,

Jangan Biarkan, Nasib Hiu Paus di Gorontalo Merana

Gedung berlantai dua itu tepat membelakangi Teluk Tomini. Di halamannya udang-udang vaname dijemur. Di salah satu sudut, sebuah toilet digunakan pengunjung untuk buang air atau membilas tubuh sehabis snorkeling. Di luar gedung, perahu-perahu berjejer. Salah satu gubuk yang dihiasi toa dan baliho Gubernur serta Wakil Gubernur Gorontalo yang senyum tertulis, “Selamat datang di obyek wisata minat khusus Whale Shark.”

Gedung itu adalah pabrik udang vaname bernama PT. Sinar Ponula Deheto. Dari limbah pabrik udang yang dibuang ke laut inilah diduga mmicu kehadiran hiu paus di pesisir Desa Botubarani, di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. Sementara gubuk yang bersebelahan dengan pabrik udang itu menjadi pintu masuk bagi pengunjung. Jika ingin melihat hiu paus, pengunjung harus menuliskan nama di buku yang sudah tersedia. Lalu membayar uang Rp15.000 jika ingin melihat hiu paus dari perahu, Rp25 ribu melihat dengan cara snorkeling, atau Rp50 ribu dengan cara menyelam.

Setelah heboh kemunculan hiu paus (Rhincondon Typus), Yansur Pakaya, Ketua Kelompok Sadar Wisata mengaku kebingungan dengan membludaknya pengunjung. Selain itu, dia yang juga bertanggung jawab mengelola wisata hiu paus, juga kebingungan mengatur pangkalan-pangkalan perahu yang digunakan untuk pengunjung.

“Ada lima pangkalan dengan jumlah total 82 perahu. Harusnya hanya enam perahu di laut saat melihat hiu paus. Mereka sudah punya panduan berinteraksi dengan hiu paus, tapi sepertinya bukunya tidak dibaca.”

Bayang tubuh hiu paus yang terlihat. Foto: Christopel Paino

Yansur mengungkapkan hal itu saat Lokakarya Hiu Paus yang diprakarsai oleh Whale Shark Indonesia dan WWF di kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo pada Kamis, 26 Mei 2016.

“Awalnya mudah mengatur pengunjung. Tapi lama-lama susah. Tata cara berinteraksi dengan hiu paus hanya bisa kami beritahu lewat pengeras suara. Tapi banyak yang mengabaikan. Pengunjung tetap menyentuh hiu paus. Apalagi kami kekurangan pemandu lapangan.”

“Belum lagi masalah sampah sedangkan kami hanya memiliki dua tempat sampah. Itu pun terbuat dari karung. Selain itu, tidak ada pusat informasi mengenai hiu paus. Padahal kami sangat membutuhkannya, supaya pengunjung bisa melihat atau membaca tata cara berinteraksi sebelum melihat langsung hiu paus,” kata Yansur lagi.

Dari data rekapan pengunjung, menurut Yansur, sejak 1 Mei hingga 26 Mei 2016, tercatat 6.000 orang pengunjung, dengan pendapatan Rp30 juta. Namun saldo yang tersisa hanya Rp10 juta.

Pengunjung yang ingin melihat hiu paus di Desa Botu Barani, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. Foto: Christopel Paino

Kris Handoko, Kepala Seksi Pendayagunaan dan Pelestarian Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar, yang hadir dalam lokakarya itu mengatakan, jika dibandingkan dengan ekowisata hiu paus di Taman Nasional Teluk Cendrawasih, untuk mencapai angka 6.000 pengunjung dibutuhkan waktu empat tahun.

“Pengunjung perlu dibatasi. Pendapatan 30 juta itu terlalu sedikit. Jika dibandingkan Teluk Cendrawasih, pendapatannya bisa Rp 600 juta, itu pun baru dari Simaksi (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) karena wilayahnya adalah taman nasional,” kata Kris.

