,

Opini : CSR dan Pembangunan Perkotaan yang Berkelanjutan (Bagian 2-Selesai)

Mengembalikan CSR ke Khittah-nya.

Karenanya, para pemangku kepentingan yang menginginkan keberlanjutan, harus bekerja keras mengembalikan CSR ke dalam makna yang sesungguhnya.  Dan perjuangan itu menjadi sulit karena Pemerintah sendiri cenderung pada penyelewengan maknanya.  Ada upaya yang sangat keras dari Legislatif maupun Eksekutif untuk mendapatkan donasi perusahaan untuk beragam kepentingan.

Kini sedang dibahas RUU Tanggung Jawab Sosial Perusahaan oleh Komis VIII DPR, yang dari draftnya terlihat sekali kepentingan atas donasi, bukan atas keberlanjutan.  DPD juga sedang membahasnya, namun belum ada apapun yang bisa dibaca dari inisiatif mereka.

Perkembangan ini sangat berpotensi mendatangkan dampak negatif bagi perkembangan CSR.  Dahulu, niatan memasukkan persentase ‘dana CSR’ pada UU Perseroan Terbatas ditentang habis-habisan, lalu persetasepun tak jadi masuk ke dalam teks pasal.

Namun, lantaran ayatnya tetap berbunyi penganggaran, maka pasal itu tetap mengilhami munculnya berbagai perda yang semangatnya pengumpulan dana perusahaan.  Pemda-pemda seakan berlomba mendapatkan dana perusahaan, walau UU Pajak Daerah dan Retribusi daerah melarangnya.  Ketika PP Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan keluar pada tahun 2012, tanpa mengatur persentase dana, tetap saja pemda-pemda bergeming.

Menurut Hamid Abidin dari PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center), kini terdapat setidaknya 11 provinsi, 34 kabupaten dan 15 kotamadya yang memiliki ‘perda CSR’, dengan berbagai kompleksitasnya, atau bahkan kekacauan.  Kebanyakan perda dibuat karena program-program CSR yang selama ini dijalankan perusahaan dianggap kurang berdampak atau tumpang tindih dengan pembangunan daerah.

Banyak perda yang secara terang-terangan menjadikan dana perusahaan sebagai sumber alternatif pendanaan pembangunan daerah.  Akibatnya, penentuan program hingga kegiatan ‘CSR’ lebih mengarah pada pelimpahan tanggung jawab pemda kepada perusahaan.

Berbagai perda bahkan sangat intervensif, yaitu sampai menentukan sumber pendanaan, jenis program yang boleh dilakukan perusahaan, dan audit independen untuk menilainya.  Beberapa daerah bahkan menentukan besaran “dana CSR”.  ‘CSR’ juga menjadi sangat birokratis dan menimbulkan biaya tambahan yang tidak sedikit melalui pembentukan forum/tim CSR dan tim pendampingnya.

Yang terjauh, beberapa pemda malah melakukan pengambilalihan wewenang perusahaan, yaitu forum CSR bisa menentukan lokasi dan pendistribusian donasi perusahaan. Tentu, kepentingan politik partai penguasa kemudian menjadi sangat menonjol. Ke mana kepentingan politik terarah, ke situ pula curahan dana perusahaan ditebar.

Hal ini semua perlu dilawan bila, sekali lagi, yang dituju adalah keberlanjutan.  Para pemangku kepentingan keberlanjutan kota, misalnya, perlu lebih berkonsentrasi pada dampak-dampak perusahaan paling penting di kotanya masing-masing.  Misalnya, dalam isu-isu energi, transportasi, dan pengembangan masyarakat perkotaan.

Perkotaan adalah tempat di mana energi dikonsumsi dengan sangat massif, walau sumber energinya mungkin jauh dari situ.  Dan, energi menjadi semakin penting sebagai penyumbang emisi di masa mendatang.  Kalau kemudian perusahaan yang beroperasi di perkotaan tidak didesak untuk melakukan efisiensi energi secara massif sebagai bentuk tanggung jawab sosial mereka, maka dipastikan bahwa kota akan menjadi semakin lapar energi.

Selain desakan untuk efisiensi, dalam kurun waktu yang sama, perusahaan juga perlu dibujuk, dibantu, dan dipaksa untuk melakukan efikasi energi: berpindah ke bentuk-bentuk energi bersih dan terbarukan, meninggalkan energi fossil yang sekarang sangat dominan.

