,

Impor Ikan Adalah Ironi untuk Indonesia, Negeri Kaya di Laut

Meski Indonesia sukses menerapkan pemberantasan perikanan ilegal sejak akhir 2014, tetapi kritikan tajam tetap dialamatkan kepada Pemerintah Indonesia yang dinilai gagal mengendalikan pasokan ikan secara nasional. Akibatnya, untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia, kebutuhan ikan terpaksa dikirim dari negara lain alias diimpor dengan jumlah yang besar.

Kritikan tersebut diungkapkan Ketua Umum Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia (Ganti) Rokhmin Dahuri, kemarin. Menurut dia, meski sebelumnya Indonesia juga sudah pernah melakukan impor, namun itu biasanya berupa tepung ikan sebagai bahan baku untuk industri pakan ternak dan ikan.

“Selain itu ada juga jenis-jenis ikan yang tak bisa diproduksi di dalam negeri, seperti Salmon dan Kepiting Alaska. Namun, impor kedua produk laut tersebut dilakukan dalma volume terbatas dan dengan nilai kecil,” ucap dia.

Rokhmin kemudian mencontohkan, pada 2004 total nilai ekspor perikanan Indonesia mencapai sebesar USD2,9 miliar, sementara nilai impornya hanya USD0,1 miliar.  Lalu, pada 2014 nilai ekspor perikanan mencapai USD4,7 miliar, dan nilai impornya mencapai USD0,46 miliar.

Melihat kenyataan tersebut, Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu mengaku sedih karena Indonesia sejak lama menyandang sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, yang tiga perempat wilayahnya adalah berupa lautan. Dari fakta tersebut, lautan Indonesia menyimpan potensi produksi lestari ikan laut yang besar hingga 7,3 juta ton per tahun atau sekitar 8 (delapan) persen dari total stok ikan laut di dunia.

“Di perairan umum darat yang mencakup danau, sungai, waduk, dan perairan rawa tawar, terdapat pula potensi produksi ikan 0,9 juta ton/tahun,” jelas dia.

Selain itu, Rokhmin menambahkan, total potensi produksi perikanan budidaya (aquaculture)  di laut, perairan payau (tambak), dan perairan tawar diperkirakan mencapai 60 juta ton per tahun. Ditambah total potensi produksi perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang mencapai total 68 juta ton per tahun, menurut dia, potensi produksi perikanan di Indonesia sudah bisa ditasbihkan sebagai yang terbesar di dunia. Fakta itu diungkap oleh badan pangan dunia (FAO) pada 2012 silam.

Dengan demikian, jumlah tersebut tidak hanya banyak, tapi juga dinilai bisa mencukupi kebutuhan ikan dalam negeri. Karena, dengan konsumsi ikan per kapita sekitar 38 kilogram dari jumlah penduduk 254 juta, maka total kebutuhan ikan nasional sejatinya hanya mencapai 9,7 juta ton per tahun.

“Artinya, jika sektor perikanan dikelola secara cerdas dan benar, Indonesia tak hanya akan mampu memasok ikan untuk kebutuhan domestik, tetapi juga bisa mengekspor beragam produk perikanan untuk kebutuhan global secara berkelanjutan,” tutur dia.

Produksi Ikan Naik karena Moratorium eks Kapal Asing?

Selain mempertanyakan tentang kebijakan impor ikan, Rokhmin kemudian mempertanyakan klaim dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang menyebut bahwa produksi ikan secara nasional meningkat sejak kebijakan moratorium eks kapal asing, transhippment, dan penggunaan seluruh jenis pukat hela dan pukat tarik diberlakukan.

“Seharusnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) jauh sebelumnya sudah mempersiapkan teknologi penangkapan ikan (kapal ikan dan alat tangkap) beserta SDM nelayannya yang mampu menangkap ikan yang berlimpah itu secara lebih produktif, efisien, dan ramah lingkungan,” ungkap dia.

Tidak hanya mempertanyakan tentang kesiapan memanfaatkan penambahan jumlah produksi ikan, Rokhmin mengaku bingung dengan kesiapan KKP saat ini. Karena faktanya, tidak ada pembenahan dalam sistem rantai dingin, transportasi, dan logistik perikanan.

“Karena tanpa persiapan memadai, produksi perikanan tangkap (volume pendaratan ikan) di hampir semua pelabuhan perikanan dan nilai ekspor perikanan pada 2015 turun drastis. Kalau pada 2014 nilai ekspor perikanan USD4,7 miliar, di 2015 terjun bebas menjadi hanya USD2 miliar saja,” papar dia.

Berikan Izin Melaut untuk Kapal-kapal

Agar kebijakan impor ikan tidak menjadi polemik, Rokhmin mengatakan, Pemerintah Indonesia harus bisa meninjau kembali kebijakan tersebut. Tegasnya, dia menilai kalau impor ikan tidak diperlukan sama sekali.Untuk memperbaikinya, dari sekarang KKP harus mulai megeluarkan izin penangkapan untuk ribuan kapal ikan milik nelayan dan pengusaha yang sudah terlalu lama menganggur.

“Demikian juga halnya untuk sekitar 500 kapal ikan berukuran besar di atas 100 GT dan kapal modern  eks asing yang memang sudah lama menjadi milik pengusaha nasional dan dinyatakan hanya ada kesalahan kecil oleh Satgas IUU Fishing,” sebut dia.

Kapal-kapal tersebut, menurut Rokhmin, harus mendapat izin dan diarahkan untuk melaut ke laut seperti Laut Natuna, Sulawesi, Teluk Tomini, Laut Banda, Laut Arafura, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di bagian Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP resmi merilis kebijakan impor produk perikanan atau Perizinan Pemasukan (Impor) Hasil Perikanan (IPHP). Kebijakan dijanjikan akan diawasi dengan sangat ketat.

Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP Nilanto Perbowo mengatakan, untuk bisa melaksanakan impor, pihaknya akan memperhatikan asas pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan secara ketat. Tujuannya, agar pihaknya bisa melakukan pengendalian izin impor.

Selain faktor tersebut, Nilanto menyebutkan, dikeluarkannya kebijakan impor produk perikanan, tidak lain karena pihaknya mempertimbangkan faktor ketahanan pangan dan gizi, jaminan mutu dan keamanan pangan, serta keberlanjutan industri ekspor atau tradisional.

“Pemasukan hasil perikanan ini didasarkan pada beberapa prinsip penting yang mengutamakan kedaulatan pangan dan kepentingan nasional,” jelas dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,