, , ,

Dua Tahun Perempuan Rembang Menolak Tambang di Tenda Perjuangan

Ratusan perempuan berkebaya dan bercaping berjalan memasuki lokasi peletakan batu pertama pabrik PT. Semen Indonesia. Aparat keamanan mulai kepolisian, tentara dan satuan pengamanan pabrik tampak berjaga-jaga. Mereka menghalangi upaya para perempuan menolak pendirian pabrik dan pertambangan semen di karst (batu gamping) Pegunungan Kendeng Utara. Aksi ini berujung pemukulan. Beberapa di antara mereka dilempar ke semak-belukar. Dua perempuan pingsan dan beberapa lagi lecet di bagian kulit. Begitulah kejadian dua tahun lalu, 16 Juni 2014.

“Semua masih ingat, tepat dua tahun lalu perlawanan menjaga Ibu Bumi kami mulai,” kata Sukinah, Kamis (16/6/16), di tenda perjuangan.

Dia mengatakan, pabrik semen pindah ke Kabupaten Rembang karena warga Kecamatan Sukolilo, Pati sukses menolak kehadiran PT. Semen Gresik (Persero) Tbk—pada 20 Desember 2012 menjadi PT. Semen Indonesia Tbk. Kemenangan warga di Pati membuat perusahaan mengalihkan lokasi pertambangan di Kawasan Gunung Watuputih, Rembang dengan nilai proyek Rp3,7 triliun.

“Perjuangan kami hingga titik darah penghabisan. Warga akan terus melawan hingga tuntutan kami dipenuhi, batalkan pabrik dan tambang semen,” katanya.

Dua tahun lalu, saya datang ke tenda perjuangan warga ini. Tenda-tenda beratap dan beralaskan terpal plastik di pinggiran jalan pabrik semen. Hujan, panas, siang malam mereka rasakan.

Sukinah sedih dan prihatin. Sejak kehadiran pabrik semen kerukunan warga desa terganggu. Warga terpecah, antara mendukung dan menolak pabrik.

Penolakan warga, katanya, bukan karena ada provokasi dan mendanai, tetapi bentuk kekhawatiran terhadap ancaman kehiangan mata pencaharian baik petani dan peternak. Mayoritas masyarakat Desa Tegaldowo dan Timbrangan–dua desa terdampak–sebagai petani dan peternak.

Saya melihat langsung, sumber air kebutuhan sehari-hari warga, untuk minum ternak dan irigrasi sawah dari berbagai sumber mata air dan sungai dari karst Watuputih. “Pabrik semen harus angkat kaki dari Rembang.”

Murtini, warga Desa Timbrangan bercerita, kala dua tahun lalu pingsan saat berhadapan dengan kepolisian. Dia tak takut. “Sampai kapanpun akan tetap menolak pabrik semen. Tak takut apapun dan siapapun.”

Aktivitas bertani warga di Desa Tegaldowo, Rembang. Foto: Tommy Apriando
Aktivitas bertani warga di Desa Tegaldowo, Rembang. Foto: Tommy Apriando

Joko Prianto, warga Tegaldowo mengatakan, tenda perjuangan oleh petani Kendeng Utara di Desa Tegaldowo dan Timbrangan, Kecamatan Gunem, sebagai wujud melawan dengan damai.

“Demi masa depan anak cucu,” kata Joko.

Pembangunan, katanya, seharusnya, rakyat, pemerintah dan investor sama-sama untung, tak ada salah satu rugi.

Perjuangan tenda berlanjut

Memperingati dua tahun di tenda perjuangan, selain warga Rembang, hadir pula Mike Band Marjinal dan penyanyi Melanie Subono. Mereka bernyanyi dan menyemangati perjuangan Ibu-ibu Rembang.

“Perjuangan tulus ibu-ibu Rembang membuat Marjinal belajar banyak menghargai dan bersyukur hasil kaum tani. Terhadap ibu yang melahirkan dan merawat kita dan menjaga alam,” kata Mike.

Manusia dan alam, katanya, tak bisa dipisahkan. “Alam jangan dihancurkan, pertambangan semen harus ditolak.”

Sedang Melanie sedih, melihat Ibu-ibu Rembang dua tahun di tenda. Jawa, katanya, lumbung pangan, bukan lumbung tambang.

Negara lain,  mulai memikirkan bahan lain pengganti semen. “Indonesia masih gila-gilaan nambang semen.” Parahnya, semen-semen itu buat mencukupi negara lain.  “Alam Jawa harus terjaga. Perjuangan Ibu-ibu tulus mempertahankan sumber air dan lumbung pangan.”

Sehari-hari di tenda perjuangan. Foto: Tommy Apriando
Sehari-hari di tenda perjuangan. Foto: Tommy Apriando
Tenda perjuangan perempuan Rembang. Dua tahun sudah mereka berjuang di sini. Foto: Tommy Apriando
Tenda perjuangan perempuan Rembang. Dua tahun sudah mereka berjuang di sini. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,