Rasio volume kendaraan dengan panjang jalan di Jakarta yang sudah tidak lagi seimbang, membuat kemacetan menjadi keseharian. Jumlah kendaraan pribadi dan kemacetan menjadi faktor boronya konsumsi BBM di Indonesia. Foto : Jay Fajar
Rasio volume kendaraan dengan panjang jalan di Jakarta yang sudah tidak lagi seimbang, membuat kemacetan menjadi keseharian. Jumlah kendaraan pribadi dan kemacetan menjadi faktor boronya konsumsi BBM di Indonesia. Foto : Jay Fajar

Para pakar CSR kerap mengungkapkan bahwa less unsustainable (misalnya lewat efisiensi atas energi fosil) tidaklah sama dengan menjadi more sustainable.  Sepanjang yang dilakukan adalah menjadi less unsustainable, maka itu sebetulnya masih masuk ke dalam situasi yang disebut oleh John Ehrenfeld dan Andrew Hoffman sebagai business almost as usual (BAAU), dan BAAU tidak akan pernah membuat kita sampai kepada keberlanjutan.

Transportasi juga adalah isu yang sangat penting diperhatikan. Perusahaan-perusahaan di perkotaan, secara langsung maupun tidak, adalah produsen dan konsumen kendaraan pribadi yang utama.  Para pekerja mereka menggunakan kendaraan pribadi untuk bepergian dari dan ke kantor, dan armada pengangkut milik perusahaan-perusahaan itu juga utamanya berupa kendaraan roda dua, empat, dan yang lebih besar lagi.

Semua itu jelas menyumbang pada konsumsi energi yang besar, selain pada masalah kemacetan, pencemaran udara, dan stres di antara warga perkotaan.  Itu masuk ke dalam pengertian dampak keputusan dan aktivitas perusahaan, sehingga menjadi cakupan CSR pula.

Ford Motor Company dalam laporan mutakhirnya menyebutkan bahwa masa depan ada di transportasi massal, bukan di kenedaraan pribadi.  Ini tentu ‘sangat mengherankan’ karena dikeluarkan oleh sebuah perusahaan otomotif, namun kesadaran itulah yang diperlukan agar perusahaan otomotif sekalipun bisa menjadi bertanggung jawab sosial.

Tentu, perusahaan-perusahaan lainnya—apapun sektornya—juga perlu dibujuk, dibantu, dan dipaksa berpindah ke moda transportasi massal yang jauh lebih ramah ekonomi-sosial-lingkungan.

Pengembangan masyarakat perkotaan hingga kini—dengan perkecualian tertentu—bukanlah domain yang masuk ke dalam benak para pelaksana CSR di perusahaan-perusahaan.  Pengembangan masyarakat hampir identik dengan pedesaan bahkan pertanian.  Padahal, jumlah penduduk perkotaan semakin lama semakin besar dan menjadi dominan lantaran migrasi, perluasan, maupun pengembangan perkotaan.

Perusahaan-perusahaan perlu dibukakan matanya untuk menyadari bahwa pengembangan masyarakat perkotaan adalah keniscayaan masa kini dan mendatang.  Tentu, kemiskinan di perkotaan perlu mendapatkan perhatian yang sangat penting.  Perusahaan-perusahaan perlu dicegah sejak awal agar tidak menciptakan kemiskinan baru (lewat proses investment screening yang ketat), selain juga bila mungkin terlibat dalam pengentasan masyarakat dari kubangan kemiskinan.

Masalah kesehatan di perkotaan perlu mendapatkan perhatian yang juga sangat serius.  Rokok dan pencemaran udara dalam dan luar ruangan telah merenggut banyak sekali nyawa di perkotaan (dan pedesaan), sehingga perlu strategi khusus untuk mengelolanya.  Kematian dini sekitar 600 orang (akibat rokok) dan 165 orang (akibat pencemaran udara) per hari tentu indikator bahwa masalah ini sangat serius untuk ditangani.

Dan, tentu saja ada banyak lagi masalah-masalah kesehatan, pendidikan, kebudayaan, kesempatan kerja, peningkatan ketrampilan, dan lainnya yang penting menjadi perhatian dalam pengembangan masyarakat perkotaan.

Seperti yang diajarkan oleh para pakar CSR, setiap perusahaan seharusnya melakukan CSR yang sesuai dengan dampak bisnis intinya terhadap keberlanjutan.  Para aktivis pembangunan perkotaan bisa membantu perusahaan dengan cara membuat matriks yang menghubungkan antara dampak bisnis sektor tertentu dengan, misalnya, Tujuan dan Target dari Sustainable Development Goals (SDGs). Dengan demikian, perusahaan-perusahaan kemudian bisa berkonsentrasi pada apa yang menjadi dampak material dari bisnisnya, lalu menanganinya dengan serius.

Ini juga akan membuat kesadaran di antara seluruh pemangku kepentingan bahwa CSR bukanlah sekadar donasi perusahaan seperti yang selama ini dipahami.  Ini juga akan bisa memisahkan mana perusahaan yang serius ber-CSR untuk mencapai keberlanjutan dengan perusahaan yang ‘hobi’-nya hanya melakukan CSR-washing untuk pencitraan, menutupi dosa, dan membeli pengaruh politik tertentu.

Tulisan pertama bisa dilihat di tautan ini

*Jalal.  Reader on Political Economy and Corporate GovernanceThamrin School of Climate Change and Sustainability

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,