Taman Eko-Arkeologi: Peluang Baru Pengembangan Wisata Bawah Laut Natuna

Laut Natuna memiliki kekayaan arkeologis yang berpadu dengan berbagai biota laut, diantaranya di tempat kapal tenggelam dan taman kima terbesar di Indonesia. Bagaimana ceritanya?

Potensi wisata di dasar laut masih banyak yang dapat dieksplorasi. Termasuk bagi tujuan wisata minat khusus, yaitu menyelam di bangkai kapal tenggelam. Saat ini wisata jenis ini telah menjadi trend dan terbukti mempesona dan banyak mendapat kunjungan para divers. Dari dampak perekonomian, wisata ini akan mampu menambah pendapatan daerah dan pembangkit geliat ekonomi masyarakat di tingkat lokal.

Keunikan dari wisata ini adalah, penyelam dapat melihat bagian kapal yang tenggelam, sekaligus melihat komunitas ikan bergerombol (school fish) yang menjadi penciri utama yang dapat dingat orang yang pernah berkunjung ke lokasi tersebut.

Mengacu kepada penjelasan Reiner dan Ira dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Pesisir dan Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, peluang wisata ini dapat dibungkus dalam konsep taman laut eko-arkeologi, yaitu menyelam sambil melihat kapal dagang kuno yang bernilai sejarah.

Di beberapa tempat, wisata ini telah berjalan dan populer dikunjungi penyelam dari berbagai belahan dunia. Misalnya di Coron, Palawan-Filipina yang merupakan lokasi menyelam untuk melihat kapal perang Jepang era PD-II yang tenggelam. Juga di Tulamben, Bali, untuk melihat bangkai kapal Liberty, kapal yang tenggelam di lautan ini.

Salah satu lokasi potensial untuk pengembangan eko-arkeologi berada di lepas Pulau Laut-Natuna, wilayah Indonesia yang berbatasan laut dengan Vietnam, yang hingga saat ini masih minim ekspos.

Kondisi kapal masih terlihat jelas bagian-bagiannya dan jenis karang Plerogyra sinuosa, Euphyllia yaeyamaensi, Physogyra lichteini dan anemon beserta ikan nemo mendukung keindahan kapal bagi pecinta selam. Foto: Ofri Johan
Kondisi kapal masih terlihat jelas bagian-bagiannya dan jenis karang Plerogyra sinuosa, Euphyllia yaeyamaensi, Physogyra lichteini dan anemon beserta ikan nemo mendukung keindahan kapal bagi pecinta selam. Foto: Ofri Johan

Diantara kapal yang tenggelam di lautan ini yaitu kapal “Fatana”. Kapal kayu ini tenggelam sekitar tahun 1986, memiliki panjang 75 m dan lebar 1 m. Kapal ini masih dapat terlihat dengan jelas bagian-bagian dan sisa-sisa barang seperti tali dan kabel. Ruang-ruang kapal yang besar dan gelap saat ini menjadi tempat persembunyian berbagai jenis ikan besar.

Berdasarkan cerita masyarakat setempat, kapal tersebut berpenumpang sekitar 15 orang yang berlayar dari Kuching, Malaysia menuju Muangthai di wilayah Thailand. Namun karena adanya ombak besar, kapal terbawa ke karang dan kandas di atas karang, dan bergeser lebih kedalam hingga posisinya saat ini.

Ikan kerapu berukuran besar, berdasarkan penuturan masyarakat, dapat dijumpai di lokasi “Fatana” tenggelam. Meski saat penulis melakukan survei, ikan tersebut belum berhasil didokumentasikan. Selain ikan besar juga banyak ikan kecil kelompok ikan teri yang selalu berkelompok dan menggunakan bagian bawah kapal sebagai tempatnya bersembunyi.

Keelokan lain dari lokasi ini adalah bagian kapal yang ditempeli oleh berbagai biota dan karang yang berwarna warni. Ditambah adanya berbagai jenis anemon dan ikan nemo (clown fish) yang menarik para pehobi fotografi bawah laut.

Pengamatan penulis, jenis-jenis karang yang teridentifikasi tumbuh di lokasi diantaranya Physogyra sp, Plerogyra sp, Euphyllia ancora, Symphyllia sp dan Goniopora spp. Karang tersebut mengeluarkan tentakel yang transparan pada saat kondisi normal seperti jenis-jenis Physogyra sp, Plerogyra sp dan Euphyllia spp., namun apabila terganggu tentakel itu akan ditarik untuk berlindung pada bagian skeletonnya.

Supaya karang tetap indah dengan tentakelnya, penyelam harus mengupayakan agar karang jangan sampai terganggu dengan gerakan air, termasuk gerakan fins yang akan dapat mengangkat sedimen di dasar sehingga perairan menjadi keruh.

