,

Kesempatan Giring Kembali ke Alam Liar Selalu Ada

Giring, harimau sumatera korban konflik itu dipindahkan dari lokasi perawatannya di Taman Wisata Alam (TWA) Seblat, Bengkulu Utara ke Taman Safari Indonesia (TSI), Cisarua, Bogor, Jawa Barat, 5-6 Juni 2016. Translokasi dimaksudkan agar Giring mendapatkan perawatan dan pengobatan intensif terhadap penyakit yang dideritanya.

Berpindah “rumah” bukan berarti Giring akan selamanya berada di TSI, bila sembuh ia bisa dikembalikan lagi ke habitatnya. “Secara fisik, kondisi Giring normal atau tidak mengalami cacat permanen. Ia memiliki kesempatan untuk dilepasliarkan di wilayah yang sesuai,” terang drh. Erni Suyanti Musabine, dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu kepada Mongabay Indonesia, Jumat pekan lalu.

Yanti, biasa disapa, bukanlah sosok asing bagi Giring. Dia telah merawat dan mengobati Giring sejak dievakuasi pada Februari 2015. Giring dievakuasi karena menyerang seorang warga yang mengakibatkan kematian di perkebunan karet masyarakat, areal Talang Bukit Kumbang yang berbatasan dengan Taman Buru Semidang Bukit Kabu, Seluma, Bengkulu.

Awalnya, Giring dirawat di sebuah kandang milik BKSDA Bengkulu. 28 Oktober 2015, Giring dipindahkan ke TWA Seblat, Bengkulu Utara, yang lokasinya sangat mendukung upaya pelepasliaran. Hutan yang memang habitat harimau dengan pakan alami, dan seminimal mungkin diisolasi dari manusia.

TWA Seblat, tempat perawatan sementara Giring. Foto: BKSDA Bengkulu
TWA Seblat, tempat perawatan sementara Giring. Foto: BKSDA Bengkulu

Lingkungan rehabilitasi sebelum dilepasliarkan, memang harus dibuat menyerupai alam liar. Atau bahkan, berada di habitat alami. Mengapa? Karena, bila lingkungan kurang mendukung, perubahan perilaku satwa liar sangat mungkin terjadi, sehingga perlu dilakukan upaya penyesuaian kembali.

“Tindakan pencegahan dan pengobatan terhadap Giring telah dilakukan sejak pertama kali pemeriksaan medis. Kontrol penyakit terus dilakukan di TWA Seblat, sementara upaya memastikan ia terbebas penyakit, dapat dilakukan dengan mengirimkan sampel darah ke laboratorium,” ujar Yanti.

Gambaran TWA Seblat, tempat Giring dirawat. Foto: BKSDA Bengkulu
Gambaran TWA Seblat, tempat Giring dirawat. Foto: BKSDA Bengkulu

Mengenai pelepasliaran sendiri, menurut Yanthi, bergantung hasil rekomendasi medis dan biologi. Secara medis artinya, satwa tidak mengalami cacat tertentu yang membuatnya sulit beradaptasi dengan lingkungan baru, terlebih bertahan hidup. Dipastikan juga bebas dari penyakit tertentu. Sedangkan dari sudut pandang biologi, satwa menunjukkan tidak mengalami perubahan perilaku atau masih liar. Dengan begitu, akan mudah beradaptasi saat dilepasliarkan. Riwayat konflik juga akan menjadi pertimbangan untuk menentukan lokasi pelepasliaran yang sesuai.

“Perihal Giring yang saat ini berada di  TSI, ada proses yang harus dilakukan bila nantinya ia sembuh dan akan dikembalikan ke alam liar, yaitu rehabilitasi. Perilaku dan makanannya perlu diadaptasi di habitatnya di Sumatera. Proses ini menjadi lebih lama karena harus menyesuaikan kembali dengan lingkungannya,” kata Yanti.

Kandang perawatan Giring selama di TWA Seblat. Foto: BKSDA Bengkulu
Kandang perawatan Giring selama di TWA Seblat. Foto: Erni Suyanti Musabine

Penyelamatan

BKSDA Bengkulu telah aktif melakukan penyelamatan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), sejak 2007. Ada sembilan individu yang berhasil dievakuasi dalam kondisi hidup, meski ada beberapa yang mati selama perawatan dan sesaat setelah evakuasi. Ini dikarenakan penyakit bakterial dan parasiter yang sifatnya kronis. Juga, karena luka jerat yang membusuk, berujung pada infeksi sekunder.

“Yang masih hidup, semua ditranslokasi keluar Bengkulu. Padahal, cara ini bukanlah satu-satunya solusi jangka panjang. Bila terus dilakukan, populasi harimau liar di Bengkulu akan berkurang. Ini harus menjadi kekhawatiran bersama, khususnya para praktisi dan pemerhati konservasi harimau sumatera.”

Koleksi sampel darah Giring pada 2 April 2015. Foto: BKSDA Bengkulu
Koleksi sampel darah Giring pada 2 April 2015. Foto: BKSDA Bengkulu

Yanti menuturkan, sebelum Giring, ada juga harimau bernama Rajo yang dirujuk ke Taman Safari Indonesia. Rajo butuh pemeriksaan radiologi akibat luka tembak di wajah dan mata, serta menderita akibat penganiayaan senjata tajam dan luka jerat. Begitu juga dengan Dara yang merupakan korban perburuan.

“Sembuh dari luka amputasi kedua kaki depannya, Dara ditranslokasi ke TSI karena kecil kemungkinan bertahan hidup bila dilepasliarkan. Sedangkan harimau korban konflik lainnya ditranslokasi ke Tambling Widllife Nature Conservation di Lampung guna proses kembali ke alam.”

Menurut Yanti, pembangunan sarana dan pusat rehabilitasi harimau sumatera korban konflik dan perburuan di Bengkulu merupakan kebutuhan. Ini untuk menghindari harimau liar kian berkurang akibat translokasi. Belum lagi tingginya konflik manusia dengan harimau, disebabkan jalur jelajah harimau yang banyak di luar kawasan konservasi.

“Bila ada harimau korban konflik dan perburuan, apakah akan terus ditranslokasi? Tentu tidak kan? Bagaimana mungkin meningkatkan populasi, bila harimau yang diselamatkan dikeluarkan dari Bengkulu?”

Monitoring vital signs selama translokasi dilakukan pada 5 Juni 2016. Foto: BKSDA Bengkulu
Monitoring vital signs selama translokasi dilakukan pada 5 Juni 2016. Foto: BKSDA Bengkulu

Terkait Giring, Kepala BKSDA Bengkulu Abu Bakar mengatakan, pemindahan ke TSI tersebut telah diputuskan dalam rapat di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Februari 2016. Selain mempertimbangkan ukuran kandang perawatan di TWA Seblat yang kecil, pemindahan dilakukan guna mengobati sakit yang diderita Giring. “Untuk menyelamatkan kehidupannya dan melestarikan genetik.”

Kemungkinan pelepasliaran Giring ke habitat liar, Abu Bakar berpendapat, mengingat Giring telah memakan manusia dan berpotensi menimbulkan konflik, lebih baik ia di TSI dahulu. “Pertimbangannya lebih ke penyelamatan genetik. Apalagi, Dara yang telah dipindahkan kini memiliki dua anak.”

Mengenai sarana rehabilitasi, Abu Bakar mengatakan, tahun depan akan dibangun sanctuary di TWA Seblat. “Mudah-mudahan lancar. Sehingga, harimau korban konflik dan perburuan yang tidak memungkinkan lagi dilepaskan di habitatnya, tetap terjaga dan terlindungi,” paparnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,