Foto pengunjung yang naik ke punggung hiu paus di Facebook yang dikecam netizen. Sumber foto: Istimewa diambil dari akun Facebook

Casandra Tania dari World Wide Fund for Nature atau disingkat WWF, sebuah organisasi non-pemerintah yang menangani masalah konservasi, penelitian, dan restorasi lingkungan menyebutkan lebih detail lagi. Total pengunjung di Teluk Cendrawasih pada 2015 sekitar 5.722 orang dengan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp586.160.000.

Casandra dalam lokakarya itu menjelaskan tentang biologi dan ekologi hiu paus termasuk sebarannya di Indonesia. Menurutnya, hiu paus yang ada di Desa Botubarani di Gorontalo telah mengalami perubahan prilaku. Yaitu dengan mengetuk-ngetuk perahu kemudian hiu paus muncul lalu diberi makan.

“Ketuk-ketuk perahu itu berbahaya. Tindakan agresif dari hiu paus adalah mengibaskan ekornya kemudian dia menyelam.”

Menurutnya, hiu paus mempunyai gigi namun tidak digunakan. Mereka juga muncul berkelompok karena biasa ada makanannya. Sementara seberan hiu paus di Indonesia yang teridentifikasi ada di Pulau Sabang, Aceh (1 individu); Talisayan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur (36 individu); Bentar, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur (26 individu), Kabupaten Banggai Kepulauan (1 individu); Kwatisore, Distrik Nabite, Papua (126 individu), serta di Desa Botubarani, Kecamatan Kabila Bone, Provinsi Gorontalo (17 individu). Sementara daerah lainnya masih berupa informasi dan prediksi masyarakat.

Persebaran hiu paus di Indonesia. Sumber: Whale Shark Indonesia Project
Persebaran hiu paus di Indonesia. Sumber: Whale Shark Indonesia Project

Wisata massal

Infokus memancarkan slide foto-foto ke dinding. Seorang lelaki di atas perahu berukuran kecil memegang hiu paus. Perahu-perahu ramai mendatangi ikan terbesar di dunia itu. Salah seorang menyentuh hiu paus dengan kakinya. Pada gambar berikut, ada yang snorkeling sambil menunggangi hiu paus.

“Ini bukan di Indonesia,” kata Mahardika Rizqi Himawan, dari Whale Shark Indonesia Project.

“Ini di Oslob, Filipina.”

Mahardika kemudian memperlihatkan foto-foto berikutnya tentang tingkah laku pengunjung yang melihat hiu paus di Desa Botubarani, Gorontalo. Foto-foto tersebut memiliki kemiripan. Mulai dari banyaknya perahu yang dinaiki pengunjung, cara memberi makan, menyentuh, bahkan menunggangi hiu paus ketika snorkeling.

Beberapa kesamaan selain kontak dan interaksi dengan hiu paus, karakter yang mirip adalah perubahan tingkah laku dan luka yang terjadi, perubahan pola gerakan hiu paus, dan nutrisi makanan yang buruk berupa kulit kepala udang.

“Jangan sampai hiu paus yang ada di Gorontalo seperti di Oslob.”

Kontak dan interaksi hiu paus. Sumber: Whale Shark Indonesia Project
Kontak dan interaksi hiu paus. Sumber: Whale Shark Indonesia Project

Meski begitu, menurutnya, di Filipina juga memiliki contoh yang baik pengelolaan hiu paus, yang dilakukan di Donsol. Di daerah tersebut, sudah dianjurkan sebagai wilayah yang tidak boleh dikunjungi. Mereka tetap membiarkan sisi liar hiu paus dan berkampanye untuk menghentikan pemberian makanan. Contoh serupa yang bisa ditiru di Indonesia, kata Mahardika, adalah di Kabupaten Probolinggo.

“Nah, bagaimana dengan Gorontalo? Ini yang perlu perhatian karena hiu paus di Gorontalo lebih dari 50 persen mengalami luka akibat benturan dan ada juga yang kena cat perahu. Semuanya, tergantung stakeholder yang ada di sini.”

