, ,

Konsistensi Halim Menolak Investasi di Wilayah Adat Kaluppini

Namanya Abdul Halim, meski warga lebih mengenalnya dengan nama Papa Devi. Meski baru berusia 38 tahun, dalam struktur adat ia termasuk dalam jajaran pemangku adat tertinggi yang disebut Tallu Appa’e atau empat orang pemangku adat utama dengan posisi sebagai Imam. Tugasnya mengurus hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan di komunitas adat Kaluppini yang berada di Kecamatan Enrekang, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.

Meski berperan sebagai imam kampung, Halim dikenal sebagai tokoh adat yang terbuka, kritis dan melek teknologi. Di komunitas, ia menjadi juru bicara ketika menerima tamu dari luar.

Setiap hari disibukkan oleh berbagai aktivitas ritual adat dan keagamaan memberi keterikatan tersendiri bagi Halim dengan adat istiadat di daerahnya. Ikatan yang membuatnya merasa terancam ketika godaan bujuk rayu investasi mulai mengintai daerahnya.

Dalam sebuah perbincangan dengan Mongabay di Enrekang, Sabtu (21/5/2016) Halim bercerita bagaimana perjuangannya mengajak warga menolak masuknya investasi sawit dalam skala luas di wilayah adatnya.

Cerita ini berawal ketika akhir April 2016 lalu Halim mendengar rumor adanya mobilisasi dan sosialiasasi sawit yang dilakukan PT Borneo di Desa Lembang, salah satu desa yang masih termasuk dalam wilayah adat Kaluppini. Tomakaka selaku pemangku adat tertinggi Kaluppini, bahkan dikabarkan sudah setuju dan menandatangani kesepakatan dengan pihak perusahaan.

Untuk memastikan rumor tersebut, Halim mengakui segera menemui Tomakaka di rumahnya.

“Saya bertemu dengan Tomakaka menanyakan kabar tersebut dan memang ia mengakuinya demikian. Lama kami berbincang tentang sawit dan dampaknya bagi keberlanjutan adat istiadat Kaluppini. Jangan hanya dilihat dari keuntungannya  saja yang hanya sesaat. Setelah saya jelaskan ia baru mengerti dan menyatakan bersedia membatalkan kesepakatan tersebut.”

Berbekal izin dari Tomakaka ini, Halim pun menemui warga Desa Lembang, yang berada di sisi selatan wilayah adat Kaluppini. Ia didampingi salah satu pemangku adat lainnya, yaitu satu dari Dewan Adat yang disebut Tomasituru. Ia juga dikawal panglima adat yang disebut Ambelorong.

“Saya sempat agak takut juga karena suasananya pasti tegang. Makanya saya juga mengikutkan pemangku adat yang lain,” tambahnya.

Halim pun mengumpulkan seluruh warga di balai desa, termasuk Kepala Desa, yang belakangan Halim ketahui sebagai pihak penghubung perusahaan dengan warga. Bukannya memberi pengarahan, Halim malah memutar film dokumenter berjudul ‘Wilayah Kehidupan’ yang diperolehnya dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel.

“Saya tidak berpanjang lebar menjelaskan, tapi langsung putar filmnya. Biarkan mereka sendiri yang memahami film tersebut.”

Menurut Halim, film yang di dalamnya menceritakan sisi negatif perkebunan sawit ini ini ternyata berhasil menggugah kesdaran warga. Setelah pemutaran film itu sebagian besar warga menjadi ragu dengan niatan semula.

Hutan memiliki peran penting bagi masyarakat adat Kaluppini di Kecamatan Enrekang, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan sebagai ruang spiritual. Sejumlah hutan dikeramatkan karena memiliki beragam situs-situs penting, yang juga menjadi wilayah aktivitas bagi sejumlah aktivitas ritual adat dan keagamaan. Keberadaan sawit dikhawatirkan akan mengancam keberadaan situs-situs ini. Foto: Wahyu Chandra
Hutan memiliki peran penting bagi masyarakat adat Kaluppini di Kecamatan Enrekang, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan sebagai ruang spiritual. Sejumlah hutan dikeramatkan karena memiliki beragam situs-situs penting, yang juga menjadi wilayah aktivitas bagi sejumlah aktivitas ritual adat dan keagamaan. Keberadaan sawit dikhawatirkan akan mengancam keberadaan situs-situs ini. Foto: Wahyu Chandra

Mereka tidak lagi sekedar melihat aspek hanya keuntungan sawit saja, tapi juga sisi negatifnya bagi keberlangsungan lahan dan mata pencaharian mereka.

“Mereka mengakui kalau memang sempat tergiur dengan penghasilan yang dijanjikan perusahaan. Hanya saja mereka tak sadar kalau sebenarnya mereka justru akan menjadi buruh di kebun sendiri. Kepala Desa Lembang sendiri kemudian berdalih bahwa selama ini belum ada kesepakatan apa-apa dengan perusahaan, baru sebatas sosialisasi saja,” jelas Halim.

Berdasarkan penjelasan warga, menurut Halim, skema kerjasama yang ditawarkan perusahaan adalah bagi hasil, dimana warga yang menanam sawit di kebun mereka dengan sistem kontrak 32 tahun, akan mendapatkan bagian 20 persen, sementara perusahaan sebanyak 80 persen yang dimulai pada tahun keempat.

Menolak Tambang

Cerita Halim menolak rencana investasi di daerahnya ternyata bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya ia juga pernah menolak hadirnya tambang emas di tahun 2013, tepatnya di Dusun Kajao, Desa Kaluppini.

