,

Hari Lingkungan dan Sambut Ramadhan, Perempuan Pesisir Kulon Progo Berbagi Hasil Bumi

Ratusan petani terlihat memenuhi pinggiran jalan lintas selatan, Kecamatan Temon, Pesisir Kulon Progo, Yogyakarta, Minggu (5/6/16). Mereka tergabung dalam Wahana  Tri Tunggal (WTT) dan Perempuan Pejuang Anti Penindasan (PPAP), penolak pembangunan bandara baru di Kulon Progo.

Di mobil bak terbuka tampak tumpukan hasil panen. Ada cabai, terong, oyong, pare, sawi, kangkung, daun ketela. Sayur mayur ini terbungkus kantong siap dibagikan kepada setiap pengendara yang melintas. Ada 700 paket. “40 negara yang mendukung perjuangan petani di Kulon Progo.” Begitu tulisan baliho berukuran sekitar 2×5 meter terpasang di pinggir jalan.

Martono, koordinator WTT mengatakan, aksi petani membagikan hasil tanam ke pengguna jalan, sekaligus peringatan Hari Lingkungan Hidup dan menyambut Ramadhan. Hasil pertanian itu, katanya, simbol lahan pertanian produktif akan terampas pembangunan bandara.

Aksi ini, katanya, ingin menjelaskan kepada pemerintah bahwa lahan seluas 645,63 hektar di Desa Glagah, Palihan, Sindutan, Jangkaran dan Kebon Rejo, merupakan pertanian subur dan tak layak jadi bandara internasional.

Pembangunan bandara, berawal kesepahaman antara Pemerintah Indonesia melalui PT Angkasa Pura I, dengan investor India GVK Power & Infrastructure.  “Pembangunan bandara mengusir petani,” kata Martono.

Muhamdi, warga pesisir Kulon Progo tak habis pikir memilih pembangunan bandara pada lahan pertanian produktif petani. Lahan produktif ini, katanya, memberikan lapangan pekerjaan baik penduduk setempat maupun luar daerah sebagai buruh petik, tengkulak, sampai penyedia pupuk dan benih.

Kesempatan berbeda Yogi Zul Fadhli, pendamping warga dari LBH Yogyakarta, mengatakan, dalam izin penetapan lokasi sebagai dasar kelanjutan rencana pembangunan bandara, berbagai pejabat menyatakan wilayah Temon, Kulon Progo, tak subur dan bukan lahan pertanian produktif.

LBH melihat, riset Buku Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah, yang dibuat pemrakarsa Angkasa Pura I tak jujur dan diterima begitu saja oleh Gubernur Yogyakarta. Dokumen itu, katanya, hanya menyebutkan ada sedikit komoditas pertanian, hanya kentang, umbi dan kacang-kacangan. Belum lagi tak ada Amdal dan Izin lingkungan.

Kenyataan, banyak komoditas petani Pesisir Kulon Progo, termasuk di Temon. Lahan pesisir terkenal karena memiliki gumuk pasir—dulu diragukan bisa ditanami—berkat ketekunan petani berhasil membuahkan beragam hasil tani. Ia tak sebanding jika harus diubah menjadi bandara. Terlebih, petani nanti terpaksa menjadi tukang parkir, juru angkut barang, cleaning service, pelayan kantin dan pekerjaan lain. “Hak mereka, ingin menjadi petani,” kata Yogi.

Aksi para perempuan Kulon Progo memperingati Hari Lingkungan dan menyambut Ramadhan. Foto: Tommy Apriando
Aksi para perempuan Kulon Progo memperingati Hari Lingkungan dan menyambut Ramadhan. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,