengah lingkaran, lalu bersama-sama membawanya ke arah timur. Sementara itu, di pantai bagian timur, rekan-rekan mereka juga membawa tali sejenis, namun menuju arah barat.

Upaya mempertemukan sami juga merupakan sebuah cara mengepung dan menggiring ikan ke lokasi Manam’mi. Terlihat cukup menguras energi. Bukan hanya melawan dingin, pembawa tali harus kuat diterjang gelombang. Sebagai penambah tenaga, di tengah laut, mereka berteriak-teriak sambil bercanda. Para tamu hanya bisa menyaksikan dari lokasi yang telah disediakan. Sebab, sebelum kedua sami dipertemukan, tak ada yang boleh menangkap ikan.

Jarak antara penarik sami di bagian timur dengan barat sekitar 1 kilometer. Rencananya, kedua sami akan dipertemukan di sebuah titik yang akan menjadi lokasi penangkapan ikan secara bersama-sama. Jadi, para penarik sami dari kedua penjuru harus menempuh sekitar 500 meter agar tiba di lokasi Manam’mi.

Ikan-ikan menggelepar ketika air surut dalam acara manam'mi  di Pulau Miangas, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulut. Sabtu (21/5/2016). Manam'mi merupakan acara menangkap ikan secara tradisional. Foto : Themmy Doaly
Ikan-ikan menggelepar ketika air surut dalam acara manam’mi di Pulau Miangas, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulut. Sabtu (21/5/2016). Manam’mi merupakan acara menangkap ikan secara tradisional. Foto : Themmy Doaly

Setelah menghabiskan waktu lebih dari 1 jam, akhirnya sami berhasil dipertemukan. Para penarik sami mulai membentuk lingkaran untuk menghalangi ikan agar tidak meninggalkan lokasi Manam’mi. Meski demikian, belum ada seorangpun yang diperbolehkan menangkap ikan. Peserta Manam’mi harus menunggu air surut. Tak hanya itu, kegiatan ini rencananya akan dibuka terlebih dahulu oleh Sri Wahyumi Manalip, Bupati Talaud.

Setelah menunggu 1 jam lebih, air mulai surut hingga batas mata kaki orang dewasa. Di lokasi sami yang telah membentuk lingkaran, ratusan tamu dan masyarakat lokal telah berkumpul. Mereka berdesak-desakan dan memperebutkan barisan terdepan. Pihak keamanan nampak kewalahan. Jumlah mereka kalah banyak.

Sementara itu, pemandangan ikan-ikan mulai terlihat jelas. Mereka berputar-putar di lingkaran manusia. Ada yang mengitari lokasi secara berkelompok, ada juga yang berenang sendirian. Ikan yang berukuran lebih besar nampak mulai kehilangan keseimbangan akibat volume air semakin berkurang. Sebentar lagi, mereka segera menjadi lauk di meja makan.

Beberapa saat kemudian Bupati Talaud tiba di lokasi. Ia mengenakan seragam dinas dan berkacamata hitam. Sambil tersenyum, Manalip melambaikan tangan kepada tamu dan warga lokal yang sudah tidak sabar.

Sejurus kemudian, bupati menjaring ikan. Tanpa aba-aba meledaklah penantian peserta… boooommmm. Tua, muda hingga anak-anak mulai menangkap ikan, baik dengan alat bantu maupun tangan kosong. Meski saling berebut, namun terlihat jelas kegembiraan di wajah peserta manam’mi. Pihak keamanan hanya bisa pasrah dan membiarkan masyarakat serta pendatang memungut ikan di laut yang telah surut.

Di antara kerumunan, Ani Lantaa, warga Desa Niampak, Kecamatan Beo Selatan, mengumbar senyum lebar. Ia baru pertama kali mengikuti kegiatan ini, namun sudah berhasil menangkap beberapa ikan dengan tangan kosong. Hasil tangkapannya dimasukkannya ke dalam tas yang memang telah dipersiapkan.

