, , , ,

Senandung Damai dari Bumi Pipikoro (Bagian 2)

Kecamatan Pipikoro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, tak hanya memiliki keindahan alam, maupun komoditas kebun andalan seperti kopi dan kakao. Mereka juga memiliki kerajinan tangan unik, seperti kain kulit kayu.

Yeni,  perajin kain kulit kayu mengatakan, kain kulit kayu bernama kumpe. Bahan kumpe dari kulit batang pohon tea, sejenis beringin sebagai bahan dasar pembuatan kain kulit kayu atau membuat anyaman.

Perempuan 62 tahun ini, salah satu perajin yang tersisa. Generasi muda tak banyak mendalami kerajinan ini.  Yeni belajar membuat kain kulit kayu saat berumur 45 tahun dari sang ibu. “Sarung kumpe dijahit mamaku, saya pake sekolah, mamaku juga bisa jahit baju,” katanya.

Dulu, kala kelas I-III SD, dia pakai sarung kumpe fari. “Saya pakai seragam kumpe, teman satu kelas semua pakai kumpe.” Masa kecil, dia menyaksikan kumpe dipakai dalam pesta kawin.

Kini kumpe mulai langka. Selain terdesak busana pabrikan (moderen), kumpe langka karena sebagian perajin tak mewariskan pada keturunan mereka.

Selain kumpe, perempuan Mapahi juga terampil membuat anyaman. Debora, penganyam Mapahi mengatakan, mereka memanfaatkan pandan hutan untuk kerajinan seperti bakul, keranjang, dan bermacam-macam produk rumah tangga. Produk ini, katanya, sebatas di Mapahi, belum ke pasar luar.

 

Sumber daya melimpah

Ketua HKM Yirmia L Koka mengatakan, setelah masuk kakao, kebun kopi Desa Mapahi cukup lama terabaikan. Kebun kopi tersisa sekitar 10.000 pohon yang mengandalkan bibit lokal. Sebelum kakao,  kopi produk andalan. “Kami sudah sadar kopi dapat bertahan dalam semua situasi.”

Kakao masuk dataran tinggi Pipikoro sekitar 1987, meluas pada 2002. “Kakao masuk dari bantuan pemerintah,” ucap Yirmia.

Yonatan Tari,  Mantan Kades Mapahi, mengatakan, luas kebun kopi Pelempea sekitar 100 hektar, terus diupayakan meningkat. “Sekarang harga biji kopi Rp20.000 per kilogram. Cukup menjanjikan.”

Dalam budidaya kopi, petani Pelempea hanya mengandalkan kesuburan tanah alami, tanpa pupuk kimia. “Kita hanya mengandalkan kesuburan tanah. Kalau proses penanaman bagus dan pelindung baik, pasti tumbuh.”

Salah satu keunikan kopi,  katanya, ia tak berhama. Tanaman kopi, hanya berpengaruh pada curah hujan tinggi. Tingkat kelembaban tinggi dapat mempengaruhi biji. Jadi, kata Yonatan, kopi memerlukan dukungan pemerintah agar berkembang menjadi komoditas andalan dataran tinggi Pipikoro.

Kepemilikan kopi hampir merata pada setiap rumah tangga dengan luas beragam. Rata-rata lahan antara 0,5  sampai dua hektar setiap keluarga. “Semua rumah tangga punya pohon kopi.”

Pembibitan kopi sederhana, hanya disemai dalam demplot, setelah tumbuh dicabut dan ditanam di kebun.

Kopi dijual ke Gimpu Kulawi Selatan. Warga menjual sendiri-sendiri. Rerata produksi sekali panen antara 50-100 ton dan penjualan biji mentah.

Menurut Sibulon Sohi, petani kopi Desa Pelempea, dataran tinggi Mapahi dan Pelempea, tumbuh kopi robusta. Dalam satu hektar, sekali panen rata-rata 50 kaleng, satu kaleng enam kilogram kopi. Jadi, produksi kopi sekali panen rata-rata 300 kilogram perhektar.

Kain kulit kayu dalam proses pembuatan. Foto: Andika Dhika
Kain kulit kayu dalam proses pembuatan. Foto: Andika Dhika

 

Toratima

Di Mapahi, juga ada produk andalan, kopi toratima. Papa Ira, petani kopi sekaligus pengojek mengatakan, toratima ini kopi diambil dari sisa makanan kelelawar.

“Kalau saya lihat, perkembangan tahun ke tahun, motivasi masyarakat tinggi untuk budidaya kopi. Apalagi ada toratima,” katanya.

Sejak dulu, mereka suka minum kopi. Toratima dianggap istimewa karena bisa dikonsumsi anak-anak dan dipercaya bisa menyembuhkan demam tinggi.

“Jika musim datang kami mengumpul kopi dari pukul 8.00-2.00 siang. Sehari biasa kami mengumpulkan satu kaleng atau empat kilogram. Sekali berangkat memungut kopi, dua sampai tiga orang.”