Sebuah konsultan tambang dari Korea sudah menyatakan wilayah Kaluppini kaya dengan emas. Persiapan sosial tambang ini sudah dilakukan Pemda Enrekang. Para pemangku adat lain sudah setuju, termasuk Tomakaka yang diundang khusus ke rumah jabatan bupati. Izin dari Bupati Enrekang yang ketika itu dijabat Latinro Latunrung, pun sudah hampir diberikan.

“Dalam puncak perayaan Maulid di Kaluppini, Pak Bupati khusus datang memberi sambutan dan mulai sosialisasi tambang emas ini. Ia bilang akan segera turun tim survey,” jelas Halim.

Setelah turun dari mimbar, Halim menanyakan kembali keinginan Bupati itu.

“Saya tanyakan kepada Bupati, Kaluppini dikenal dengan apanya? Lalu beliau menjawab dengan adat istiadat. Lalu saya katakan lagi, kalau begitu mana yang lebih penting tambang emas atau adat istiadat yang terjaga? Kalau memang tambang lebih penting maka silahkan lanjutkan tanpa harus survey lagi.”

Kondisi alam Kaluppini, Enrekang, Sulsel, yang terjal dan berbatuan diyakini memiliki kandungan emas yang cukup besar, dan bahkan telah dinyatakan layak tambang oleh sebuah inestor dari Korea. Foto: Wahyu Chandra
Kondisi alam Kaluppini, Enrekang, Sulsel, yang terjal dan berbatuan diyakini memiliki kandungan emas yang cukup besar, dan bahkan telah dinyatakan layak tambang oleh sebuah inestor dari Korea. Foto: Wahyu Chandra

Mendengar pertanyaan tersebut, kisah Halim, Latinro hanya tersenyum dan menepuk paha Halim. Dan setelah itu tak pernah lagi terdengar tentang kelanjutan rencana tambang emas tersebut.

Ruang Spiritual

Kenapa Halim bersikukuh menolak investasi di daerahnya, meski dengan iming-iming kesejahteraan yang cukup besar?

Halim mengakui adat istiadat Kaluppini adalah kekayaan yang tiada duanya dibandingkan apapupun. Ketika investasi masuk, baik itu sawit ataupun tambang, ia mengkhawatirkan seluruh tatanan budaya yang ada akan ambruk seiring dengan masuknya secara bebas pengaruh dari luar.

Tidak hanya itu, lanjutnya, bagi masyarakat Kaluppini alam tidak hanya merupakan wilayah kelola untuk penghidupan tetapi juga merupakan ruang spritual yang harus selalu terjaga.

“Keberadaan investasi dari luar justru berpotensi merusak semua tatanan adat dan agama yang sudah ada dan terjaga selama ini,” tambahnya.

Meski tanpa ada investasi yang masuk di daerahnya, Halim tidak merasa berkecil hati. Ia bersama warga Kaluppini lainnya kini bahkan tengah berupaya mengembangkan pertanian organik untuk komoditas padi, jagung dan tanaman hortikutura lainnya.

Aktif di Media Sosial

Di sela kesibukannya mengurus ritual adat di daerahnya, Halim ternyata tidak menutup diri dari dunia luar, meski daerahnya cukup terisolir dari luar karena berada di ketinggian, dengan kondisi jalan yang berliku dan curam.

Ia memiliki seperangkat peralatan teknologi seperti laptop dan smartphone, yang digunakannya untuk beraktivitas di media sosial, khususnya Facebook.

“Saya banyak memperoleh informasi dari luar melalui Facebook. Teman saya sudah sekitar 2000-an orang. Berita-berita lingkungan, seperti dari Mongabay juga saya dapatkan di Facebook,” katanya.

Halim bahkan membuat grup tertutup di Facebook, yang hanya beranggotakan pihak keluarga, kerabat Kaluppini, baik yang berdomisili di dalam atau pun di luar Kaluppini di berbagai daerah.

“Grup ini saya buat secara tertutup karena berisi diskusi-diskusi yang khusus tentang Kaluppini. Informasi tentang jadwal kegiatan-kegiatan juga biasa bagi di sini untuk keluarga yang jauh.”

Melalui Facebook, Halim sering membagi informasi dan foto-foto terkait aktivitas ritual di Kaluppini.

Facebook bagi Halim juga dijadikan sebagai alat perjuangan. Di salah satu statusnya di Facebook ia menulis:“Musuh komunitas adat yang sama di seantero Jagad adalah kapitalis yang tak berjiwa.”

Status lain yang mendapat respon yang cukup banyak adalah: “Apabila sebuah aturan sudah tidak lagi berfungsi di sebuah komunitas, maka keseimbangan ekonomi dan ekologi akan hilang dari masyarakat tersebut dan efek buruknya akan kembali kepada mereka sendiri.”

Halim juga berinisitaif membuat film dokumenter ritual pangewaran atau maccera manurung, sebuah ritual delapan tahunan yang sangat disakralkan, meski sempat ditentang pemangku adat yang lain.

“Sebenarnya pemangku adat lain tak setuju dengan publikasi tersebut karena dianggap akan mengurangi nilai kesakralan, tapi saya berhasil meyakinankan mereka akan pentingnya pendokumentasian tersebut agar bisa menjadi pembelajaran dan pelestarian budaya.”

Desa Kaluppini sendiri yang menjadi pusat wilayah adat Kaluppini berjarak sekitar 9 km dari Kota Enrekang dengan ketinggian 800 mdpl. Berdasarkan data dari Unit Kerja Pelayanan Pemetaan Partisipatif (UKP3) populasi komunitas ini sekitar 1085 jiwa, meski jumlah ini masih berupa perkiraan kasar berdasarkan data administrasi desa.

Wilayah adat Kaluppini mencakup 5 desa di Kecamatan Enrekang, yaitu Desa Kaluppini, Tobalu, Lembang, Rossoan dan Tokkonan. Luas wilayah diperkirakan mencapai 68,8 km2.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,