Penyelaman di lokasi ini berada pada kedalaman 18-27 m, yang membuat waktu berlalu begitu cepat. Dua kali masa penyelaman, masing-masing berdurasi satu jam belumlah cukup untuk menikmati keindahan yang ada. Pengalaman penulis, penyelaman harus diakhiri karena terbatasnya oksigen dalam tabung yang harus menyisakan deco-stop, untuk mengikuti aturan penyelaman terutama di lokasi yang dalam, dimana harus berhenti sesaat pada kedalaman 5 m sesuai panduan komputer selamnya.

Bagian-bagian guci yang tersisa di dasar laut bercampur dengan pasir dan karang di sekitar lokasi
Bukti tinggalan arkeologis. Bagian-bagian guci yang tersisa di dasar laut bercampur dengan pasir dan karang di sekitar lokasi. Foto: Ofri Johan

Selain kapal “Fatana” yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat beberapa kapal tenggelam lain di seputar wilayah ini, seperti:

Kapal teh. Lokasi ini serupa dengan lokasi kapal sebelumnya. Berdasarkan cerita, kapal Tiongkok ini membawa banyak teh sehingga konon saat kapal ini tenggelam perairan berubah pekat sewarna teh. Kapal ini terbuat dari besi, dengan beberapa bagian kapal yang masih tampak utuh. Namun sayangnya, lemahnya perhatian pemerintah untuk penyelamatan aset wisata dan obyek arkeologi ini, menyebabkan sebagian badan kapal telah hilang, karena diambil besinya untuk dijual sebagai besi kiloan.

Kapal Qing. Kapal ini sebagian besar sudah tidak ditemukan lagi bangkainya, sebagian sudah tertimbun oleh pasir dan hancur dimakan usia. Bagian yang ditemukan hanyalah pipa besi berukuran besar yang tampaknya merupakan bagian dari cerobong asap dari sebuah kapal berukuran besar.

Kapal Era Yuan. Kapal ini membawa barang-barang seperti guci, piring keramik, teko dan barang lainnya yang saat ini sudah tertutup oleh pasir dan karang. Kapal ini berada pada kedalaman 8 m. Badan kapal saat ini tidak ditemukan lagi, hancur karena faktor usia yang sudah ratusan tahun. Barang arkeologis yang ditemukan pun kondisinya sudah rapuh. Tanpa adanya pengelolaan yang baik, benda-benda ini dikhawatirkan akan habis dijarah. Salah satu cara untuk tetap menjaga aset ini, adalah melalui cagar lokasi, maupun museum khusus bagi barang yang telah diangkat ke permukaan.

Kapal Vietnam. Kapal ini digunakan oleh pengungsi Vietnam yang datang ke Indonesia semasa berkecamuk perang di negara tersebut. Bagian kapal masih terlihat pada kedalaman 1,5 m, sehingga cocok untuk lokasi snorkeling. Lokasi ini pun dikelilingi oleh karang hasil transplantasi yang dilakukan aparat penjaga perbatasan bersama masyarakat dan pemda setempat.

Kima mulai ukuran 50 cm hingga 1,5 m ada dalam satu areal, sangat potensi untuk objek wisata di Pulau Laut. Foto: Ofri Johan
Kima mulai ukuran 50 cm hingga 1,5 m ada dalam satu areal, sangat potensi untuk objek wisata di Pulau Laut. Foto: Ofri Johan

Taman Kima terbesar dan pertama di Indonesia

Keunikan lain dari dasar laut Natuna adalah berbagai jenis kima berukuran besar antara 50 -100 cm yang berjumlah ribuan individu yang ada dalam satu bentang kawasan. Menurut cerita, asal-usul berbagai kima ini berasal dari perdagangan kima ilegal. Kima tidak bisa dibawa karena tidak adanya surat dari instansi terkait, sehingga hingga saat ini masih ditempatkan dalam satu lokasi. Saat melakukan penyelaman, penulis menjumpai sekitar 7 individu yang berukuran lebih dari 1 m, satu fenomena yang jarang dapat ditemukan di daerah lain.

Saat ini, habitat penempatan kima tidak mendukung karena langsung berada di depan dermaga dan di bawah keramba jaring apung (KJA) yang memiliki substrat dasar dominan berupa pasir. Kondisi ini membuat kima perlu berjuang hidup diantara pasir dan sedimentasi yang tinggi.

Kedepannya, kawasan sea farming kima ini perlu dipindahkan ke lokasi yang menarik dan cocok sebagai tempat snorkeling sehingga dapat menjadi lokasi representative bagi para pengunjung.

Sekali lagi apabila potensi ini di kemas dalam bentuk wisata tentunya akan sangat menarik. Disamping akan mendukung program penyelamatan kima juga akan mendorong perekonomian masyarakat sekitar. Secara tidak langsung maka kesadaran masyarakat untuk menjaga dan memelihara biota laut pun akan turun meningkat.

* Dr. Ofri Johan, M.Si. Penulis adalah Peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias Depok, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,