,

Pedagang Kulit Harimau di Aceh, Dituntut 2 Tahun 6 Bulan Penjara

Dua warga Aceh dituntut hukuman penjara 2 tahun 6 bulan, denda Rp50 juta, dan subsider 3 bulan di Pengadilan Negeri Bireuen. Mereka dipidana karena memperdagangkan tulang dan kulit dua anak harimau sumatera yang dibunuh di Aceh Tengah.

Polisi dibantu Wildlife Crime Unit (WCU) menangkap pelaku di Cot Gapu, Kabupaten Bireuen pada 17 Maret 2016. Saat itu, Maskur (pelaku) hendak menjual tulang dan kulit harimau kepada Agus Salim sebagai penadah. Dua anak harimau itu dibunuh oleh Maskur dengan cara meracun di kebun miliknya di Desa Kemerling, Kecamatan Linge, Aceh Tengah pada Desember 2015.

Pada 2014, Maskur pernah ditangkap polisi di Takengon dengan barang bukti berupa 1 ofsetan kepala harimau sumatera, 2 ofsetan kucing emas, kepala kambing hutan, kepala kijang muntjak, kepala burung julang, kulit beruang madu dan kucing emas, serta gigi beruang. Itu merupakan kasus penangkapan barang bukti kejahatan satwa terbesar yang pernah dilakukan oleh polisi di Aceh. Maskur divonis hukuman penjara di bawah satu tahun.

Irma Hermawati, Legal Advisor WCU, yang dihubungi Selasa (21/6/2016) menyampaikan harapannya, hakim memvonis pelaku dengan hukuman maksimal. Mengingat, Maskur telah melakukan kejatan serupa dalam rentang waktu tidak begitu lama.

“Harapan kami, hakim bisa melakukan terobosan dengan menjatuhkan vonis lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum karena terdakwa bukan pemain biasa. Sudah lama pula mereka melakukan aksi ini,” kata Irma.

Proses persidangan terhadap pelaku kejahatan satwa itu telah berlangsung lima kali dengan menghadirkan saksi ahli dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh. Persidangan itu dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Effendi, SH, MH, serta hakim anggota Mukhtaruddin, SH dan Rahma Novatiana, SH yang diketahui merupakan hakim bersertifikasi lingkungan. Ia pernah menjadi hakim dalam kasus pembakaran lahan gambut oleh PT. Kallista Alam di Rawa Tripa. Sedangkan Jaksa Penuntut Umum adalah Eko, SH dan Dede, SH.

Sejak tiga tahun terakhir, polisi dan pengadilan militer telah mengungkap empat kasus perdagangan dan kepemilikan ofsetan harimau dan bagian tubuh lainnya di Aceh. Namun, hukuman yang dijatuhkan masih terlalu ringan. “Aceh merupakan daerah merah sebagai sumber spesies asli Indonesia yang menjadi target perdagangan ilegal satwa liar. Kami berharap aparat polisi hutan bisa bersinergi dengan kepolisian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam melakukan penangkapan,” kata Irma.

Perburuan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang terus terjadi membuat populasinya menurun. Foto: Junaidi Hanafiah

Seperti yang pernah diberitakan Mongabay, pada 17 Maret 2016, Polda Aceh menangkap pelaku perdagangan kulit harimau sumatera di kawasan Cot Gapu, Kabupaten Bireuen. Penangkapan dilakukan setelah polisi menyamar sebagai pembeli dan mengajak pelaku bertemu.

Saat ditangkap, dari pelaku bernama Agus Salim warga Kabupaten Aceh Besar, didapati dua kulit harimau termasuk tulang-tulangnya. Sementara satu pelaku yang sebelumnya melarikan diri, Maskur, menyerahkan diri pada 22 Maret 2016.

Kasubbid Tipiter Reskrimsus Polda Aceh AKBP Mirwazi saat itu mengatakan, harimau yang dibunuh untuk diambil kulitnya tersebut, berumur sekitar lima sampai delapan tahun. “Pelaku dijerat  Pasal 21 ayat 2 (a dan b) Undang-undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya junto Pasal 55 dan 56 KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,