Pekerjaan ini, katanya, ditekuni perempuan, jarang disukai lelaki karena memerlukan kesabaran. “Kita harus jongkok merayap di di bawah pohon kopi, diantara ranting, mendaki dan menurun mencari biji sisa kunyahan kelelawar. Laki-laki hanya suka merawat pohon dan memetik kopi.”

Warga Mapahi juga menanam padi. Musa M Pasa,  Pj. Kades Mapahi mengatakan, sebelum ada traktor panen padi hanya dua kali setahun. Setelah pakai traktor, pada 2015, panen jadi tiga kali setahun.

Infrastruktur seperti jembatan gantung dan bronjong juga dibuat menggunakan dana desa. Pada 2015, dibangun bronjong untuk membendung air yang mengalir ke sawah, sekaligus tenaga mikrohidro, dan konsumsi rumah tangga.  Begitu juga pembangunan tanggul bendungan. Irigasi manual dibangun swadaya mengalirkan air sungai ke sawah-sawah masyarakat.

Menurut Yonatan, pengembangan kopi dan padi berjalan beriringan. Luas sawah di Pelempea sekitar 60 hektar, dipanen dua kali setahun. Rata-rata produksi padi sekali panen 50 ton.

Padi,  katanya, hanya memenuhi pangan desa, itupun kadang tak mencukupi, hingga sebagian dipasok dari luar.

 

 

Harga selangit

Rahmat Saleh, Direktur Karsa Institut mengatakan, infrastruktur buruk menyebabkan harga terutama bahan bangunan, sampai tiga kali lipat.

Biaya membangun satu gereja bisa miliaran rupiah. Pandangan kesejahteraan orang di Pipikoro, juga makin dipengaruhi pasar, misal, bangunan, sebagus apapun kalau bukan beton permanen, dianggap belum sejahtera. Kondisi ini, katanya memicu orang berlomba-lomba membangun rumah beton. Mereka rela membeli semen dan mendatangkan ke Pipikoro walalupun harga sangat mahal.

Wakil Bupati Sigi Paulina Martono membenarkan soal infrastruktur.  Jadi , program utama daerah membangun infrastruktur. “ini digiatkan, terus membuka akses mendorong Sigi menjadi kabupaten penyangga ekonomi masyarakat sekitar hutan.”

Kala akses terbuka, katanya, daerah ini akan terhubung dengan semua wilayah sekitar. Warga, katanya, bisa berinteraksi ke Poso, Sulawesi Selatan. Sigi bisa sejajar dengan kabupaten lain dari ekonomi dan pembangunan. “Kita akan bangun kerjasama antarprovinsi dan kabupaten, hingga produk petani menjadi perdagangan potensial.”

Di Pipikoro, ada 19 desa dan 40 dusun, bagian timur Desa Mamu, Masewo, Banasu, Mapahi, Pelempea, dan Tuo Tani Jaya. Bagian tengah, Desa Morui I, Morui II, Koja, dan Peana. Bagian barat, terdiri dari Poluroa, Kantewu, Onu, Porelea, Porelea II, Lonebasa, dan Lawe. Pipikoro, bagian barat berbatasan dengan Kulawi, dan selatan Kalamanta berbatasan langsung dengan Seko, Luwu Utara, Sulawesi Selatan.

Smart P. Tapue, Camat Pipikoro, mengatakan, masalah mendesak warga Pipikoro ada empat hal, yakni, infrastruktur, informasi, saranan pendidikan formal dan layanan kesehatan.

Dengan penduduk Pipikoro sekitar 2.350 keluarga tersebar pada 19 desa ini, hanya ada dua puskesmas pembantu di dua desa: Banasu dan Kantewu. Pada tujuh bagian timur belum ada sekolah menengah pertama dan atas.

Lahan Pipikoro sebagian besar,  hutan lindung. Ia mudah terlihat plang dan patok-patok hutan sepanjang jalan.

Bagi setiap camat yang menjabat di Pipikoro, kata Smart, harus bisa mengendarai motor sendiri dan paham daerah.

“Kalau mengandalkan ojek, gaji sebulan bisa habis untuk biaya transportasi. Saya berkeliling sendirian bawa motor dari desa satu ke desa lain.  Kalau tak ada rapat di kabupaten, kerja saya keliling desa dan kampung.”

Rata-rata jarak tempuh dari satu desa ke yang lain antara 8-14 kilometer. Pembukaan jalan mulai dikerjakan baru jalur Peana-Kalamanta sepanjang 49 kilomoeter lebar delapan meter. Rencananya, jalan ini menjadi jalan nasional, menghubungkan Sulteng dan Sulsel, lewat pintu Kalamanta-Seko. Jalan ini melewati sekitar tujuh desa di Pipikoro, Peana, Pelempea, Banasu, Mapahi, Masewo, Mamu, dan Kalamanta. Habis

Bagian pertama tulisan Pipikoro

Wakil Bupati Sigi Paulina Martono. Foto: Andika Dhika
Wakil Bupati Sigi Paulina Martono. Foto: Andika Dhika
Warga Pipikoro, panen kopi. Foto: Andika Dhika
Warga Pipikoro, panen kopi. Foto: Andika Dhika
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,