, ,

Nelayan Lombok Timur Melawan Rencana Pengerukan Laut (2)

Hampir empat bulan setelah kejadian, Sinerim masih merasakan sakit di kepalanya. “Kalau saya banyak bergerak, kepala masih terasa kayak berputar-putar. Pusing,” katanya pertengahan Mei lalu.

Sinerim adalah warga Dusun Lungkak, Desa Ketapang Raya, Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur (Lotim), Nusa Tenggara Barat (NTB). Dia bekerja sebagai nelayan dan kadang-kadang menjadi buruh di usaha pembuatan batubata ketika tidak melaut.

Luka di kepala bapak empat anak itu belum sepenuhnya hilang. Setelah dijahit sampai sembilan jahitan, dia masih harus menjalani pemulihan selama kurang lebih dua bulan tanpa kegiatan berat sama sekali. Toh, dia mengaku perih di kepalanya sesekali masih terasa.

Duduk di lantai rumah beralaskan tikar bambu ditemani Rohaimi, istrinya, Sinerim bercerita tentang kejadian yang dialaminya.

Pada 27 Januari 2016 lalu, dia termasuk salah satu warga pesisir timur Lotim yang mengikuti aksi untuk menolak rencana pengurukan pasir. Ada sekitar 6.000 peserta aksi di Selong, ibu kota Lombok Timur. Para peserta dari desa-desa di sekitar Selat Alas yang akan dikeruk pasir lautnya untuk bahan reklamasi di Teluk Benoa, Bali.

Warga dari empat kecamatan yaitu Keruak, Labuhan Haji, Jerowaru, dan Sakra Timur berangkat dari desa masing-masing dalam rombongan. Mereka naik sepeda motor, mobil, dan truk ke Selong yang berjarak sekitar 40 km dari Selat Alas.

Sejak pukul 8 pagi, peserta aksi sudah berkumpul di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lombok Timur. Mereka menyampaikan aspirasi menolak rencana pengerukan Selat Alas. Karena tidak ada satu pun pejabat menemui mereka, maka mereka pun meneruskan aksi di kantor Bupati Lombok Timur.

“Semua berjalan tertib ketika kami berdemonstrasi,” kata Amin Abdullah, salah satu orator pada aksi tersebut.

Pada pukul 11 mereka mulai berdemonstrasi di depan kantor bupati. Peserta duduk mendengarkan beberapa orator. Sinerim duduk paling depan. Polisi berbaris di antara massa dan pagar. Dari tempat massa, ada lemparan botol. Polisi langsung membalas dengan tembakan air mata.

Sinerim bangkit dari duduk dan lari. Massa kocar-kacir akibat tembakan gas air mata. Seseorang di sampingnya terjatuh. Dia bermaksud menolong orang tersebut meskipun dia tidak kenal. Praaak, tiba-tiba polisi memukul kepalanya. “Saya tidak merasakan sakit karena panik setelah ada tembakan,” akunya.

Laki-laki berusia 50 tahun ini lari ke tempat lain. Saat itulah dia baru sadar bajunya merah penuh darah. “Kepala saya perih. Pas saya raba, ternyata bocor karena dipukul polisi,” ujarnya mengenang. Selain kepala bocor, bawah matanya juga memar.

Tiga polisi lalu membawa Sirenim ke Rumah Sakit Umum Daerah Selong. Setelah kepalanya dijahit dan diobati, dia pun diperbolehkan pulang pada sore harinya. Polisi juga memberikan uang Rp 500 ribu kepadanya sebagai biaya pengobatan dan ganti rugi. Dia tiba di rumah disambut tangis anak istrinya.

Sirenim hanya salah satu korban kekerasan aparat kepolisian terhadap massa aksi di Selong pada akhir Januari 2016 lalu. Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTB, total korban akibat kekerasan oleh polisi adalah tiga orang luka-luka dan empat orang pingsan.

Seorang nelayan yang menjadi korban kekerasan polisi dalam aksi unjuk rasa pada 27 Januari 2016 yang menolak rencana pengerukan pasir laut di pesisir utara Lombok Timur, NTB. Foto : Safprada Rha⁠⁠⁠⁠
Seorang nelayan yang menjadi korban kekerasan polisi dalam aksi unjuk rasa pada 27 Januari 2016 yang menolak rencana pengerukan pasir laut di pesisir utara Lombok Timur, NTB. Foto : Safprada Rha⁠⁠⁠⁠

Seperti peserta aksi lainnya, Sirenim tidak mau laut tempat mereka mencari ikan sehari-hari nantinya dikeruk. “Laut itu tempat hidup kami. Jika dikeruk, kami mau makan apa,” katanya.

Daeng Nurdin, nelayan di Tanjung Luar, berjarak sekitar 30 km di utara Ketapang Raya, mengatakan dia tahu rencana pengerukan tersebut justru dari aktivis Front Mahasiswa Nasional (FMN) Lotim. Para mahasiswa ini mulai intensif membawa informasi tentang rencana pengerukan kepada warga di sekitar selat setelah berita pengerukan muncul di media.