Perubahan tingkah laku dan pola yang terjadi pada hiu paus. Sumber: Whale Shark Indonesia Project
Perubahan tingkah laku dan pola yang terjadi pada hiu paus. Sumber: Whale Shark Indonesia Project

Mahardika menjelaskan lagi, kemunculan hiu paus di Gorontalo sangat unik, berbeda dengan daerah lain. Sebab di Gorontalo setiap hari muncul dan paling sering pagi hari. Dari penelitiannya, ia bisa mengidentifikasi 17 individu jantan. Selain itu, tutupan terumbu karang di pesisir Botubarani masih bagus. Hal ini berbeda dengan daerah lain yang tidak bisa dipantau setiap hari, dan juga kemunculan hiu paus sesuai keberuntungan.

Sayangnya, wisata massal yang kini terjadi di Botubarani sulit dikendalikan. Masyarakat sudah merasakan perputaran ekonomi yang tinggi jika dibandingkan sebelum kehadiran hiu paus. Padahal, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo telah menginisiasi aturan interaksi.

Namun kondisi di lapangan jauh berbeda. Pada akhir pekan, bisa lebih 24 perahu dalam satu area, serta lebih dari 96 orang dalam satu area dan satu waktu.

Aturan mengenai interaksi dengan hiu paus. Sumber: Whale Shark Indonesia Project
Aturan mengenai interaksi dengan hiu paus. Sumber: Whale Shark Indonesia Project

Stop beri makan

Pada lokakarya itu, ketika diskusi dipandu oleh Kris Handoko dari BPSPL Makassar, dibahas mengenai apakah hiu paus diberi makanan atau tidak. Sementara WWF dan Whale Shark Indonesia menganjurkan untuk tidak diberi makan. Di sisi lain, Dinas Pariwisata Provinsi Gorontalo mengusulkan agar hiu paus tetap diberi makan karena bisa menjadi daya tarik wisat untuk datang ke Gorontalo. Alasan lainnya, agar hiu paus bisa menetap di perairan Gorontalo.

“Hiu paus ini merupakan anugerah bagi Gorontalo, karena dengan begitu bisa meningkatkan wisatawan yang berkunjung,” kata Resma, perwakilan Dinas Pariwisata.

Namun menurut Sutrisno, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Gorontalo, jika memang hiu paus tidak bisa diberi makan, ia akan setuju dan akan mendukung sepenuhnya kegiatan ekowisata berbasis konservasi.

“Saya tidak ingin menabrak aturan. Stop memberi makan hiu paus lagi,” tandas Sutrisno.

Kemunculan hiu paus di Gorontalo yang membuat heboh dan harus dibuat aturan jelas agar nasib hiu paus tidak merana. Sumber: Whale Shark Project Indonesia
Kemunculan hiu paus di Gorontalo yang membuat heboh dan harus dibuat aturan jelas agar nasib hiu paus tidak merana. Sumber: Whale Shark Indonesia Project

Casandra Tania juga menjelaskan bahwa hiu paus bukanlah jenis ikan yang menetap pada suatu tempat, melainkan hewan yang bermigrasi. Untuk pemberian makan hanya akan menyebabkan hiu paus berubah menjadi agresif.

Selain mengatur soal tidak lagi memberi makan, pada diskusi itu juga diatur durasi pengunjung. Untuk diving dan snorkeling, disepakati hanya 30 menit. Selain itu, pembahasan lainnya adalah dari aspek konservasi dan ekonomi.

Jika dibandingkan dengan hiu paus di Teluk Cendrawasih, Papua, yang pengunjungnya 6.000 orang dan menghasilkan pendapatan sekitar Rp 600 juta, maka wilayah pesisir Botubarani ini diusulkan sebagai kawasan konservasi perairan. Karena, di Papua status kawasannya adalah taman nasional. Sehingga untuk masuk ke kawasan harus mengurus Simaksi terlebih dahulu.

“Wilayah Botubarani ini harus dicadangkan dulu sebagai kawasan konservasi perairan,” ungkap Kris Handoko.

Pengunjung yang ramai ingin melihat hiu paus. Foto: Christopel Paino
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,