Senada, Oklan juga melakukan penangkapan ikan hanya dengan tangan kosong. Bedanya, ia harus bersusah payah memegang ikan dengan kedua tangannya, karena tidak membawa tas penyimpanan. “Saya dapat ikan kakak tua, kakak tua merah, dan mujair laut. Habis ini akan saya bakar ikannya,” ungkapnya bahagia.

Seorang warga Pulau Miangas, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulut, menggigit ikan hasil tangkapannya dalam acara manam'mi pada Sabtu (21/5/2016). Manam'mi merupakan acara menangkap ikan secara tradisional. Foto : Themmy Doaly
Seorang warga Pulau Miangas, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulut, menggigit ikan hasil tangkapannya dalam acara manam’mi pada Sabtu (21/5/2016). Manam’mi merupakan acara menangkap ikan secara tradisional. Foto : Themmy Doaly

Tak semua masyarakat yang datang ke lokasi melakukan penangkapan ikan. Beberapa di antara mereka nampak sibuk mengabadikan momentum yang jarang atau bahkan belum pernah disaksikan.

Afandi, pengunjung dari Jakarta misalnya. Ia jauh-jauh datang dari Jakarta hanya untuk menyaksikan kegiatan manam’mi. Selama proses penangkapan ikan, ia hanya memotret fenomena yang baru pertama kali dilihatnya secara langsung. “Saya baru pertama kali mengikuti manam’mi. Heboh, asyik dan seru. Mana’mi bisa jadi wisata yang menarik,” kata Afandi.

Harry Lutfi, Ocean Defender Greenpeace yang datang ke lokasi menilai, manam’mi merupakan kegiatan penangkapan yang juga memperhatikan keberlimpahan ikan. “Dengan konsep manam’mi perkembangbiakan ikan jadi lebih banyak. Tidak seperti di daerah lain yang menjaring dan menangkap ikan setiap hari, lama-lama ikan akan habis.”

Nilai Kebersamaan Manam’mi

Ishak Tamaroda, Kepala Dinas Pariwisata Talaud mengatakan, keterlibatan pemerintah daerah dalam kegiatan manam’mi merupakan bentuk dukungan dan upaya melestarikan budaya lokal.

Ia menjelaskan,  ada kemiripan filosofi antara manam’mi dan mane’e di pulau Kakorotan, yaitu kebersamaan orang Talaud, sejak dari zaman leluhur, dalam memperjuangkan nafkah dengan cara menangkap ikan. Diakui, sebagai daerah bahari, cara hidup mereka sangat dekat dengan laut.

Manam’mi maupun Mane’e merupakan pengejawantahan prinsip hidup orang Talaud, yaitu menjunjung tinggi kebersamaan. Teguh dalam kebersamaan. Berat sama-sama dipikul, ringan sama-sama dijinjing,” ujarnya.

Pemandangan di salah satu sudut Pulau Miangas, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulut. Foto : Themmy Doaly
Pemandangan di salah satu sudut Pulau Miangas, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulut. Foto : Themmy Doaly

Ishak menjabarkan, manam’mi memiliki sejumlah tahapan agar usaha masyarakat secara bersama dalam mencari ikan bisa diperoleh. Tahapan itu terdiri dari, pertama, musyawarah dan mufakat untuk melakukan kegiatan bersama. Kedua, tahap menyamakan tindakan. Ketiga, memanjatkan doa sebelum memulai pekerjaan. Sesudah itu, mereka menuju tempat pencabutan eha. Kegiatan selanjutnya penarikan sami. Kemudian penangkapan ikan. Terakhir, syukur dengan mengadakan makan bersama.

“Harapan kami, budaya Manam’mi bisa dilestarikan sebagai warisan leluhur, kearifan lokal dan warisan budaya tak benda yang ada di kabupaten kepulauan Talaud,” kata Ishak di sela-sela kegiatan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,