Pada awalnya Nurdin mengaku tidak terlalu peduli pada rencana pengerukan. Namun, setelah mendapat informasi lebih jelas, dia pun kemudian bahkan menjadi salah satu penggerak warga untuk menolak. Bersama aktivis FMN Lotim dan Walhi NTB, dia bergerilya ke desa-desa di sekitar Selat Alas untuk mengabarkan penolakan tersebut.

Suara-suara penolakan warga, terutama nelayan dan petani itu berkumpul dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR). Di dalam front ini terdapat pula beberapa organisasi lain, seperti FMN, Walhi, dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA). Dengan bendera FPR ini pula mereka menggelar aksi lagi pada awal Mei lalu di Mataram.

Samboeza Hurria, aktivis FMN Lotim menceritakan gerakan penolakan mulai muncul pada September 2015 lalu. Selain FMN, Walhi, dan AGRA, ada pula komunitas penggemar band punk dari Bali Superman is Dead (Outsider) dan organisasi mahasiswa lain. Hingga Januari 2016, aliansi ini lebih banyak bergerak di tingkat kampanye dan advokasi perkotaan.

“Setelah melihat rencana pengerukan yang makin masif, kami kemudian lebuh fokus turun ke desa-desa basis. Karena merekalah kekuatan sesungguhnya untuk menolak rencana pengerukan,” katanya.

Melalui kegiatan seperti diskusi dan nonton film bersama, informasi tentang rencana pengerukan dan dampaknya makin meluas di desa-desa. “Setelah itu masyarakat baru sadar bahwa pengerukan memang berbahaya bagi masa depan mereka,” kata Nurdin.

Aksi penolakan dimulai dari tingkat paling bawah, di kantor desa. “Pengumuman aksi kami siarkan lewat speaker masjid,” kata Nurdin. Setelah itu, mereka juga melakukan aksi penolakan di kantor camat, kantor Bupati Lotim, dan terakhir kantor Gubernur NTB di Mataram.

Berbanding Terbalik

 Penolakan oleh warga di sekitar Selat Alas itu justru berbanding terbalik dengan sikap pemerintah pusat maupun lokal. Rencana pengerukan pasir oleh PT Dinamika Atria Raya (DAR) di Selat Alas, Lombok Timur sudah mendapatkan izin dari pemerintah. Pemprov NTB telah menerbitkan Izin Pemanfaatan Ruang nomor 503/01/03/IPR/ BKPMT & PT/2015 pada 28 Oktober 2015 dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) nomor 503/003/03/WIUP/BKPMT/2015 pada 30 Oktober 2015.

Berdasarkan lokasi sesuai WIUP, PT DAR kemudian menyusun Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) yang telah mendapatkan rekomendasi persetujuan UKL-UPL dari Kepala BLH Provinsi NTB serta Izin Lingkungan Usaha Pertambangan Ekplorasi Batuan (Pasir Laut) nomor 503/09/03/LINK/BKPMT/2015 pada 12 November 2015. Padahal PT DAR baru mendapatkan Izin Prinsip Penanaman Modal Dalam Negeri nomor 2/52/IP/PMDN/2015 pada 3 September 2015.

Surat izin Pemanfaatan Ruang dari Pemprov NTB kepada PT Dinamika Atria Raya (DAR) untuk melakukan pengerukan pasir laut di Selat Alas, Lombok Timur. Foto : Anton Muhajir
Surat izin Pemanfaatan Ruang dari Pemprov NTB kepada PT Dinamika Atria Raya (DAR) untuk melakukan pengerukan pasir laut di Selat Alas, Lombok Timur. Foto : Anton Muhajir

Amin Abdullah, Direktur Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN) yang berbasis di Lombok Timur mempertanyakan mudahnya izin eksplorasi bagi PT DAR tersebut. Amin adalah juga Eksekutif Daerah Walhi NTB yang terlibat lobi untuk menolak rencana pengerukan Selat Alas. “Pemerintah ini hanya peduli urusan perut tapi lupa bahwa dampaknya pengerukan akan sangat luas dan besar,” ujarnya.

Menurut Amin, mudahnya izin keluar bagi PT DAR itu justru bertentangan dengan Perda Lombok Timur tentang Pengelolaan Konservasi Laut Daerah. Menurut Perda yang disahkan pada 27 Juni 2006 tersebut, Selat Alas masuk kawasan yang tidak boleh dieksploitasi kecuali untuk tujuan pendidikan. Kawasan ini termasuk kawasan lindung.

Selain aturan legal formal, nelayan setempat juga memiliki aturan adat (awig-awig) yang melarang pengambilan pasir laut. “Kami mengambil satu baskom saja tidak boleh, kok ini pemerintah malah mengizinkan investor mengeruk sampai 30 juta kubik,” tanya Amin.

Atas dasar melestarikan sumber daya di Selat Alas itu pula, nelayan-nelayan seperti Nurdin, Sinerim, dan Amin akan terus menolak. Bagi mereka perjuangan itu ibarat telur melawan batu. Toh, mereka menyatakan akan terus melawan. “Kami sudah siap bikin bom jika cara (menolak dengan) baik-baik tidak diperhatikan,” tegas Nurdin.

Tulisan pertama bisa dilihat di tautan ini

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,