, ,

Asa Anak Rimba di Tengah Pusaran Konflik Sumber Daya Alam

Besigar, Perba, Berujung, Budi dan Besiar, tampak berseri-seri ketika membuka amplop putih berisi kelulusan mereka. Kelima anak Orang Rimba ini  sudah mengikuti ujian nasional Sekolah Menengah Pertama (SMP) Satu Atap Sarolangun, beberapa waktu lalu. Mereka lulus!

Anak-anak ini berencana masuk sekolah menegah kejuruan. “Kami akan melanjutkan SMK. Nanti dibantu Warsi,” kata Besigar.

Shasa, Fasilitator Pendidikan Orang Rimba Warsi mengatakan, keinginan mereka melanjutkan ke SMK perlu dibicarakan dengan anak-anak dan orangtua. Kalau masuk SMK, katanya, pola akan berbeda. Selama ini, anak-anak Rimba, masih sekolah terbuka, tak setiap hari masuk kelas. Hanya beberapa hari di sekolah, selebihnya guru-guru Warsi membantu pendalaman.  “Jika SMK,  mereka harus full jam sekolah, gak bisa separo-separo lagi seperti waktu SMP dan SD,” ucap Shasa.

Persetujuan orangtua penting, mengingat mereka akan tinggal berjauhan. “Mereka akan jauh dari rimba dan kemungkinan tinggal di kosan dekat sekolah. Apakah mau dan setuju begitu? Atau punya pendapat lain guna melanjutkan sekolah.”

Menurut dia, masih perlu pendampingan intensif bagi anak-anak rimba jika mau melanjutkan sekolah jauh dari rimba. Apalagi, jika harus bersaing dengan anak-anak lain. “Adakala mereka masih kurang percaya diri bergaul dengan anak-anak lain. Ini akan kita bicarakan lagi dengan mereka.”

Sejauh ini, katanya,  banyak anak Rimba kesulitan berinteraksi dan melanjutkan pendidikan. Tahun lalu ketika Beteguh sedang menempuh pendidikan di SMA di Kota Jambi, awal bersemangat. Kemampuan akademik Beteguh termasuk baik, ternyata sekolah sangat jauh dari rimba dan orangtua jadi kendala tersendiri. Meski semua keperluan sekolah tersedia, bahkan dukungan sekolah sangat baik, katanya, apa daya, baru satu semester, pemuda ini meminta kembali ke rimba. Kini mengambil sekolah terbuka.

“Kita memang lebih waspada setelah kejadian Beteguh meski sekarang dia tetap melanjutkan sekolah dan tinggal bersama kelompoknya, makanya untuk kelima anak rimba yang baru lulus ini kita juga masih harus mendiskusikannya lagi secara detail dengan anak-anak tersebut dan juga orang tuanya,”lanjut Shasa.

Kelulusan ini menjadi mimpi baru bagi komunitas yang saat ini terjepit dalam konflik perebutan sumber daya alam. Baru-baru ini, Orang Rimba terusir dari tempat hidup fdi perkebunan sawit PT BKS.

Robert Aritonang, Manajer Pemberdayaan Warsi menyebutkan, pendidikan poin penting untuk mereka mempertahankan hak-haknya sebagai warga negara. “Pendidikan minim membuat mereka kehilangan hak. Akses minim dan ketidakterjangkauan pemerintah membuat Orang Rimba makin termarjinalkan dan miskin,” katanya.

Data Warsi soal konflik pengelolaan SDA melibatkan Orang Rimba makin meningkat. Dalam 10 tahun, ada 13 nyawa Orang Rimba hilang dalam pusaran konflik perebutan SDA.

Deforestasi di Jambi, hutan terbuka menjadi sawit maupun kebun tanaman (HTI). Foto: Warsi
Deforestasi di Jambi, hutan terbuka menjadi sawit maupun kebun tanaman (HTI). Foto: Warsi

 

Hutan berkurang, konflik meningkat

Kehilangan tutupan hutan terus terjadi di Jambi. Berdasarkan interpretasi Lansat 8 Unit Geographic Information System Warsi, dalam empat tahun (2012-2016) Jambi kehilangan tutupan hutan 189.125 hektar. Dari Interpretasi 2012, total hutan Jambi masih 1.159.559 hektar, pada 2016 tinggal 970.434 hektar.

Berdasarkan UU 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan dalam pelestarian lingkungan hutan mesti dipertahankan minimal 30% dari luas daerah aliran sungai. Jambi ada empat DAS yaitu DAS Batanghari, DAS Betara, DAS Hitam Hulu dan Tandas Mendahara. Dengan kondisi hutan kurang satu juta hektar, Jambi sudah kritis.

“Hilangnya tutupan hutan Jambi hampir delapan kali lapangan bola per jam. Ini cukup besar di tengah upaya mempertahankan hutan tersisa sebagai penyeimbang ekosistem,” kata Rudi Syaf Manajer Komunikasi Warsi.

Kehilangan hutan paling banyak terpantau di selatan Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Kawasan ini terpantau ada land clearing sejumlah perusahaan hutan tanaman industri (HTI) seperti PT Lestari Asri Jaya, PT Wana Mukti Wisesa. Di Bungo, ada perusahaan PT Mugitriman Internasional, PT Malaka Agro Perkasa. Di Merangin juga beroperasi PT Hijau Arta Nusa dan PT Jebus Maju.

Tak hanya itu,  dari pantauan lapangan kehilangan hutan dari pembukaan lahan ilegal oleh pihak-pihak lain, seperti di Tebo, terutama sejak akses jalan ke hutan dengan pembangunan koridor jalan menghubungkan HTI Sinar Mas dengan pabrik pengolahan kayu di Tebing Tinggi, Tanjung Jabung Barat.

Pembukaan lahan masif juga terlihat di Merangin, terutama Jangkat dengan pembukaan TNKS dan penyangga untuk perkebunan kopi.

“Dengan pembukaan jalan di Bukit Tiga Puluh menyebabkan Orang Rimba makin terjepit. Dari data-data kita, konflik di daerah itu sangat tinggi melibatkan Orang Rimba. Tutupan hutan hilang, membuat mereka makin kehilangan akses dan sumber penghidupan.”

Lahan-lahan ini dulu hutan, kini hilang. Orang Rimba, pun makin terjepit. Foto: Warsi
Lahan-lahan ini dulu hutan, kini hilang. Orang Rimba, pun makin terjepit. Foto: Warsi

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,